Defisit hanya 0,36% PDB, Pemerintah Diharap Tak Irit Belanja
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, hingga akhir Februari 2021, belanja negara mencapai Rp282,7 triliun. Angka tersebut meningkat 1,2% dibandingkan periode yang sama di 2020 sebesar Rp279,4 triliun.
Sementara, defisit APBN 2021 mencapai Rp63,6 triliun. Defisit tersebut hanya 0,36% dari produk domestik bruto (PDB). Menanggapi hal tersebut Chief Economist TanamDuit Ferry Latuhihin menilai defisit tersebut masih terlalu kecil. Menurutnya pemerintah harusnya lebih berani meningkatkan defisit untuk mendongkrak ekonomi.
"Minimal (defisit) itu 2% dari PDB. Itu hanya 0,36% terlalu kecil," kata Ferry saat dihubungi MNC Portal Indonesia di Jakarta (23/2/2021).
Sementara itu pengamat ekonomi Bhima Yudhistira mengkritisi kenaikan pertumbuhan belanja negara yang rendah. Hal itu menurutnya mengindikasikan pemerintah sedang menahan serapan APBN di awal tahun.
"Ada beberapa kemungkinan, pertama pola penyerapan anggaran ditumpuk pada semester kedua seperti pola yang biasa. Yang kedua ada indikasi pemerintah sulit mencari penerimaan pajak maupun pembiayaan utang sehingga belanja direm," kata Bhima.
Menurutnya dalam kondisi ekonomi yang diperkirakan masih negatif pada kuartal pertama 2021, maka dukungan belanja pemerintah pasti sangat diperlukan. Sementara belanja swasta masih belum kembali ke normal, meskipun ada vaksinasi dan penurunan kasus harian Covid-19. "Gap antara efek vaksinasi dengan pemulihan sisi belanja masyarakat sebaiknya dijembatani oleh sisi ekspansi fiskal," tutur Bhima.
Sementara, defisit APBN 2021 mencapai Rp63,6 triliun. Defisit tersebut hanya 0,36% dari produk domestik bruto (PDB). Menanggapi hal tersebut Chief Economist TanamDuit Ferry Latuhihin menilai defisit tersebut masih terlalu kecil. Menurutnya pemerintah harusnya lebih berani meningkatkan defisit untuk mendongkrak ekonomi.
"Minimal (defisit) itu 2% dari PDB. Itu hanya 0,36% terlalu kecil," kata Ferry saat dihubungi MNC Portal Indonesia di Jakarta (23/2/2021).
Sementara itu pengamat ekonomi Bhima Yudhistira mengkritisi kenaikan pertumbuhan belanja negara yang rendah. Hal itu menurutnya mengindikasikan pemerintah sedang menahan serapan APBN di awal tahun.
"Ada beberapa kemungkinan, pertama pola penyerapan anggaran ditumpuk pada semester kedua seperti pola yang biasa. Yang kedua ada indikasi pemerintah sulit mencari penerimaan pajak maupun pembiayaan utang sehingga belanja direm," kata Bhima.
Menurutnya dalam kondisi ekonomi yang diperkirakan masih negatif pada kuartal pertama 2021, maka dukungan belanja pemerintah pasti sangat diperlukan. Sementara belanja swasta masih belum kembali ke normal, meskipun ada vaksinasi dan penurunan kasus harian Covid-19. "Gap antara efek vaksinasi dengan pemulihan sisi belanja masyarakat sebaiknya dijembatani oleh sisi ekspansi fiskal," tutur Bhima.
(fai)