Yuks Pahami Unrealized Loss Terkait BPJamsostek
loading...
A
A
A
JAKARTA - Fenomena unrealized loss (UL) seakan menjadi momok karena berpotensi menjadi ancaman kriminalisasi, sehingga sangat menakutkan bagi perusahaan yang mengelola dana publik seperti BPJS Ketenagakerjaan atau BPJamsostek dan juga perusahaan-perusahaan sekuritas di pasar modal .
Pasalnya, kalau terjadi UL mereka bisa terancam pidana. Hal tersebut dikarenakan adanya sorotan mengenai fenomena UL yang dialami BPJamsostek yang langsung dicap sebuah kerugian mutlak, padahal tidak. ( Baca juga:Penghapusan Kode Broker Akan Menyehatkan Aktivitas Pasar Modal RI )
Menurut pengamat hukum pasar modal, Indra Safitri, siapa saja yang ingin berinvestasi disebut investor. Suatu kerugian yang belum direalisasikan, belum bisa disebut kerugian, karena memang kondisi pasar yang bisa berubah, bisa naik turun.
"Mari kita melongok UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar modal. Kalau dilihat kerugian tentu kita tidak bisa memisahkan dengan hukum yang mengatur investasi. Pasar itu selalu berubah, dalam hitungan jam saja pasar bisa berubah-ubah," ujar dia dalam keterangan tertulisnya, Kamis (4/3/2021).
Untuk mengurai kasus pidana di pasar modal membutuhkan waktu, dan harus diuraikan. Asetnya bagaiamana, apakah asetnya didapat dari kejahatan? Semua itu membutuhkan proses yang cukup panjang.
Kalau bicara UL, dalam pengetahuan Indra tentu dalam konteks kerugian, itu belum terjadi, hanya ada faktor perhitungan maka dikatakan rugi. Sebenarnya siapa saja yang masuk ke pasar tentu treatmentnya sama. Kalau modal negara yang berinvestasi dalam pasar modal rugi, tentu itu dalam pasar modal itu adalah kerugian negara.
Tapi negara juga ada untung. Ini ada keseimbangan, kapan dia untung, kapan dia rugi. Kalau Negara tidak ingin rugi, negara tidak usah berinvestasi di pasar modal, pasar bisa rugi dan bisa untung.
Kalau ingin melihat investasi dalam pasar modal, harus konsisten menggunakan perangkat yang ada dalam industri ini. Posisi BPJamsostek itu sebagai investor. Kalau ditanya terjadi kerugian karena produknya palsu, atau produknya tergolong dari penipuan hukum.
"Tapi misalnya sahamnya lahir karena perbuatan melawan hukum, ada mekanisme pengawasan, mekanisme transaksi secondary market, investor yang dirugikan. Kalau misalnya ada BUMN yang berinvestasi, lihat, kalau ada unsur yang melawan hukum, biasanya kick back, suap. Tapi kadang-kadang ada juga suap tapi saham yang dibeli saham blue chip," ungkap dia.
Profesor Keuangan dan Investasti IPMI Internasional Bisnis School Roy Sembel membandingkan kasus yang menimpa BPJamsostek dengan Jiwasraya. Kalau kasus Jiwasraya mulainya lebih dari satu dekade lalu, karena pengelolaannya miss match dengan data statistik yang ada. Kasus Jiwasraya itu ditenggarai melibatkan pemilihan manejer investasi dengan proses kurang good governance dan trading saham yang goreng-gorengan. Sementara hasil investasi BPJamsostek masih positif.
Pasalnya, kalau terjadi UL mereka bisa terancam pidana. Hal tersebut dikarenakan adanya sorotan mengenai fenomena UL yang dialami BPJamsostek yang langsung dicap sebuah kerugian mutlak, padahal tidak. ( Baca juga:Penghapusan Kode Broker Akan Menyehatkan Aktivitas Pasar Modal RI )
Menurut pengamat hukum pasar modal, Indra Safitri, siapa saja yang ingin berinvestasi disebut investor. Suatu kerugian yang belum direalisasikan, belum bisa disebut kerugian, karena memang kondisi pasar yang bisa berubah, bisa naik turun.
"Mari kita melongok UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar modal. Kalau dilihat kerugian tentu kita tidak bisa memisahkan dengan hukum yang mengatur investasi. Pasar itu selalu berubah, dalam hitungan jam saja pasar bisa berubah-ubah," ujar dia dalam keterangan tertulisnya, Kamis (4/3/2021).
Untuk mengurai kasus pidana di pasar modal membutuhkan waktu, dan harus diuraikan. Asetnya bagaiamana, apakah asetnya didapat dari kejahatan? Semua itu membutuhkan proses yang cukup panjang.
Kalau bicara UL, dalam pengetahuan Indra tentu dalam konteks kerugian, itu belum terjadi, hanya ada faktor perhitungan maka dikatakan rugi. Sebenarnya siapa saja yang masuk ke pasar tentu treatmentnya sama. Kalau modal negara yang berinvestasi dalam pasar modal rugi, tentu itu dalam pasar modal itu adalah kerugian negara.
Tapi negara juga ada untung. Ini ada keseimbangan, kapan dia untung, kapan dia rugi. Kalau Negara tidak ingin rugi, negara tidak usah berinvestasi di pasar modal, pasar bisa rugi dan bisa untung.
Kalau ingin melihat investasi dalam pasar modal, harus konsisten menggunakan perangkat yang ada dalam industri ini. Posisi BPJamsostek itu sebagai investor. Kalau ditanya terjadi kerugian karena produknya palsu, atau produknya tergolong dari penipuan hukum.
"Tapi misalnya sahamnya lahir karena perbuatan melawan hukum, ada mekanisme pengawasan, mekanisme transaksi secondary market, investor yang dirugikan. Kalau misalnya ada BUMN yang berinvestasi, lihat, kalau ada unsur yang melawan hukum, biasanya kick back, suap. Tapi kadang-kadang ada juga suap tapi saham yang dibeli saham blue chip," ungkap dia.
Profesor Keuangan dan Investasti IPMI Internasional Bisnis School Roy Sembel membandingkan kasus yang menimpa BPJamsostek dengan Jiwasraya. Kalau kasus Jiwasraya mulainya lebih dari satu dekade lalu, karena pengelolaannya miss match dengan data statistik yang ada. Kasus Jiwasraya itu ditenggarai melibatkan pemilihan manejer investasi dengan proses kurang good governance dan trading saham yang goreng-gorengan. Sementara hasil investasi BPJamsostek masih positif.