RUU Minerba Dianggap Untungkan Korporasi Tambang
loading...
A
A
A
JAKARTA - Gelombang penolakan terus berdatangan terhadap pembahasan dan pengesahan RUU Minerba. Alih-alih memprioritaskan penyelamatan rakyat di tengah krisis pandemi Covid-19, DPR dan pemerintah justru dianggap menyediakan jaminan (bailout) dan memfasilitasi perlindungan bagi korporasi tambang.
Juru bicara #BersihkanIndonesia dari Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho, menilai keputusan DPR dan pemerintah untuk melanjutkan RUU Minerba menjadi bukti adanya kepentingan mewakili investor batu bara. Sebaliknya, sikap itu mengesampingkan aspirasi korban industri pertambangan dan rakyat yang memilihnya.
"Pembahasan yang dilakukan diam-diam, nir-partisipasi dan melanjutkan naskah yang dipenuhi pasal bermasalah adalah teror sesungguhnya oleh pemerintah dan DPR terhadap warga terdampak di lingkar pertambangan dan industri batu bara,” ujar Aryanto dalam keterangan tertulis kepada SINDOnews di Jakarta, Senin (11/5/2020).
Ia berpandangan, RUU Minerba merupakan bentuk jaminan (bailout) dari pemerintah untuk melindungi keselamatan elit korporasi, bukan rakyat dan lingkungan hidup dengan cara memanfaatkan krisis Covid-19. Sementara, bailout berikutnya tengah disiapkan, misalnya wacana usulan pemotongan tarif royalti yang harus dibayar kepada negara dan sejumlah insentif lainnya bagi perusahaan.
Menurut dia, agenda itu telah melanggar tata cara penyusunan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, peraturan tentang tata tertib DPR, dan mengabaikan hak konstitusi warga negara yang dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945.
"Proses pembahasan dan pengesahan RUU Minerba ini cacat prosedur dan hukum," celetuknya.
Koordinator Kampanye Eksekutif Nasional WALHI, Edo Rachman, meyakini beberapa pasal dalam draf RUU Minerba yang disahkan di Komisi VII telah memperlihatkan bagaimana perusahaan diberi kemudahan. Salah satunya, perpanjangan otomatis bagi pemegang izin PKP2B tanpa pengurangan luas wilayah dan lelang.
Hal itu ditunggu-tunggu oleh enam perusahaan raksasa batu bara yaitu Kaltim Prima Coal, Arutmin, Kideco Jaya Agung, Multi Harapan Utama, Berau Coal dan Adaro yang akan habis masa kontraknya di tahun ini dan tahun depan.
"Mereka ini diduga masih ingin terus menikmati kemewahan luas lahan, kemegahan produksi energi maut batu bara dan fasilitas lainnya saat masih berada dalam sirkuit aturan rezim kontrak," tutur Edo.
Kemudian, adanya definisi Wilayah Hukum Pertambangan yang akan mendorong eksploitasi tambang besar-besaran. Ketentuan itu bukan hanya di kawasan daratan, tetapi juga lautan yang bertentangan UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Juru bicara #BersihkanIndonesia dari Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho, menilai keputusan DPR dan pemerintah untuk melanjutkan RUU Minerba menjadi bukti adanya kepentingan mewakili investor batu bara. Sebaliknya, sikap itu mengesampingkan aspirasi korban industri pertambangan dan rakyat yang memilihnya.
"Pembahasan yang dilakukan diam-diam, nir-partisipasi dan melanjutkan naskah yang dipenuhi pasal bermasalah adalah teror sesungguhnya oleh pemerintah dan DPR terhadap warga terdampak di lingkar pertambangan dan industri batu bara,” ujar Aryanto dalam keterangan tertulis kepada SINDOnews di Jakarta, Senin (11/5/2020).
Ia berpandangan, RUU Minerba merupakan bentuk jaminan (bailout) dari pemerintah untuk melindungi keselamatan elit korporasi, bukan rakyat dan lingkungan hidup dengan cara memanfaatkan krisis Covid-19. Sementara, bailout berikutnya tengah disiapkan, misalnya wacana usulan pemotongan tarif royalti yang harus dibayar kepada negara dan sejumlah insentif lainnya bagi perusahaan.
Menurut dia, agenda itu telah melanggar tata cara penyusunan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, peraturan tentang tata tertib DPR, dan mengabaikan hak konstitusi warga negara yang dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945.
"Proses pembahasan dan pengesahan RUU Minerba ini cacat prosedur dan hukum," celetuknya.
Koordinator Kampanye Eksekutif Nasional WALHI, Edo Rachman, meyakini beberapa pasal dalam draf RUU Minerba yang disahkan di Komisi VII telah memperlihatkan bagaimana perusahaan diberi kemudahan. Salah satunya, perpanjangan otomatis bagi pemegang izin PKP2B tanpa pengurangan luas wilayah dan lelang.
Hal itu ditunggu-tunggu oleh enam perusahaan raksasa batu bara yaitu Kaltim Prima Coal, Arutmin, Kideco Jaya Agung, Multi Harapan Utama, Berau Coal dan Adaro yang akan habis masa kontraknya di tahun ini dan tahun depan.
"Mereka ini diduga masih ingin terus menikmati kemewahan luas lahan, kemegahan produksi energi maut batu bara dan fasilitas lainnya saat masih berada dalam sirkuit aturan rezim kontrak," tutur Edo.
Kemudian, adanya definisi Wilayah Hukum Pertambangan yang akan mendorong eksploitasi tambang besar-besaran. Ketentuan itu bukan hanya di kawasan daratan, tetapi juga lautan yang bertentangan UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.