Menyulap Sampah Plastik Jadi Produk Ekonomis melalui Digitalisasi

Sabtu, 12 Desember 2020 - 09:25 WIB
loading...
Menyulap Sampah Plastik Jadi Produk Ekonomis melalui Digitalisasi
Sampah menjadi salah satu isu permasalahan global yang terus mengemuka. Kondisi miris itu memantik inisiatif berbagai pihak termasuk perusahaan di bidang FMCG untuk ikut mengurangi sampah plastik. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Sampah menjadi salah satu isu permasalahan global yang terus mengemuka. Salah satunya mengenai keberadaan sampah plastik . Masalah tersebut juga dihadapi Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian yang dikeluarkan oleh Jenna Jambeck dari University of Georgia pada 2015, Indonesia disebut sebagai negara penyumbang sampah plastik ke lautan terbesar kedua di dunia setelah China.

Selain pemerintah, kondisi miris itu memantik inisiatif berbagai pihak termasuk perusahaan di bidang FMCG (Fast Moving Consumer Good) untuk ikut berperan mengurangi sampah plastik melalui daur ulang sehingga bisa dimanfaatkan kembali menjadi barang atau produk bernilai ekonomis.

Direktur Public Affairs and Communications PT Coca-Cola Indonesia , Triyono Prijosoesilo mengatakan pihak perusahaan terus berkontribusi menekan jumlah sampah plastik sebagai bentuk dukungan terhadap visi global ‘World without Waste’ pada 2018. Gagasan itu kemudian diwujudkan melalui program Plastic Reborn.

“Karena itu, kami memiliki target recycle kemasan botol plastik yang sudah dikeluarkan Coca cola sampai 2030. Misalnya, 1 juta ton plastik, maka yang harus di-recycle harus imbang sekitar 1 juta ton. Termasuk juga, kami recycle material lewat packaging (pengemasan) di tahun 2020,” ungkap Tri saat berbincang dengan SINDO Media secara virtual.

(Baca Juga: Sampah Plastik Diburu Pemulung, Memiliki Nilai Jual Tinggi )

Jilid pertama atau program Plastic Reborn 1.0 mulai meluncur pada 2018. Tri menjelaskan, program ini lebih menitikberatkan pada edukasi dan peningkatan kesadaran (education and awareness) di kalangan masyarakat.

“Masih banyak orang yang belum paham, belum sadar betul bahwa plastik itu material yang masih bisa didaur ulang. Masih bisa berguna dan dimanfaatkan menjadi barang yang bernilai ekonomis,” terang dia.

Melalui Plastic Reborn 1.0, Coca-Cola menggandeng dengan perusahaan rintisan berbasis aplikasi (startup) di Bandung dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Jakarta. Program ini menjangkau kalangan, terutama usia muda yang dinilai memiliki kreativitas dan mudah memahami era digitalisasi yang berkembang saat ini.

Perlahan namun pasti, melalui pembekalan dan dukungan yang diberikan, gerakan itu mulai berbuah hasil. Bahan baku sampah plastik bisa disulap menjadi buku catatan (note book) yang modis (fashionable) dan dipasarkan di pasar digital (ecommerce). “Ya nilainya lumayan,” kata Tri.

Tantangannya tidak mudah. Tri mengatakan, jumlah bahan baku plastik yang dibutuhkan tidak terkumpul banyak. Hal itu dikarenakan infrastruktur pengumpulan sampah di Indonesia yang belum begitu massif seperti di kota-kota besar maupun menengah yang sudah lebih maju dengan fasilitas tempat pembuangan akhir.

Tantangan itu ditambah lagi dengan pemahaman di masyarakat mengenai sampah plastik. Menurut data National Plastic Action Partnership (NPAP), saat ini Indonesia menghasilkan sekitar 6,8 juta ton sampah plastik per tahun. Sekitar 70% di antaranya atau setara 4,8 juta ton sampah justru salah urus. Secara umum, sampah di Indonesia 78% dibakar, 13% dibuang begitu saja, dan 9% dibuang ke sungai hingga ke laut.

“Inilah tantangan kita yang harus dihadapi. Perlu edukasi agar makin banyak orang punya kesadaran dan paham soal sampah plastik. Inilah learning collection system yang harus diperbaiki,” ujarnya.

(Baca Juga: Launching Pengiriman Sampah Plastik Bernilai Ekonomis )

Program itu kemudian berlanjut menjadi Plastic Reborn 2.0. Kali ini, tidak hanya edukasi saja yang diberikan. Coca-Cola menggandeng kerjasama startup dari tiga daerah berbeda yaitu Bali, Makassar, dan Gowa.

Misalnya, GreenGo yang berbasis di Bali. Mereka menciptakan suatu aplikasi yang membantu pengumpul sampah sehingga memudahkan menjangkau titik atau rumah mana saja yang belum didatangi.

Startup lainnya yakni Mall Sampah di Makassar. Konsepnya mirip dengan Bank Sampah. Hanya, Mall Sampah adalah digital marketplace sehingga menjadi wadah untuk mengumpulkan dan menyalurkan barang-barang plastik yang bisa didaur ulang. Terakhir, yaitu Waste Management Company. Startup ini berbasis di Gowa yang bekerja sama dengan komersial, mall, perumahan, mengambil sampah, daur ulang hingga menjual.

“Mereka dipilih karena punya fokus, kepedulian dan approach yang cukup unik. Kami lakukan inkubasi bisnis sehingga membangun bisnis menjadi lebih profesional dan siap menghadapi tantangan. Jadi, bukannya bersaing, tetapi mereka juga meningkatkan kolaborasi antar-startup,” jelasnya.

Kolaborasi itu pun berbuah hasil dengan melahirkan aplikasi perpaduan mengenai sampah plastik atau mix waste app. Lewat platform digital tersebut, memudahkan dalam pengumpulan data yang lebih lengkap untuk dimasukkan ke marketplace.

Dalam kurun hampir kurang dari 18 bulan, volume sampah yang berhasil dikumpulkan mengalami peningkatan pesat. Totalnya mencapai 460 persen. Tri menilai potensi tersebut sangat besar untuk menekan sampah plastik dan memanfaatkan menjadi sumber ekonomi kreatif .
(akr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2054 seconds (0.1#10.140)