Penyerapan Produk Dalam Negeri Rendah, Ekonom Salahkan LKPP
loading...
A
A
A
JAKARTA – Para pelaku industri nasional mengeluhkan rendahnya penyerapan produk dalam negeri dalam pengadaan barang dan jasa yang dilakukan pemerintah maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Ekonom Indef, Enny Sri Hartarti menilai, rendahnya penyerapan produk dalam negeri dalam pengadaan barang pemerintah dan BUMN, karena Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Pemerintah (LKPP) sebagai pelaksana tidak melakukan penyesuaian atau perubahan dalam peraturannya. Sebagai akibatnya, kebijakan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan produk industri dalam negeri melalui aturan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) menjadi tidak mencapai sasaran.
(Baca juga:Lelang Virtual di Tengah Pandemi, Solusi DJKN Percepat Laju Ekonomi)
“Persoalan terkait tidak efektifnya kebijakan TKDN yang sudah ada aturan-aturannya. Nah itu contoh kemandulan kebijakan. Seharusnya dengan kebijakan TKDN itu berarti kita bisa menerapkan Non Tarif Management atau NTM (Non Tarrif Measure) dan ini lumrah dilaksanakan berbagai negara di dunia untuk melindungi industri dalam negeri mereka,” kata Enny dalam rilisnya, Rabu (18/11/2020).
Enny sangat menyayangkan kebijakan TKDN tidak dijalankan di tingkat pelaksanaannya. Keberadaan aturan-aturan yang dibuat LKPP tidak membuat pengadaan barang dalam proyek pemerintah maupun BUMN menyerap produk lokal secara maksimal.
(Baca juga:Teten Minta UMKM Dilibatkan dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah)
Sebelumnya, Kadin Indonesia menyoroti masalah rendahnya serapan produk lokal dalam lelang pengadaan barang oleh instansi pemerintah dan BUMN. Kondisi ini terjadi karena aturan yang dibuat LKPP sebagai pelaksana cenderung menguntungkan produk impor. Sebagai dampaknya, dana ratusan triliun dalam anggaran belanja pemerintah dan BUMN yang dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan industri dalam negeri menjadi tidak efektif.
(Baca juga:IKM Didorong Lebih Optimal Terlibat Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah)
“Kalau LKPP hanya prioritas harga murah, importasi material atau barang lainnya akan membanjiri pasar kita, terutama misal dari China atau negara lain yang lebih efisien. Maka produsen atau industri lokal kalah lebih dulu. Jadi patokannya jangan harga murah, lihat juga sisi kandungan lokalnya, dan tentu kualitas,” kata dia.
Selain masalah kebijakan TKDN, Enny juga menyoroti pengelolaan neraca dagang yang menurutnya salah kelola, di mana pengawasan barang impor masih sangat lemah. Bahwa industri dalam negeri masih membutuhkan impor terutama pada bahan baku dan bahan baku penolong tidak harus membuat importasi semuanya dipermudah. Tetap harus ada seleksi yang ketat.
(Baca juga:KPK Diminta Tuntaskan Kasus Pengadaan Barang dan Jasa di Tulungagung)
Impor tersebut harus diawasi secara ketat. Hanya impor untuk produk bahan baku atau bahan baku penolong yang berorientasi ekspor yang dipermudah, bukan sekadar untuk produk yang dipasarkan di domestik. “Di sinilah letak persoalan. Kita bisa ambil contoh Vietnam yang saat ini sebagai salah satu pemain besar industri TPT, bahan baku mereka impor, tetapi produk jadi mereka mayoritas ekspor,” katanya.
Seharusnya menurut Enny, Presiden melihat hal ini, jangan maunya neraca dagang surplus dengan sekadar menekan impor. Bukan itu persoalannya, melainkan importasi tetap harus dilancarkan asalkan untuk komoditas ekspor, sedangkan importasi yang sekadar untuk konsumsi domestik itu yang wajib ditekan.
Pada dasarnya, importasi tidak jadi soal kalau orientasinya ekspor. Namun berbagai kebijakan malah sebaliknya, melancarkan impor barang konsumsi namun menekan impor bahan baku untuk industri ekspor. Semisal mengapa bahan baku industri makanan dan minuman (mamin) yang mendapatkan fasilitas impor, sedangkan mereka ekspor kurang dari 10%.
Ekonom Indef, Enny Sri Hartarti menilai, rendahnya penyerapan produk dalam negeri dalam pengadaan barang pemerintah dan BUMN, karena Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Pemerintah (LKPP) sebagai pelaksana tidak melakukan penyesuaian atau perubahan dalam peraturannya. Sebagai akibatnya, kebijakan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan produk industri dalam negeri melalui aturan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) menjadi tidak mencapai sasaran.
(Baca juga:Lelang Virtual di Tengah Pandemi, Solusi DJKN Percepat Laju Ekonomi)
“Persoalan terkait tidak efektifnya kebijakan TKDN yang sudah ada aturan-aturannya. Nah itu contoh kemandulan kebijakan. Seharusnya dengan kebijakan TKDN itu berarti kita bisa menerapkan Non Tarif Management atau NTM (Non Tarrif Measure) dan ini lumrah dilaksanakan berbagai negara di dunia untuk melindungi industri dalam negeri mereka,” kata Enny dalam rilisnya, Rabu (18/11/2020).
Enny sangat menyayangkan kebijakan TKDN tidak dijalankan di tingkat pelaksanaannya. Keberadaan aturan-aturan yang dibuat LKPP tidak membuat pengadaan barang dalam proyek pemerintah maupun BUMN menyerap produk lokal secara maksimal.
(Baca juga:Teten Minta UMKM Dilibatkan dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah)
Sebelumnya, Kadin Indonesia menyoroti masalah rendahnya serapan produk lokal dalam lelang pengadaan barang oleh instansi pemerintah dan BUMN. Kondisi ini terjadi karena aturan yang dibuat LKPP sebagai pelaksana cenderung menguntungkan produk impor. Sebagai dampaknya, dana ratusan triliun dalam anggaran belanja pemerintah dan BUMN yang dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan industri dalam negeri menjadi tidak efektif.
(Baca juga:IKM Didorong Lebih Optimal Terlibat Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah)
“Kalau LKPP hanya prioritas harga murah, importasi material atau barang lainnya akan membanjiri pasar kita, terutama misal dari China atau negara lain yang lebih efisien. Maka produsen atau industri lokal kalah lebih dulu. Jadi patokannya jangan harga murah, lihat juga sisi kandungan lokalnya, dan tentu kualitas,” kata dia.
Selain masalah kebijakan TKDN, Enny juga menyoroti pengelolaan neraca dagang yang menurutnya salah kelola, di mana pengawasan barang impor masih sangat lemah. Bahwa industri dalam negeri masih membutuhkan impor terutama pada bahan baku dan bahan baku penolong tidak harus membuat importasi semuanya dipermudah. Tetap harus ada seleksi yang ketat.
(Baca juga:KPK Diminta Tuntaskan Kasus Pengadaan Barang dan Jasa di Tulungagung)
Impor tersebut harus diawasi secara ketat. Hanya impor untuk produk bahan baku atau bahan baku penolong yang berorientasi ekspor yang dipermudah, bukan sekadar untuk produk yang dipasarkan di domestik. “Di sinilah letak persoalan. Kita bisa ambil contoh Vietnam yang saat ini sebagai salah satu pemain besar industri TPT, bahan baku mereka impor, tetapi produk jadi mereka mayoritas ekspor,” katanya.
Seharusnya menurut Enny, Presiden melihat hal ini, jangan maunya neraca dagang surplus dengan sekadar menekan impor. Bukan itu persoalannya, melainkan importasi tetap harus dilancarkan asalkan untuk komoditas ekspor, sedangkan importasi yang sekadar untuk konsumsi domestik itu yang wajib ditekan.
Pada dasarnya, importasi tidak jadi soal kalau orientasinya ekspor. Namun berbagai kebijakan malah sebaliknya, melancarkan impor barang konsumsi namun menekan impor bahan baku untuk industri ekspor. Semisal mengapa bahan baku industri makanan dan minuman (mamin) yang mendapatkan fasilitas impor, sedangkan mereka ekspor kurang dari 10%.
(dar)