Inflasi Rendah Berlanjut, Ekonomi RI Sulit untuk Pulih

Selasa, 03 November 2020 - 09:05 WIB
loading...
Inflasi Rendah Berlanjut, Ekonomi RI Sulit untuk Pulih
endahnya inflasi sepanjang Oktober 2020 yang hanya mencapai 0,07% dikhawatirkan dapat memiliki efek besar bagi perekonomian Indonesia untuk kembali pulih. Foto/dok
A A A
JAKARTA - Rendahnya inflasi sepanjang Oktober 2020 yang hanya mencapai 0,07% dikhawatirkan dapat memiliki efek besar bagi perekonomian Indonesia untuk kembali pulih.



Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Oktober 2020 terjadi inflasi sebesar 0,07%. Dari 90 kota yang disurvei Indeks Harga Konsumen (IHK), sebanyak 66 kota mengalami inflasi dan 24 kota mengalami deflasi. (Baca: Syafaat dan Siapa yang Berhak Mendapatkannya)

Kepala BPS Suhariyanto merinci, inflasi kalender Januari—Oktober 2020 mencapai 0,95%. Adapun inflasi secara tahunan (year on year/yoy) mencapai 1,44%.

“Terjadi inflasi sebesar 0,07% sehingga inflasi tahun kalender 0,95% dan inflasi tahun 1,44%. Ada 66 kota mengalami inflasi yang mana 24 kota mengalami deflasi,” kata Suhariyanto dalam video virtual, Jakarta, kemarin.

Dari 90 kota IHK, inflasi tertinggi terjadi di Sibolga sebesar 1,04% dan terendah terjadi di DKI Jakarta, Cirebon, Bekasi, Jember sebesar 0,01%. Sementara deflasi tertinggi terjadi di Manokwari sebesar 1,81% dan terendah terjadi di Surabaya 0,02%. “Inflasi ini sesudah tiga bulan berturut deflasi dan kita alami inflasi tipis,” tandasnya.

Inflasi pada Oktober terjadi karena ada kenaikan harga yang ditunjukkan oleh kelompok makanan, minuman, serta tembakau yang mencapai 0,29%. Selain itu, kelompok pakaian dan alas kaki sebesar 0,09%; kelompok kesehatan sebesar 0,15%; kelompok rekreasi, olahraga, dan budaya sebesar 0,02%. Lalu, kelompok pendidikan sebesar 0,04% dan kelompok penyediaan makanan dan minuman/restoran sebesar 0,19%.

Untuk makanan, komoditas yang menyumbang inflasi adalah cabai merah yang andilnya 0,09%, bawang merah 0,07%, dan minyak goreng 0,09%. “Sementara yang deflasi telur ayam andilnya 0,02% serta daging ayam dan buah 0,01%,” jelas Suhariyanto. (Baca juga: Ribuan Formasi CPNS Guru Kosong, Ini Langkah Kemendikbud)

Untuk pakaian dan alas kaki mengalami inflasi 0,09% dan andilnya 0,01%. Selanjutnya kelompok kesehatan mengalami inflasi 0,15% dan andilnya sebesar 0,01%. Lalu, untuk kelompok transportasi mengalami deflasi 0,14% dan andilnya ke deflasi sebesar 0,02%. “Komoditas transportasi yang dominan adalah penurunan tarif angkutan udara sebesar 0,02%,” tutupnya.

Meskipun IHK akhirnya mencatat inflasi setelah tiga bulan berturut-turut mengalami deflasi, namun rendahnya tingkat inflasi dikhawatirkan memberi efek terhadap pemulihan ekonomi nasional. Hal tersebut disampaikan ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira. Dia menilai inflasi yang terjadi pada Oktober akan memiliki efek besar bagi ekonomi Indonesia. Inflasi itu bisa membuat pemulihan ekonomi bakal lebih lambat.

“Efeknya tentu semakin lambat pemulihan ekonomi terjadi dan berdampak ke serapan tenaga kerja yang masih rendah,” kata Bhima saat dihubungi MNC Portal News di Jakarta kemarin. (Baca juga: Usai Liburan Kembali Bugar dengan Olahraga Ringan)

Menurutnya, inflasi yang rendah khususnya di Pulau Jawa lebih dipengaruhi oleh rendahnya belanja kelas menengah dan atas. Perilaku menahan belanja masih jadi faktor utama selama masa pandemi.

Sementara belum optimalnya sektor pariwisata seperti hotel dan restoran membuat permintaan bahan-bahan makanan dan jasa transportasi cenderung rendah.

“Biasanya libur panjang membuat inflasi naik, tapi Oktober lalu arus wisatawan lokal masih sedikit. Jika tren inflasi rendah terus berlanjut, maka pendapatan dunia usaha semakin kecil. Bahkan bisa menutup operasional bisnisnya karena antara harga jual dengan biaya produksi semakin tipis selisihnya,” terangnya.

Pengamat ekonomi Nailul Huda menambahkan, jika melihat secara lebih detail angka inflasi, maka terlihat ada yang menarik. Penyumbang inflasi salah satunya adalah kelompok kesehatan dan transportasi pribadi.

“Artinya, inflasi yang terjadi juga merupakan akibat dari pandemi. Orang lebih banyak mengeluarkan keperluan untuk kesehatan. Masyarakat juga banyak beralih menggunakan kendaraan pribadi dibandingkan dengan transportasi umum,” katanya saat dihubungi terpisah. (Baca juga: 7 Provinsi Tercatat Nihil Penambahan Kasus Corona)

Inflasi juga ditopang oleh barang-barang bergejolak seperti cabai dan bawang merah. Untuk cabai, kenaikan harga ditimbulkan oleh perubahan musim dan cuaca saat memasuki musim penghujan. Produksi cabai bisa dibilang akan rentan berkurang.

Akibat itu, pasokan cabai akan berkurang karena permintaan tetap maka harga akan meningkat. “Begitu juga dengan bawang merah. Jadi memang benar inflasi ini dipengaruhi oleh cuaca dan musim penghujan. Dan, memang sudah diprediksi akan terjadi inflasi untuk bulan ini, setelah tiga bulan terakhir mengalami deflasi,” bebernya.

Di sisi lain, inflasi yang terjadi pada Oktober 2020 cukup memberikan sentimen positif untuk ekonomi Indonesia. Ekonom CORE Piter Abdullah menyatakan, inflasi menunjukkan ada perbaikan permintaan yang sebelumnya melemah. “Terjadinya inflasi, walaupun masih sangat rendah, menghentikan deflasi yang terjadi tiga bulan berturut-turut. Hal ini tentunya menggembirakan karena sedikit-banyak menunjukkan adanya perbaikan permintaan,” ucap Piter. (Lihat videonya: Gubernur DKI Umumkan Kenaikan UMP 2021 di Tengah Pandemi)

Menurutnya, inflasi yang rendah sudah diperkirakan. Rendahnya demand akibat masih terbatasnya aktivitas sosial ekonomi membuat inflasi terjadi pada bulan ini. “Dan, sebagian masyarakat kehilangan daya beli menyebabkan inflasi terjaga rendah atau bahkan deflasi,” pungkasnya. (Kunthi Fahmar Sandy/Rina Anggraeni)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1442 seconds (0.1#10.140)