Kejelasan SNI Vape Dibutuhkan Demi Perlindungan Konsumen

Jum'at, 22 Januari 2021 - 22:04 WIB
loading...
Kejelasan SNI Vape Dibutuhkan Demi Perlindungan Konsumen
Pada 2020, tercatat pengguna vape di Indonesia telah mencapai 2,2 juta orang, dengan jumlah toko ritel mencapai 5 ribu. Oleh karena itu, diperlukan regulasi. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Saat ini, produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) semakin diminati oleh pasar Indonesia, terutama vape . Pada 2020, tercatat pengguna vape di Indonesia telah mencapai 2,2 juta orang, dengan jumlah toko ritel mencapai 5 ribu. Oleh karena itu, diperlukan regulasi untuk meningkatkan kepercayaan publik akan kualitas produk melalui standarisasi.



Kepala Subdirektorat Program Pengembangan Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Mogadishu Djati Ertanto mengungkapkan, saat ini Kemenperin baru menyelesaikan konsensus Standar Nasional Indonesia (SNI) Hasil Tembakau Dipanaskan (HTP), yang juga produk HTPL, melalui tahap jajak pendapat.

"Kementerian Perindustrian juga mengusulkan penyusunan RSNI E-liquid di tahun 2021," ungkap Mogadishu saat membahas Outlook Standardisasi HPTL 2021 dalam diskusi daring dan bedah riset bertajuk "Persepsi Konsumen di Indonesia terhadap Penggunaan Rokok Elektrik" yang digelar Pusat Studi Konstitusi Universitas Trisakti, Jumat (22/1/2021).

Dia menyatakan, Kemenperin sangat berhati-hati untuk menetapkan SNI. Dari ratusan jenis produk makanan dan minuman, mereka hanya menerapkan enam SNI wajib.

Kehati-hatian diperlukan karena SNI wajib akan berlaku untuk produk impor maupun dalam negeri, baik industri kecil maupun industri besar. "Jadi kami selektif sekali untuk menetapkan SNI wajib. Jangan sampai itu menjadi senjata makan tuan. Jangan sampai industri dalam negeri jadi terbebani atau bahkan tutup," tuturnya.

Dalam acara yang sama, Pengawas Perdagangan Ahli Madya, Koordinator Bidang Pengawasan Produk Hasil Pertanian, Kimia, dan Aneka, Kementerian Perdagangan (Kemendag) Amiruddin Sagala menambahkan, untuk membahas persoalan rokok dan HTPL, semua pihak harus duduk bersama. Mulai dari lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, dan pemerintahan.

"Mencari bagaimana suatu solusi yang tepat, membuatkan suatu regulasi, agar kedua belah pihak saling menguntungkan. Paling tidak, bisa meminimalkan hal-hal yang tidak diinginkan," ujar Amiruddin.

Dia kemudian menjelaskan mengenai hak konsumen sesuai dengan Pasal 4 dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang hak konsumen.

Menurut Amiruddin, hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa.

Konsumen juga memiliki hak untuk memilih serta mendapatkan barang atau jasa. Selain itu, konsumen memiliki hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai barang atau jasa.

Sementara itu, Kepala Pusat Studi Konstitusi Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah membahas, hasil survei dan riset Multi-country Vaping Research oleh Health Diplomats dan Kantar. Bedah riset tersebut mengantarkan kepada tiga kesimpulan utama. Pertama, perokok dewasa di Indonesia menggunakan vape sebagai alat bantu untuk mengurangi konsumsi rokok konvensional.

Kedua, edukasi terkait jenis dan profil risiko tiap produk HPTL perlu dilakukan secara berkelanjutan. Dan ketiga, dibutuhkan regulasi yang jelas untuk melindungi konsumen, terutama terkait standarisasi produk dan pencegahan produk ilegal.

"Kalau idealnya, harusnya (HPTL) dibuat aturan tersendiri yang terpisah dari peraturan produk tembakau konvensional," saran Trubus.



Hasil riset menunjukkan, responden di Indonesia mulai menggunakan rokok elektrik sebagai upaya intervensi kesehatan, seperti membantu mengurangi konsumsi rokok (30%), alasan kesehatan (11 persen), dan mengikuti anjuran ahli kesehatan (9%). Lebih lanjut, 80 persen responden menilai bahwa promosi HPTL sebagai alternatif tembakau harus lebih digalakkan.

Pun demikian, sejumlah responden di Indonesia masih menganggap konsumsi nikotin lewat produk HPTL memiliki risiko yang sama dengan proses pembakaran pada rokok konvensional. Padahal, variasi produk HPTL tidak menghasilkan tar—bahan kimia yang muncul dari proses pembakaran.

Dalam hal ini, edukasi yang tepat mengenai manfaat dan profil risiko HPTL yang lebih rendah, seperti vape, tembakau yang dipanaskan (HTP), snus dan kantong nikotin, menjadi sangat mendesak.

Menurut survei yang sama, 50 persen responden mengindikasikan adanya kekhawatiran terhadap potensi kandungan bahan ilegal sebagai penyebab timbulnya risiko kesehatan. Adapun sebanyak 90 persen responden percaya jika vape seharusnya tersedia di pasaran sebagai pilihan alternatif bagi perokok konvensional, dan oleh karenanya membutuhkan regulasi yang tepat.
(akr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1488 seconds (0.1#10.140)