Dampak Terburuk Covid-19 Terhadap Sektor Ekonomi Telah Berakhir
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dampak terburuk Covid-19 terhadap sektor ekonomi diyakini sudah berakhir. Hal ini terlihat dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sudah mulai pulih pada kuartal III/2020, meski masih berada di zona negatif.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyebutkan, realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III/2020 yaitu minus 3,49% atau tumbuh 5,05% dibandingkan kuartal II yang minus 5,32%. "Kita melihat yang terburuk telah berakhir, terutama pada kuartal II tahun ini, ketika kontraksi sangat dalam tetapi kami melihat rebound pada kuartal III. Kami masih sangat berhati-hati karena Covid-19 masih ada," katanya di Jakarta kemarin.
Namun, Sri masih mengkhawatirkan potensi terjadinya gelombang kedua atau second wave seperti yang sudah terjadi di negara-negara Eropa. "Kita lihat di beberapa negara ada gelombang kedua, yang benar-benar bisa membuat langkah mundur dari kemajuan ini," bebernya. (Baca: Enam Jenis Bisikan Setan yang Merasuki Manusia)
Dia menambahkan, pandemi ini adalah situasi luar biasa yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi pemerintah maupun dunia. "Jadi, yang pasti ketika kita merancang respons kebijakan seperti apa, kita benar-benar harus melihat apa," ungkapnya.
Lebih lanjut Sri Mulyani mengungkapkan ada tiga hal yang membuatnya dilematis dalam menerapkan kebijakan ekonomi menghadapi krisis akibat pandemi Covid-19. Pembatasan aktivitas yang berakibat pada penekanan di kegiatan ekonomi, membuat Indonesia dipastikan mengalami resesi pada kuartal III setelah pertumbuhan minus dua kuartalan beruntun.
"Apa yang membuat tantangan pembuat kebijakan dalam situasi yang luar biasa dan tidak pasti ini? Setiap situasi luar biasa dan tidak pasti tetap mengharuskan pemerintah hadir. Namun pertanyaannya, hadir seperti apa dan inilah dilema yang harus diatasi dan dihadapi. Tidak ada situasi yang ideal," katanya. (Baca juga: Subsidi Gaji 2,4 Juta guru Non-PNS Cair)
Dilema pertama adalah membuat kebijakan relay atau mengandalkan data historis atau menggunakan data proyeksi. "Data historis tentu membantu, tapi kalau tahu bahwa Covid-19 akan memukul ekonomi dan keuangan dan kita tahu ini dampaknya. Apakah kebijakan didesain dengan mengandalkan data historis saja atau kita mendesain berdasarkan apa yang mungkin terjadi," tuturnya.
Lalu, kedua mengenai kecepatan versus akurasi, misalnya puluhan juta masyarakat mendapatkan bantuan pemerintah. “Pemerintah perlu membantu mereka secara cepat karena Covid-19 itu tidak pakai kata pengantar, dia langsung naik dan memukul. Maka, kecepatan menjadi penting, namun kita tahu mungkin akurasinya tadi yang ini exclusion error datanya belum sempurna," paparnya. (Lihat videonya: Pemerintah Austria Kembali Putuskan untuk Lockdown kedua)
Dan Ketiga adalah dilema mengenai fleksibilitas dan compliance. Banyak sekali regulasi aturan dibuat dalam situasi normal saat menghadapi situasi extra-ordinary yang membutuhkan kecepatan dan fleksibilitas. "Karena itu, pilihan untuk tetap melakukan, sambil memperbaiki akurasi data diambil," ujarnya. (Rina Anggraeni)
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyebutkan, realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III/2020 yaitu minus 3,49% atau tumbuh 5,05% dibandingkan kuartal II yang minus 5,32%. "Kita melihat yang terburuk telah berakhir, terutama pada kuartal II tahun ini, ketika kontraksi sangat dalam tetapi kami melihat rebound pada kuartal III. Kami masih sangat berhati-hati karena Covid-19 masih ada," katanya di Jakarta kemarin.
Namun, Sri masih mengkhawatirkan potensi terjadinya gelombang kedua atau second wave seperti yang sudah terjadi di negara-negara Eropa. "Kita lihat di beberapa negara ada gelombang kedua, yang benar-benar bisa membuat langkah mundur dari kemajuan ini," bebernya. (Baca: Enam Jenis Bisikan Setan yang Merasuki Manusia)
Dia menambahkan, pandemi ini adalah situasi luar biasa yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi pemerintah maupun dunia. "Jadi, yang pasti ketika kita merancang respons kebijakan seperti apa, kita benar-benar harus melihat apa," ungkapnya.
Lebih lanjut Sri Mulyani mengungkapkan ada tiga hal yang membuatnya dilematis dalam menerapkan kebijakan ekonomi menghadapi krisis akibat pandemi Covid-19. Pembatasan aktivitas yang berakibat pada penekanan di kegiatan ekonomi, membuat Indonesia dipastikan mengalami resesi pada kuartal III setelah pertumbuhan minus dua kuartalan beruntun.
"Apa yang membuat tantangan pembuat kebijakan dalam situasi yang luar biasa dan tidak pasti ini? Setiap situasi luar biasa dan tidak pasti tetap mengharuskan pemerintah hadir. Namun pertanyaannya, hadir seperti apa dan inilah dilema yang harus diatasi dan dihadapi. Tidak ada situasi yang ideal," katanya. (Baca juga: Subsidi Gaji 2,4 Juta guru Non-PNS Cair)
Dilema pertama adalah membuat kebijakan relay atau mengandalkan data historis atau menggunakan data proyeksi. "Data historis tentu membantu, tapi kalau tahu bahwa Covid-19 akan memukul ekonomi dan keuangan dan kita tahu ini dampaknya. Apakah kebijakan didesain dengan mengandalkan data historis saja atau kita mendesain berdasarkan apa yang mungkin terjadi," tuturnya.
Lalu, kedua mengenai kecepatan versus akurasi, misalnya puluhan juta masyarakat mendapatkan bantuan pemerintah. “Pemerintah perlu membantu mereka secara cepat karena Covid-19 itu tidak pakai kata pengantar, dia langsung naik dan memukul. Maka, kecepatan menjadi penting, namun kita tahu mungkin akurasinya tadi yang ini exclusion error datanya belum sempurna," paparnya. (Lihat videonya: Pemerintah Austria Kembali Putuskan untuk Lockdown kedua)
Dan Ketiga adalah dilema mengenai fleksibilitas dan compliance. Banyak sekali regulasi aturan dibuat dalam situasi normal saat menghadapi situasi extra-ordinary yang membutuhkan kecepatan dan fleksibilitas. "Karena itu, pilihan untuk tetap melakukan, sambil memperbaiki akurasi data diambil," ujarnya. (Rina Anggraeni)
(ysw)