Ekonom: Utang Negara Jadi Warisan Berat Bagi Presiden Selanjutnya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ekonom senior Indef Didik J Rachbini menilai, Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) mengalami masalah cukup berat sudah sejak lama, dari sisi penerimaan pajak yang kritis dan pengeluaran tidak efisien dan boros. Masalah anggaran selama beberapa tahun terakhir ini terjangkit penyakit defisit primer.
"Artinya, tanpa faktor utang, penerimaan negara tidak cukup untuk membiayai pengeluaran yang diperlukan," katanya di Jakarta, Kamis (7/1/2021).
(Baca Juga: Warning Krisis Utang Negara Berkembang! Bank Dunia Sebut Beban Makin Berat )
Karena itu, sambung dia, pemerintah harus membuat utang untuk mengatasi defisit primer tersebut. Tidak hanya itu, utang harus ditambah untuk membayar utang karena anggaran juga menanggung beban pembayaran utang pokok yang sudah jatuh tempo dan pembayaran cicilannya.
Dia menuturkan, utang terus meningkat dan tidak terkendali karena penerimaan rendah sehingga utang menjadi faktor kritis, yang akan menjadi beban warisan sangat berat bagi pemimpin atau presiden yang akan datang.
Lebih lanjut Didik memberi catatan untuk tahun 2021, yang menurutnya memerlukan perhatian, antara lain Pendapatan negara pada tahun 2021 yang sebesar Rp1.473,6 triliun atau turun sebesar -21,9% dibanding sebelum pandemi sehingga tahun 2021 belum pulih sepenuhnya meski terdapat perbaikan dibandingkan Perpres 72 Tahun 2020.
(Baca Juga: Emak-emak Zaman Now Doyan Beli Surat Utang Negara )
Belanja negara pada tahun 2021 yang sebesar Rp2.750 triliun naik sebesar 8,3% dibandingkan sebelum pandemi (normal), namun terdapat kenaikan sebesar 0,39 persen dibandingan Perpres 72 Tahun 2020. "Namun sayangnya, belanja transfer daerah ditinggalkan dalam fase pemulihan ekonomi dimana dibandingkan sebelum pandemi -7,2 persen (APBN 2020)," jelas dia.
Menurut Didik, struktur prioritas APBN Tahun 2021 juga terdapat skema anggaran yang tidak mengedepan skenario pemulihan ekonomi tahun 2021. "Skema pemulihan sepatutnya tetap membutuhkan anggaran fungsi ekonomi, infrastruktur dan sosial yang lebih tinggi," katanya.
"Artinya, tanpa faktor utang, penerimaan negara tidak cukup untuk membiayai pengeluaran yang diperlukan," katanya di Jakarta, Kamis (7/1/2021).
(Baca Juga: Warning Krisis Utang Negara Berkembang! Bank Dunia Sebut Beban Makin Berat )
Karena itu, sambung dia, pemerintah harus membuat utang untuk mengatasi defisit primer tersebut. Tidak hanya itu, utang harus ditambah untuk membayar utang karena anggaran juga menanggung beban pembayaran utang pokok yang sudah jatuh tempo dan pembayaran cicilannya.
Dia menuturkan, utang terus meningkat dan tidak terkendali karena penerimaan rendah sehingga utang menjadi faktor kritis, yang akan menjadi beban warisan sangat berat bagi pemimpin atau presiden yang akan datang.
Lebih lanjut Didik memberi catatan untuk tahun 2021, yang menurutnya memerlukan perhatian, antara lain Pendapatan negara pada tahun 2021 yang sebesar Rp1.473,6 triliun atau turun sebesar -21,9% dibanding sebelum pandemi sehingga tahun 2021 belum pulih sepenuhnya meski terdapat perbaikan dibandingkan Perpres 72 Tahun 2020.
(Baca Juga: Emak-emak Zaman Now Doyan Beli Surat Utang Negara )
Belanja negara pada tahun 2021 yang sebesar Rp2.750 triliun naik sebesar 8,3% dibandingkan sebelum pandemi (normal), namun terdapat kenaikan sebesar 0,39 persen dibandingan Perpres 72 Tahun 2020. "Namun sayangnya, belanja transfer daerah ditinggalkan dalam fase pemulihan ekonomi dimana dibandingkan sebelum pandemi -7,2 persen (APBN 2020)," jelas dia.
Menurut Didik, struktur prioritas APBN Tahun 2021 juga terdapat skema anggaran yang tidak mengedepan skenario pemulihan ekonomi tahun 2021. "Skema pemulihan sepatutnya tetap membutuhkan anggaran fungsi ekonomi, infrastruktur dan sosial yang lebih tinggi," katanya.
(akr)