Tantangan Memaksimalkan Bonus Demografi

Jum'at, 29 Januari 2021 - 05:51 WIB
loading...
Tantangan Memaksimalkan Bonus Demografi
Bonus demografi menjadi tantangan bagi pemerintah dalam upaya mendorong perekonomian. FOTO/WIN CAHYONO
A A A
JAKARTA - Besarnya jumlah penduduk berusia produktif yang mencapai 70,2% dari total populasi di Tanah Air diyakini menjadi modal besar dalam menopang pembangunan nasional. Namun, untuk mewujudkannya memerlukan strategi jitu agar melimpahnya kelompok usia produktif bisa memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi perekonomian.

Masalahnya, di masa pandemi Covid-19 yang masih belum mereda, keberadaan kelompok berusia produktif ini justru terancam. Pandemi telah berdampak pada bertambahnya jumlah pengangguran, berkurangnya lapangan kerja, hingga kehilangan pendapatan masyarakat akibat terpangkasnya peluang ekonomi dan jam kerja.

(Baca juga: Ada 184 Juta Penduduk Muslim Dewasa di 2025, Erick Thohir: Pasar Besar bagi BSI )

Menilik data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diliris pekan lalu, penduduk produktif di Indonesia berdasarkan Sensus Penduduk (SP) 2020 mencapai 70,2% dari total polulasi 270,2 juta jiwa per September lalu. Artinya, ada sekitar 194,5 juta jiwa yang masuk usia produktif di rentang usia 15-64 tahun. Data BPS ini sedikit berbeda dengan angka yang disampaikan dalam sistem Administrasi Kependudukan (Adminduk) 2020 yang sebesar 271,35 juta jiwa per Desember lalu.

Kondisi ini, ujar Kepala BPS Suhariyanto, menunjukkan bahwa Indonesia masih dalam masa bonus demografi yang diperkirakan mencapai puncaknya tahun ini. Menurut dia, data tersebut akan bermanfaat tidak hanya untuk membuat perencanaan di masa kini tetapi juga mengantisipasi apa yang akan terjadi di masa depan.

(Baca juga: Memanfaatkan Penduduk Produktif di Masa Pandemi )

Meski terdapat perbedaan jumlah jiwa, namun data BPS dan Adminduk yang dikeluarkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sesungguhnya sudah menyatu. Perbedaan tersebut wajar karena perhitungannya memiliki selisih dua bulan.

Di samping itu, adanya perbedaan angka jumlah penduduk tersebut karena perhitungan BPS berdasarkan de facto, sementara Adminduk menggambarkan secara de jure. Perbedaan ini di antaranya karena adanya penduduk yang tinggal sementara di kota lain karena alasan pendidikan/kuliah, atau bekerja.

Lalu, bagaimana seharusnya Indonesia bisa memanfaatkan bonus demografi sebesar itu? Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengakui, bonus demografi bagaikan pisau bermata dua. Menurut Ida, jika dapat mengelola dengan baik maka hal akan menjadi berkah demografi yang sangat penting untuk menopang pembangunan ekonomi.

“Tetapi, di sisi yang lain jika tidak dikelola dengan baik, dapat menjadi musibah demografi karena dapat mengakibatkan ledakan angka pengangguran,” kata Ida kepada KORAN SINDO, Kamis, (28/01/21).

(Baca juga: Menaker Ida Fauziyah Genjot Lagi Pelatihan Kerja )

Ida menambahkan, bonus demografi berupa ledakan anak-anak muda usia produktif yang akan mencapai puncaknya pada 2030, kini sudah mulai terjadi. Berdasarkan data yang dimilikinya, sebanyak 2,9 juta anak usia produktif setiap tahun akan masuk ke pasar kerja.

Kondisi ini, ujar dia, menjadi tantangan yang tidak ringan di sektor ketenagakerjaan karena terjadi di saat Indonesia sedang dilanda pandemi Covid-19. Pandemi juga berdampak sangat dahsyat kepada sektor ketenagakerjaan. Data Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan ada puluhan juta orang pekerja terdampak dan angka pengangguran melonjak hingga menjadi 9,77 juta orang pada Agustus tahun lalu.

“Menghadapi kondisi ini kami saat ini telah, sedang dan akan terus bekerja keras untuk memastikan orang yang belum bekerja dapat bekerja dan yang sudah bekerja tetap bekerja. Untuk itu kami telah mempersiapkan berbagai terobosan besar,” ucap Ida.

(Baca juga: BLK Komunitas Bikin Santri Tidak Perlu Susah Payah ke Kota dan Merogoh Kocek Dalam )

Beberapa terobosan yang dimaksud di antaranya dengan memperbaiki program mulai dari hilir seperti peningkatan skill di Balai Latihan Kerja (BLK), membentuk inkubator-inkubator kewirausahaan hingga mengembangkan talenda muda berbasis teknologi.

Pekerjaan rumah pemerintah dalam mengelola sumber daya manusia (SDM) produktif sebenarnya bertambah besar karena pandemi Covid-19 juga berdampak pada kelompok usia lain di level anak-anak dan remaja usia sekolah. Hal ini karena proses pendidikan kelompok ini terganggu akibat penerapan pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau online.

Masalah semakin kompleks karena saat penerapan PJJ ternyata tidak semua siswa memiliki akses yang sama akibat keterbatasan gadget maupun jaringan telekomunikasi. Kondisi ini dikhawatirkan memunculkan fenomena baru bnerupa lost generation akibat kebutuhan pendidikannya tidak terpenuhi secaraa optimal.

Namun, Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Pungky Sumadi menyangkal jika adanya potensi ‘kehilangan generasi’ tersebut. Menurutnya, kekhawatiran itu tidak akan terbukti karena sistem pendidikan masih bisa berjalan.

Menurutnya, pandemi Covid-19 tidak serta merta menghilang program-program rutin pemerintah di bidang pendidikan. Pun demikian dengan anggaran untuk pendidikan dasar, menengah, dan perguruan tinggi tidak otomatis hilang karena pendemi. Bahkan, kata dia, pos anggaran pendidikan wajib 20% dari total anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tetap ada.

“Enggak akan kehilangan generasi. Lost generation itu kalau betul-betul tidak ada usaha melakukan pendidikan. Tidak ada usaha kesehatan. Jadi masyarakat dibiarkan tidak belajar, fasilitas kesehatan, dan segala macam itu baru lost generation. Itupun kalau dilaksanakan dalam jangka panjang,” ujarnya saat dihubungi KORAN SINDO, Kamis (28/01/21).

Dia menerangkan, tidak ada orang yang mengharapkan dan siap menghadapi kondisi pandemi seperti saat ini. Kondisi dunia pendidikan yang tidak menguntungkan karena keterbatasan gadget dan akses internet menjadi konsekuensi dari peristiwa yang mendadak.

Sementara itu, anggota Komisi IX DPR M Nabil Haroen meminta, pemerintah konsisten mempersiapkan demografi, terutama pada masa penting antara 2025-2035. Pemerintah sebenarnya sudah memiliki roadmap Indonesia Emas pada 2045.

“Bonus demografi bisa jadi tantangan. Akan tetapi, bisa jadi bencana jika tidak terkelola dengan baik,” ucapnya.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu mengatakan kunci dalam menghadapi era teknologi informasi (TI) ini adalah mental, karakter, kreativitas, konsistensi, dan semangat belajar.
Nilai dasar itu, kata dia, harus dipupuk sejak di keluarga dan dikuatkan melalui pendidikan formal. Menurutnya, keinginan belajar yang tinggi itu akan mengantarkan generasi bangsa Indonesia menguasai kemampuan yang spesifik dan adaptif di era inovasi TI ini.

“Pemerintah harus memastikan sumber dan infrastruktur belajar bisa diakses dengan mudah dan murah. Bagaimana memberi akses internet sampai kawasan pedalaman dan kuota internet itu terjangkau,” ujarnya.

Dia menambahkan, di samping itu, harus ada upaya untuk mempermudah investor masuk Indonesia agar lapangan pekerjaan terbuka.

“Tapi, sekali lagi investor yang ramah lingkungan, yang kehadirannya menyejahterakan dan meningkatkan kualitas SDM generasi muda kita,” katanya.

Di bagian lain, peneliti bidang sosial The Indonesian Institute (TII) Nopitri Wahyuni mengatakan, tantangan demografi di masa pandemi adalah tingginya tingkat pengangguran disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja (PHK) atau dirumahkan.

“Gelombang tingkat pengangguran tersebut juga diperburuk dengan banyaknya lulusan pendidikan vokasional atau pendidikan tinggi yang tidak terserap pula di dunia kerja di saat ekonomi sedang resesi,” kata Nopitri kepada KORAN SINDO, kemarin.

Dia menambahkan, meski banyak kebijakan dibuat seperti optimalisasi balai latihan kerja (BLK), Kartu Prakerja, hingga UU Cipta Kerja namun dalam kenyataannya terdapat beberapa catatan yang perlu diperbaiki. Misalnya, kata dia, terkait penambahan angka pengangguran sebanyak 2,67 juta orang pada Agustus 2020 sehingga angkanya menjadi 9,77 juta orang.

Kondisi ini mendorong adanya peralihan pasar ketenagakerjaan dari sebelumnya sektor formal menuju sektor informa. Di samping itu, banyak pula pekerja yang sebenarnya melakukan pekerjaan paruh/setengah menganggur.

“Dengan kondisi ini kebijakan yang dibuat harus menyentuh dua struktur ekonomi, yakni struktur formal dan struktur informal. Mendorong struktur formal melalui insentif bagi perusahaan atau industri agar ada efisiensi melalui pengurangan karyawan. Atau dengan memperluas subsidi gaji karyawan ternasuk bagi pekerja sektor informal yang gajinya di bawah Rp5 juta,” ujarnya.

Adapun untuk mendorong struktur informal, perlu melakukan pendataan besaran pekerja struktur informal yang ada, apakah masuk ke UMKM atau lainnya. Selain itu, strategi lain adalah dengan mengoptimalkan stimulus dari program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang menyasar UMKM berupa bantuan produktif senilai Rp2,4 juta bagi UMKM. “Bantuan modal kerja, keringanan/relaksasi kredit, kemudahan dalam regulasi perizinan usaha, harus dipermudah,” katanya.

Menurut Nopitri, berbagai strategi tersebut diharapkan dapat mendorong pelaku usaha muda di rentang usia 16-30 tahun agar tetap bertahan dan berkembang pada masa pandemi.
Terkait pembinaan untuk tenaga kerja yang kurang terampil (unskilled) harus dilakukan dengan memulai pendataan dan pemetaan. Setelah pemetaan baru dikaitkan dengan industri yang tidak membutuhkan keterampilan tinggi seperti industri konstruksi, operator, atau jasa lainnya.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1329 seconds (0.1#10.140)