Sakit Kronis, Begini Kondisi Mengenaskan Bumiputera

Senin, 22 Februari 2021 - 20:45 WIB
loading...
Sakit Kronis, Begini Kondisi Mengenaskan Bumiputera
Ilustrasi. FOTO/SINDOnews
A A A
JAKARTA - AJB Bumiputera 1912 genap berusia 109 tahun merupakan aset dalam perekonomian bangsa Indonesia. Bagaimana tidak, ada ribuan pemegang polis, pekerja, agen di perusahaan asuransi tersebut. Namun kini Bumiputera kondisinya mengenaskan masuk masa kritis.

"Masalah di Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 semakin kompleks. Bukan hanya sekedar permasalahan likuiditas keuangan akibat kewajiban pembayaran klaim terhadap Pemegang Polis, namun juga masalah kebuntuan di internal yang sulit dilakukan oleh Organ Perusahaan," ujar Ketua Tim Advokasi dan Contingency Plan Serikat Pekerja NIBA AJB Bumiputera 1912 F. Ghulam Naja yang membeberkan masalah di Bumiputera.



Menurut Ghulam, pasca Putusan Mahkamah Konstitusi RI yang mengabulkan permohonan Judicial Review oleh Anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA) terhadap UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian pada 4 Januari 2021 lalu, menjadikan Peraturan Pemerintah RI Nomor 87 Tahun 2019 tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga seluruh ketentuan dalam Anggaran Dasar AJB Bumiputera 1912 berlaku seutuhnya.

Konsekuensi dari berlakunya seluruh ketentuan dalam Anggaran Dasar tersebut adalah menuntut kepatuhan bagi seluruh Pemangku Kepentingan dalam Usaha Bersama AJB Bumiputera 1912 secara konsisten. Sebagaimana diketahui bahwa Organ Perusahaan Usaha Bersama AJB Bumiputera 1912 saat ini, sesuai ketentuan dalam Anggaran Dasar AJB Bumiputera 1912 terdiri dari :

Keanggotaan Badan Perwakilan Anggota (BPA) dengan ketentuan sebanyak 11 (sebelas) orang, menyisakan 2 (dua) orang, yaitu Nurhasanah (Dapil Sumatera Bagian Selatan) dan Khoerul Huda (Dapil Kalimantan) yang merupakan keanggotaan BPA periode 1 Juli 2015 – 30 Juni 2021 yang berakhir pada 30 Juni 2021, sedangkan selebihnya keanggotaan BPA periode 14 April 2015 – 31 Desember 2019 seluruhnya telah berakhir pada 31 Desember 2019.

Dewan Komisaris dengan ketentuan jumlah minimal 3 (tiga) orang hanya terpenuhi 2 (dua) orang, itupun Komisaris Independen, yaitu Zaenal Abidin dan Erwin T. Setiawan. Sedangkan Direksi dengan ketentuan minimal 3 (tiga) orang hanya terpenuhi 1 (satu) orang, yaitu Dena Chaerudin sebagai Direktur SDM dan Umum.

Untuk menjalankan kegiatan operasional Perusahaan, jumlah Direksi bersama Dewan Komisaris yang ada saat ini tidak memenuhi standar tata kelola yang diperkenankan sebagaimana ketentuan yang berlaku di industri perasuransian. Kondisi demikian memicu kinerja bisnis yang tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya bahkan menghadapi banyak kendala.

Kondisi tersebut telah berlangsung lama sejak 2019 dengan berbagai proses bongkar pasang komposisi Direksi dan Dewan Komisaris yang saat berlakunya PP 87 Tahun 2019. OJK sebagai pengawas/Regulator telah berulangkali memberikan peringatan terkait keputusan-keputusan melalui Rapat Umum Anggota (RUA) Luar Biasa (LB) bertentangan dan tidak sesuai dengan PP 87 Tahun 2019. Namun pelanggaran tersebut seringkali dilakukan oleh Peserta RUA pada waktu itu.

Terakhir pada tanggal 23 Desember 2020, RUA LB digelar dengan jumlah 3 (tiga) orang Peserta RUA dengan keputusan-keputusan yang dilaksanakan oleh Organ Perusahaan yang masih duduk hingga saat ini. Keputusan-keputusan tersebut tertuang dalam Akta Notaris Maria Gunarti, SH. MKn tanggal 4 Tahun 2021.

Anehnya Notaris menuangkan keputusan-keputusan yang sesungguhnya telah jelas bahwa dengan RUA LB yang diikuti oleh Peserta RUA sebanyak 3 (tiga) orang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Anggaran Dasar terkait dengan ketentuan kuorumnya suatu keputusan yang harus diikuti oleh 2/3 dari 11 Peserta RUA. Ditambah mekanisme penyelenggaraan RUA LB bertentangan dengan ketentuan dalam PP 87 Tahun 2019. Notaris tidak cermat dan mengabaikan ketentuan dalam PP 87 Tahun 2019 maupun Anggaran Dasar AJB Bumiputera 1912 yang demikian dipertanyakan kode etiknya dalam jabatan Notaris.

Pasca dibacakannya Keputusan MK RI pada tanggal 4 Januari 2021, seluruh ketentuan dalam PP 87 Tahun 2019 praktis tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Hal demikian telah dinyatakan dalam surat yang ditandatangani oleh Plt. Direktur Utama yang beredar luas sebagaimana tertuang dalam surat nomor 45/DIR/Int/II/2021 tertanggal 8 Februari 2021 perihal Penyampaian Hasil Keputusan Mahkamah Konstitusi.

Dasar pengangkatan Plt. Direktur Utama inipun masih dipertanyakan, karena belum ditemukan secara jelas pengangkatannya melalui Akta Notaris yang mana, mengingat nama Zaenal Abidin diketahui masih menjabat sebagai Komisaris Independen. Dalam tatanan organisasi, seorang Komisaris dari unsur independen seharusnya dituntut independensinya dalam mengimbangi peranan komisaris-komisaris yang ada. Namun kenyataannya sikap tersebut tidak menunjukkan independensi dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan AJB Bumiputera 1912 yang dijalankan oleh seorang Direksi.

Di samping hal tersebut, Ketua BPA merangkap sebagai Komisaris Utama yang pengangkatannyapun masih dipertanyakan dasar hukumnya dan menggunakan mekanisme ketentuan yang mana dan bahkan OJK telah menyatakan pengangkatan tersebut tidak sah. Ditambah lagi tuntutan pembayaran gaji bulanan serta pesangon sebagaimana beredar luas dalam pemberitaan-pemberitaan. Dalam kondisi AJB Bumiputera 1912 tengah mengalami tekanan likuiditas tinggi, dengan banyaknya tunggakan-tunggakan kewajiban klaim asuransi kepada pemegang polis yang hampir menembus angka Rp12 triliun serta tunggakan-tunggakan kepada Pekerja berupa belum terbayarnya sisa gaji selama tiga bulan, sumbangan biaya pendidikan, serta hak-hak normatif lainnya sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB), dan tunggakan kepada pihak ketiga, sudah sepatutnya praktik-praktik demikian dipertanyakan oleh banyak pihak.

Sebagai Pemilik Perusahaan dan di tengah kondisi usaha mengalami kerugian, jika menggunakan pendekatan perbandingan badan usaha Perseroan Terbatas (PT), seharusnya Anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA) menambah setoran modal ke Perusahaan guna mencukupi kesenjangan, sehingga hak-hak yang tertunggak dapat diselesaikan dengan baik.

Jika menggunakan pendekatan perbandingan badan usaha Koperasi, maka setiap kerugian yang terjadi ditanggung secara bersama-sama oleh Anggota. Kira-kira Usaha Bersama lebih pas menggunakan pendekatan yang mana ? Namun yang jelas dalam Anggaran Dasarnya khususnya Pasal 38 telah diatur secara jelas. Kurang lebih hakekatnya sama, dalam mengatasi kerugian, dikembalikan pada Pemilik atau representasi pemilik, sehingga dalam situasi usaha rugi bukannya mengambil asset yang diakuinya sebagai hak. Oleh karenanya, antara hak yang selama ini diambil oleh Anggota BPA berupa gaji bulanan, fasilitas-fasilitas, serta ketentuan pesangon, tentunya bertolak belakang dengan karakteristik bentuk Usaha Bersama.

Pemegang Polis sebagai kumpulan Pemilik Perusahaan sudah sepatutnya mempertanyakan wakilnya yang duduk di masing-masing Daerah Pemilihan masing-masing, mengapa wakil-wakilnya dapat bertindak demikian dan bahkan telah secara nyata menciderai anggota-anggota yang diwakilinya dengan manfaat asuransi dari waktu dan jumlah yang selazimnya dapat dinikmati tepat waktu.

Pemegang Polis telah menuntut hak berupa Manfaat Asuransinya kepada Direksi sebagaimana tercermin dalam Produk Asuransi yang dimanfaatkan, namun jangan lupa bahwa Pemegang Polis juga merupakan Anggota / Pemilik Usaha Bersama yang hak-haknya diwakili oleh Anggota BPA, sehingga wajib mempertanyakan kepada Anggota BPA bagaimana selama ini duduk dalam Organ Peerusahaan tertinggi.

Praktek-praktek yang tidak lazim juga tercermin dari suatu tindakan yang menurut Anggota BPA pada Sidang Luar Biasa tanggal 23 Desember 2020, telah memberhentikan 3 (tiga) orang Direksi bernama Faizal Karim, SG. Subagyo, dan Wirzon Sofyan sebagai akibat adanya pelanggaran Anggaran Dasar. Uniknya, orang-orang yang dianggap telah melanggar Anggaran Dasar, diangkat kembali sebagai Staf Ahli dengan status kontrak dan bergaji besar. Kondisi tersebut mencerminkan bahwa Petinggi AJB Bumiputera 1912 memang terbiasa dengan budaya melanggar ketentuan. Anggaran Dasar yang merupakan kitab suci dan aturan tertinggi AJB Bumiputera 1912 pun biasa dilanggar.

Penindakan atas dugaan tindak pidana telah bergulir dan akan dibukanya seluruh kasus-kasus yang terjadi di AJB Bumiputera 1912. Hal demikian menjadi janji para Aparat Penegak Hukum untuk mengusut tuntas tindak pidana yang terjadi di AJB Bumiputera 1912. Dari penyalahgunaan investasi, seperti Kasus Optima, Sugih Energy, dan investasi lainnya di Anak Perusahaan, pengeluaran biaya-biaya akibat program switching di PT. Pusri Palembang, PT. Semen Indonesia, PT. BSRE, pengeluaran biaya-biaya melalui rapat direksi, seperti penanganan kasus Optima, dan lain-lain, biaya-biaya BPA, biaya kontrak CMO, Mantan Direksi yang jelas-jelas melanggar Anggaran Dasar diangkat kembali menjadi Staf Ahli oleh Direksi, penggelapan asset Perusahaan dengan cara sistematis melalui ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dan tertuang dalam Akta Notaris, dan dugaan tindak pidana lainnya.

Terpenuhinya unsur pidana atas pelaksanaan perintah tertulis dalam surat OJK nomor S-13/D.15/2020 tanggal 16 April 2020 hingga tidak dapat lagi diselesaikan dengan cara perdata. Ini mengingat delik formil telah terpenuhi berkaitan dengan lewatnya waktu yang ditentukan dalam surat OJK nomor S-13/D.15/2020 tersebut.

Penyelesaian klaim Pemegang Polis sudah tidak lagi dapat diprediksi kapan akan terbayar, karena sudah jelas permasalahan AJB Bumiputera 1912 lengkap. Mulai dari kondisi keuangan yang terus mengalami penyusutan dan perilaku yang tidak GCG oleh para Petingginya. Entitas bisnis dijadikan ajang berpolitik, sebagaimana diterapkan oleh Ketua BPA yang merupakan Anggota DPRD aktif dari Partai Penguasa di negeri ini. Kemudian membawa masuk 2 (dua) orang lainnya dari Partai Politik yang sama yaitu Zaenal Abidin dan Erwin T. Setiawan. Faktanya duduknya orang-orang tersebut tidak banyak mengubah kondisi AJB Bumiputera 1912 membaik, malah justru tambah jauh dari asa dan semakin tidak jelas.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) RI yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2011 yang merupakan lembaga pengawas pada industri perasuransian, belum banyak berbuat terhadap kondisi AJB Bumiputera 1912. Sejak 2019 pasca bergulirnya PP 87 Tahun 2019, OJK hanya menerbitkan surat-surat yang pada akhirnya surat-surat yang diterbitkan kepada AJB Bumiputera 1912 dilemahkan sejalan dengan Keputusan MK yang dibacakan pada tanggal 4 Januari 2021.

Uniknya OJK belum pernah menyikapi terhadap surat-surat yang dikeluarkan kepada AJB Bumiputera 1912 dan akan diapakan. Regulasi menjadi macan kertas dan lemah dalam pengawasan serta implementasi. Padahal kerugian yang diderita AJB Bumiputera 1912, ribuan Pemegang Polis, Pekerja, Agen Asuransi, dan pemangku kepentingan lainnya, telah nyata terjadi berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Lalu apa yang ditunggu oleh OJK ?

Berbagai aksi dilakukan dari Perkumpulan Pemegang Polis Bumiputera Indonesia yang telah mengangkat Anggota BPA AJB Bumiputera 1912 periode 2021 – 2026. Hal ini ditempuh sebagai akibat telah hilangnya kepercayaan dari Pemegang Polis serta buntunya / ketentuan yang ada di Anggaran Dasar AJB Bumiputera 1912. OJK dalam tanggapannya sebagaimana tertuang dalam surat S-7/NB.23/2021 tanggal 8 Februari 2021 menyatakan bahwa proses pengangkatan tersebut tidak sepenuhnya didasarkan pada ketentuan dalam Anggaran Dasar AJB Bumiputera 1912 dan oleh karenanya tidak dapat diproses.

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, maka kondisi AJB Bumiputera 1912 dalam kedudukan kebijakan tertinggi dan seiring dengan kondisi Organ Perusahaan, tidak memungkinkan lagi bergantung dari upaya sendiri dalam bertindak atau melakukan langkah-langkah strategis, selain memerlukan kebijakan OJK selaku lembaga otoritas dalam menyikapi permasalahan yang terjadi.

Jika masyarakat ingin mengetahui permasalahan yang terjadi mendasar di AJB Bumiputera 1912, dapat dilihat secara sederhana, bahwa AJB Bumiputera 1912 tengah mengalami kebuntuan pasca Putusan MK yang dibacakan pada 4 Januari 2021. Dengan jumlah Anggota BPA 2 (dua) orang tidak lagi dapat memutuskan suatu keputusan akibat sesuai ketentuan dalam Anggaran Dasar tidak kuorum.



Anggota BPA 11, terdiri dari 5 (lima) Dapil yang berakhir pada 30 Juni 2021, tersisa 2 (dua) Dapil, sesuai ketentuan Anggaran Dasar bagi Dapil yang kosong dan masih berlaku masa keanggotaannya dapat diangkat suara terbanyak berikutnya. Berikutnya dari 6 (enam) Dapil telah habis masa keanggotaannya pada 31 Desember 2019 dan hanya dapat diisi melalui mekanisme Pemilihan. Jika dari 5 (lima) Dapil terisi semuanya, tetap tidak kuorum dalam memutuskan suatu keputusan-keputusan.

Satu-satunya cara adalah melakukan Pemilihan Anggota BPA, sesuai ketentuan Anggaran Dasar yang menjadi Panitia Pemilihan adalah unsur Anggota BPA yang tidak mengikuti proses pemilihan, Direksi, dan Pekerja. Selanjutnya Panitia Pemilihan sesuai ketentuan Anggaran Dasar harus disahkan melalui Sidang BPA. Permasalahannya Sidang BPA jumlah Anggotanya tidak kuorum. Dengan keadaan demikian maka ketentuan dalam Anggaran Dasar telah mengalami kebuntuan.

Berbeda jika dalam ketentuan PP 87 Tahun 2019, tidak kuorumnya jumlah Anggota BPA, dapat dimohonkan batasan kepada OJK tentang kuorumnya jumlah Anggota BPA yang bersidang. Namun sudahlah, PP 87 Tahun 2019 tidak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Kondisi tersebutlah yang dimaksudkan “Keputusan MK berdampak bagi Kebuntuan Bumiputera”, atau dengan kata lain “Pemilik Perusahaan menggunakan Hak Konstitusinya Menciptakan Kebuntuan bagi Perusahaannya sendiri”, sudah sadarkah Para Pemegang Polis yang kepentingannya diwakili oleh Anggota BPA selama ini ? Kalau masih mau sabar menunggu lahirnya UU Usaha Bersama 2 tahun paling lama sejak dibacakannya Putusan MK RI.

Solusi dari kebuntuan tersebut di atas, hanya dikembalikan kepada celah regulasi atau peraturan yang dapat mengatasi kebuntuan yang terjadi atas mandulnya ketentuan dalam Anggaran Dasar. Anggaran Dasar sudah jelas dilanggar, diperkuat dengan penuangannya dalam Akta Notaris Maria Gunarti, SH. MKn mengakomodir keputusan SLB BPA tanggal 23 Desember 2020, dan hal ini harus menjadi perhatian Majelis Pengawas Notaris dalam mencermati kode etik jabatan Notaris, jangan sampai kerugian triliunan yang diderita ribuan Pemegang Polis, ribuan Pekerja, ribuan Agen Asuransi, bahkan nilai sejarah AJB Bumiputera 1912 yang tiada ternilai. Mari kita sama-sama cermati bagaimana membongkar kebuntuan yang terjadi agar permasalahan AJB Bumiputera 1912 terurai.

Harapan datang dari UU 21 Tahun 2011 tentang OJK, di Pasal 9, bahwa OJK mempunyai kewenangan untuk melakukan penetapan Pengelola Statuter. OJK mempunyai pertimbangan-pertimbangan dan mendesak untuk dilakukan dengan memperhatikan kondisi yang terjadi di AJB Bumiputera 1912.

POJK Nomor 41/POJK.05/2015 tentang Tata Cara Penetapan Pengelola Statuter, disebutkan pada Pasal Ayat (3), sebagai berikut :

“Penunjukan dan penetapan penggunaan Pengelola Statuter selain dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat pula dilakukan apabila berdasarkan penilaian OJK, Lembaga Jasa Keuangan memenuhi kriteria sebagai berikut :

1. Kondisi keuangan Lembaga Jasa Keuangan dapat membahayakan kepentingan Konsumen, sektor jasa keuangan, dan/atau pemegang saham;

2. Penyelenggaraan kegiatan usaha Lembaga Jasa Keuangan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;

3. Lembaga Jasa Keuangan telah dikenai sanksi pembatasan kegiatan usaha;

4 Lembaga Jasa Keuangan dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk memfasilitasi dan/atau melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan ;Pemegang saham, Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah Lembaga Jasa Keuangan diduga melakukan tindak pidana disektor jasa keuangan yang dapat mengganggu operasional pada Lembaga Jasa Keuangan yang bersangkutan;

5. Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah Lembaga Jasa Keuangan dinilai tidak mampu mengatasi permasalahan yang terjadi di Lembaga Jasa Keuangan ; dan/atau Lembaga Jasa Keuangan tidak memenuhi perintah tertulis untuk mengganti Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah.”

Berlarut-larut sama saja melakukan pembiaran. Pembiaran situasi rebutan jabatan dan penjarahan asset di internal Perusahaan dan hanya akan semakin mengakibatkan kerugian yang lebih besar bagi Pemegang Polis, Pekerja, Agen Asuransi akan masa depannya. Perlu dukungan Pemerintah dan seluruh Pemangku Kepentingan serta dukungan masyarakat untuk menyelamatkan AJB Bumiputera 1912 serta memulihkan kondisi keuangan dan tata kelolanya

Bersatu padu seluruh Pemegang Polis, Pekerja, Agen Asuransi untuk mendesak kepada OJK segera menyelesaikan masalah AJB Bumiputera 1912 melalui Penetapan Pengelola Statuter untuk memecah kebuntuan dari ketentuan Anggaran dasar yang sudah tidak dapat diimpleentasikan serte segera mengubahnya berdasarkan karakteristik Usaha Bersama yang mendunia. OJK harus sadar posisi dan bijak menyikapi persoalan dengan lunak memberikan stimulus bagi AJB Bumiputera 1912 dengan resep yang pas

Segera lakukan dan setelah itu fokus membuat perencanaan terstruktur, sistematis, dan terukur, agar Tata Kelola dapat ditegakkan dan sesuai GCG sehingga seluruh hak Pemegang Polis, Pekerja, dan Agen Asuransi segera terurai. Walaupun sulit tapi peraturan yang ada diharapkan dapat mengatasi kebuntuan yang terjadi di AJB Bumiputera 1912. Masyarakat harus terus mendesak kepada OJK untuk menjalankan serta mematuhi peraturan-peraturan yang telah dibuat.
(nng)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1969 seconds (0.1#10.140)