Terlanjur Beli Tiket Mudik? Hak Anda Untuk Mendapatkan Kembali Uang 100%
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mudik menyambut Hari Raya Idul Fitri adalah ritual tahunan wajib bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Agar bisa sampai ke kampung halaman tepat waktu, masyarakat pada umumnya telah memesan tiket transportasi sejak jauh-jauh hari.
Tapi siapa nyana, tahun ini hasrat berkumpul dengan orang tua dan saudara sambal bernostalgia itu terhadang oleh virus corona. Sejak wabah covid-19 ditetapkan sebagai bencana nasional, pemerintah melarang mudik. Alhasil pemesanan tiket yang kadung dibayar nyangkut di kas perusahaan transportasi atau biro perjalanan.
Pengembalian uang juga kerap dipersulit saat konsumen membelanjakan uangnya melalui platform dagang dijital (e-commerce). Sering pihak pedagang mengganti kerugian konsumen dengan menawarkan voucher, meski konsumen sebenarnya tidak berkenan.
Sebagai konsumen, masyarakat tentu berhak untuk mendapat pengembalian (refund) uang yang telah disetor. Ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum (KUH) Perdata. Pasal 1236 KUH Perdata menyebutkan, wanprestasi bisa terjadi apabila satu pihak tidak mampu untuk menyerahkan barang. Dan pasal 1239 menyatakan apabila tidak mampu untuk melakukan perbuatan tertentu.
Sebagai konsekuensinya, KUH Perdata mengatur bahwa pihak yang telah wanprestasi harus melakukan penggantian biaya, kerugian, dan bunga. “Refund atau pengembalian biaya termasuk dalam salah satu jenis ganti kerugian,” papar pengacara spesialis perlindungan konsumen, David Tobing kepada SINDOnews, Rabu (20/5).
Dalam hubungan konsumen dan pelaku usaha, refund diatur dalam pasal 4 huruf h (hak konsumen), yakni hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Soal ini juga diatur dalam pasal 7 huruf g tentang Kewajiban Pelaku Usaha memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak dimanfaatkan sesuai dengan perjanjian.
Di bagian lain, yaitu pasal 19 ayat 2 sangat jelas diatur tentang tanggung jawab pelaku usaha apabila akibat mengkonsumsi barang/jasa menimbulkan kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen.
Ganti rugi tersebut dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Singkat kata, refund harus berbentuk uang, karena pihak yang telah memesan suatu barang/jasa membayar dengan uang. Namun saat ini pedagang online maupun offline atau perusahaan pengangkutan mengambil inisiatif untuk memberikan refund dalam bentuk voucher.
“Pada dasarnya ini tidak dibenarkan karena melabrak konsep dasar refund dan peraturan perundangan yang ada,” ujar David. Namun, pada prakteknya, karena dalam posisi terpaksa, salah satu pihak menerimanya.
Uang Tiket Harus Dikembalikan 100%
Nah, dalam kasus pembatalan penerbangan akibat diterbitkannnya Peraturan Menteri Perhubungan No. 25 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik idul Fitri Tahun 1441 Hijriah Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), ganti rugi akibat pembatalan penerbangan pada tanggal 24 April 2020 sampai dengan 31 Mei 2020 yaitu pengembalian biaya tiket secara penuh (100%) yang diatur dalam pasal 23.
Pasal itu menyatakan badan usaha angkutan udara wajib mengembalikan biaya tiket secara penuh (100%) kepada calon penumpang yang telah membeli tiket untuk perjalanan pada tanggal sebagaimana dimaksud dalam pasal 1.
Namun dalam pasal 24 ternyata pengembalian biaya tiket secara penuh tersebut tidak berbentuk uang, namun dengan penjadwalan ulang (reschedule), melakukan perubahan rute penerbangan (reroute), mengkompensasikan besaran nilai biaya jasa angkutan udara menjadi perolehan poin dalam keanggotaan badan usaha yang dapat digunakan untuk membeli produk yang ditawarkan oleh badan usaha angkutan udara.
Pasal itu juga menyebutkan memberikan tiket (voucher tiket) sebesar nilai biaya jasa angkutan udara (tiket) yang dibeli oleh penumpang dapat digunakan untuk membeli kembali tiket untuk penerbangan lainnya dan berlaku paling singkat satu tahun serta dapat diperpanjang paling banyak satu kali.
"Ketentuan tersebut jelas bertentangan dengan Undang-Undang Penerbangan dan beberapa Peraturan Menteri Perhubungan sebelumnya," sanggahnya.
Mengenai besarnya nilai refund bisa bergantung dari sisi mana pembatalan dilakukan. Biasanya penjual yang membatalkan transaksi karena berbagai alasan, misalnya dalam transaksi online barang yang dipesan/dibeli sudah habis atau ternyata barang palsu atau bekas sehingga dibatalkan oleh pemilik platform, maka penjual atau pemilik platform harus mengembalikan uang 100%.
Memang dalam dunia penerbangan pengaturan tentang refund sudah sangat jelas diatur baik karena pembatalan oleh maskapai maupun pembatalan oleh penumpang. Jadi misalnya ada penumpang membatalkan penerbangan 72 jam sebelum penerbangan, maka akan memperoleh paling sedikit 75% pengembalian uang. Sebaliknya bila maskapai yang membatalkan, maka dia harus mengembalikan uang 100% kepada penumpang.
Jangka waktu pengembalian refund sangat beragam. Seharusnya yang bisa menjadi acuan adalah pasal 19 UU Perlindungan konsumen, yakni pengembalinan uang dilakukan tujuh hari setelah transaksi.
Dalam aturan penerbangan ada ketentuan, apabila pembayaran dilakukan oleh penumpang dengan uang tunai, maka maskapai harus mengembalikannya selambat-lambatnya 15 hari kerja setelah pengaduan dan apabila pembayaran dilakukan dengan kartu kredit atau kartu debit, selambat-lambatnya 30 hari setelah pengajuan.
Pada prakteknya pengembalian dana bisa dilakukan lebih cepat , misalnya PT Kereta Api Indonesia yang telah melakukan pengembalian dana dalam tiga hari dari semula 45 hari. Cepatnya pengembalian dana sangat berpengaruh terhadap pemulihan kerugian yang diderita konsumen, terutama bagi konsumen yang mempunyai uang terbatas.
“Jadi di era teknologi perbankan sekarang seharunya pengembalian dana hanya dalam hitungan detik, tidak perlu berhari-hari atau berbulan-bulan,” tuturnya.
Pada transaksi online pengembalian dana sering dilakukan bukan ke rekening bank atau kartu kredit pembeli. Tapi pembeli dipaksa untuk membuka sistem pembayaran elektronik (uang elektronik) yang diwajibkan pengelola platform karena pengembalian dana akan dilakukan ke sistem pembayaran elektronik tersebut.
“Ini sangat merugikan konsumen, karena tidak dapat menggunakan uangnya untuk membeli barang yang dibutuhkan di tempat lain,” katanya.
Konsep pengembalian dana atau refund terdapat juga dalam peraturan perundangan tentang penerbangan, yaitu refund akibat pembatalan penerbangan. Dalam Pasal 146 UU No.1/2009 tentang Penerbangan, pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuara dan teknis operasional.
Kategori keterlambatan sendiri selanjutnya diatur dalam Peraturan Menteri No 89/2015 tentang Penanganan Keterlambatan (delay management) pada Badan Usaha Angkutan Niaga Berjadwal di Indonesia. Dalam Pasal 2 disebutkan keterlambatan penerbangan pada badan usaha angkutan udara niaga berjadwal terdiri dari: Keterlambatan penerbangan (flight delayed); Tidak terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat udara (denied boarding passenger); Pembatalan penerbangan (cancellation of flight).
Ganti rugi akibat pembatalan penerbangan itu sendiri selanjutnya diatur dalam pasal 9 ayat (1) butir f yang menyebutkan keterlambatan kategori 6 (pembatalan penerbangan) badan usaha angkutan udara wajib mengalihkan ke penerbangan berikutnya atau mengembalikan seluruh biaya tiket.
Adapun dalam Permenhub No.185/2015 tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri, standar pelayanan pemesanan tiket (reservasi) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 (ayat 1) huruf b, antara lain: media reservasi, contact person calon penumpang; prosedur perubahan tiket; pembatalan tiket dan jangka waktu pengembalian uang.
“Jadi jelas pembatalan penerbangan harus dikompensasikan dengan pengembalian uang,” ujar David.
Dalam transaksi elektronik pengembalian dana akibat pembatalan dana akibat pembatalan transaksi juga terdapat dalam Pasal 71 Peraturan Menteri No.80 /2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yaitu setiap PPMSE dalam negeri dan atau luar negeri yang menerima pembayaran wajib memiliki atau menyediakan mekanisme yang dapat memastikan pengembalian dann konsumen apabila terjadi pembatalan oleh konsumen.
Jangan Takut Dengan Klausul Barang Tak Dapat Dikembalikan
Bagaimana jika terdapat klausul barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan atau ditukar? Klausula baku seperti itu bertentangan dnegan pasal 18 UU Perlindungan Konsumen khususnya psal 1 huruf c yang menyatakan: pelaku usaha dalam menawarkan barang dan jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang mebuat klausula baku atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan atau perjanjian c) apabila menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menoilak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan /atau jasa yang dibeli konsumen.
Bentuk lain dari aturan yang melarang pengembalian dana bisa kita temui pada transaski online dan pemesanan hotel dan tiket pesawat, saat konsumen sudah diberitahukan terlebih dulu bahwa tiket dengan harga tertentu “non refundable” atau sering juga di toko ritel untuk barang-barang promo juga diterapkan “tidak dapat ditukar atau dikembalikan.
Terhadap klausula seperti ini konsumen harus cermat dalam menentukan jadi tidaknya bertransaksi.
Ada juga ritel yang memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menukar barang, misalnya karena berubah pikiran, salah ukuran, warna maupun model, namun apabila ingin ditukar ternyata barang sejenis tidak ada sehingga toko ritel memberikan voucher senilai barang dan bukan dalam bentuk uang.
Tapi siapa nyana, tahun ini hasrat berkumpul dengan orang tua dan saudara sambal bernostalgia itu terhadang oleh virus corona. Sejak wabah covid-19 ditetapkan sebagai bencana nasional, pemerintah melarang mudik. Alhasil pemesanan tiket yang kadung dibayar nyangkut di kas perusahaan transportasi atau biro perjalanan.
Pengembalian uang juga kerap dipersulit saat konsumen membelanjakan uangnya melalui platform dagang dijital (e-commerce). Sering pihak pedagang mengganti kerugian konsumen dengan menawarkan voucher, meski konsumen sebenarnya tidak berkenan.
Sebagai konsumen, masyarakat tentu berhak untuk mendapat pengembalian (refund) uang yang telah disetor. Ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum (KUH) Perdata. Pasal 1236 KUH Perdata menyebutkan, wanprestasi bisa terjadi apabila satu pihak tidak mampu untuk menyerahkan barang. Dan pasal 1239 menyatakan apabila tidak mampu untuk melakukan perbuatan tertentu.
Sebagai konsekuensinya, KUH Perdata mengatur bahwa pihak yang telah wanprestasi harus melakukan penggantian biaya, kerugian, dan bunga. “Refund atau pengembalian biaya termasuk dalam salah satu jenis ganti kerugian,” papar pengacara spesialis perlindungan konsumen, David Tobing kepada SINDOnews, Rabu (20/5).
Dalam hubungan konsumen dan pelaku usaha, refund diatur dalam pasal 4 huruf h (hak konsumen), yakni hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Soal ini juga diatur dalam pasal 7 huruf g tentang Kewajiban Pelaku Usaha memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak dimanfaatkan sesuai dengan perjanjian.
Di bagian lain, yaitu pasal 19 ayat 2 sangat jelas diatur tentang tanggung jawab pelaku usaha apabila akibat mengkonsumsi barang/jasa menimbulkan kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen.
Ganti rugi tersebut dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Singkat kata, refund harus berbentuk uang, karena pihak yang telah memesan suatu barang/jasa membayar dengan uang. Namun saat ini pedagang online maupun offline atau perusahaan pengangkutan mengambil inisiatif untuk memberikan refund dalam bentuk voucher.
“Pada dasarnya ini tidak dibenarkan karena melabrak konsep dasar refund dan peraturan perundangan yang ada,” ujar David. Namun, pada prakteknya, karena dalam posisi terpaksa, salah satu pihak menerimanya.
Uang Tiket Harus Dikembalikan 100%
Nah, dalam kasus pembatalan penerbangan akibat diterbitkannnya Peraturan Menteri Perhubungan No. 25 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik idul Fitri Tahun 1441 Hijriah Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), ganti rugi akibat pembatalan penerbangan pada tanggal 24 April 2020 sampai dengan 31 Mei 2020 yaitu pengembalian biaya tiket secara penuh (100%) yang diatur dalam pasal 23.
Pasal itu menyatakan badan usaha angkutan udara wajib mengembalikan biaya tiket secara penuh (100%) kepada calon penumpang yang telah membeli tiket untuk perjalanan pada tanggal sebagaimana dimaksud dalam pasal 1.
Namun dalam pasal 24 ternyata pengembalian biaya tiket secara penuh tersebut tidak berbentuk uang, namun dengan penjadwalan ulang (reschedule), melakukan perubahan rute penerbangan (reroute), mengkompensasikan besaran nilai biaya jasa angkutan udara menjadi perolehan poin dalam keanggotaan badan usaha yang dapat digunakan untuk membeli produk yang ditawarkan oleh badan usaha angkutan udara.
Pasal itu juga menyebutkan memberikan tiket (voucher tiket) sebesar nilai biaya jasa angkutan udara (tiket) yang dibeli oleh penumpang dapat digunakan untuk membeli kembali tiket untuk penerbangan lainnya dan berlaku paling singkat satu tahun serta dapat diperpanjang paling banyak satu kali.
"Ketentuan tersebut jelas bertentangan dengan Undang-Undang Penerbangan dan beberapa Peraturan Menteri Perhubungan sebelumnya," sanggahnya.
Mengenai besarnya nilai refund bisa bergantung dari sisi mana pembatalan dilakukan. Biasanya penjual yang membatalkan transaksi karena berbagai alasan, misalnya dalam transaksi online barang yang dipesan/dibeli sudah habis atau ternyata barang palsu atau bekas sehingga dibatalkan oleh pemilik platform, maka penjual atau pemilik platform harus mengembalikan uang 100%.
Memang dalam dunia penerbangan pengaturan tentang refund sudah sangat jelas diatur baik karena pembatalan oleh maskapai maupun pembatalan oleh penumpang. Jadi misalnya ada penumpang membatalkan penerbangan 72 jam sebelum penerbangan, maka akan memperoleh paling sedikit 75% pengembalian uang. Sebaliknya bila maskapai yang membatalkan, maka dia harus mengembalikan uang 100% kepada penumpang.
Jangka waktu pengembalian refund sangat beragam. Seharusnya yang bisa menjadi acuan adalah pasal 19 UU Perlindungan konsumen, yakni pengembalinan uang dilakukan tujuh hari setelah transaksi.
Dalam aturan penerbangan ada ketentuan, apabila pembayaran dilakukan oleh penumpang dengan uang tunai, maka maskapai harus mengembalikannya selambat-lambatnya 15 hari kerja setelah pengaduan dan apabila pembayaran dilakukan dengan kartu kredit atau kartu debit, selambat-lambatnya 30 hari setelah pengajuan.
Pada prakteknya pengembalian dana bisa dilakukan lebih cepat , misalnya PT Kereta Api Indonesia yang telah melakukan pengembalian dana dalam tiga hari dari semula 45 hari. Cepatnya pengembalian dana sangat berpengaruh terhadap pemulihan kerugian yang diderita konsumen, terutama bagi konsumen yang mempunyai uang terbatas.
“Jadi di era teknologi perbankan sekarang seharunya pengembalian dana hanya dalam hitungan detik, tidak perlu berhari-hari atau berbulan-bulan,” tuturnya.
Pada transaksi online pengembalian dana sering dilakukan bukan ke rekening bank atau kartu kredit pembeli. Tapi pembeli dipaksa untuk membuka sistem pembayaran elektronik (uang elektronik) yang diwajibkan pengelola platform karena pengembalian dana akan dilakukan ke sistem pembayaran elektronik tersebut.
“Ini sangat merugikan konsumen, karena tidak dapat menggunakan uangnya untuk membeli barang yang dibutuhkan di tempat lain,” katanya.
Konsep pengembalian dana atau refund terdapat juga dalam peraturan perundangan tentang penerbangan, yaitu refund akibat pembatalan penerbangan. Dalam Pasal 146 UU No.1/2009 tentang Penerbangan, pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuara dan teknis operasional.
Kategori keterlambatan sendiri selanjutnya diatur dalam Peraturan Menteri No 89/2015 tentang Penanganan Keterlambatan (delay management) pada Badan Usaha Angkutan Niaga Berjadwal di Indonesia. Dalam Pasal 2 disebutkan keterlambatan penerbangan pada badan usaha angkutan udara niaga berjadwal terdiri dari: Keterlambatan penerbangan (flight delayed); Tidak terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat udara (denied boarding passenger); Pembatalan penerbangan (cancellation of flight).
Ganti rugi akibat pembatalan penerbangan itu sendiri selanjutnya diatur dalam pasal 9 ayat (1) butir f yang menyebutkan keterlambatan kategori 6 (pembatalan penerbangan) badan usaha angkutan udara wajib mengalihkan ke penerbangan berikutnya atau mengembalikan seluruh biaya tiket.
Adapun dalam Permenhub No.185/2015 tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri, standar pelayanan pemesanan tiket (reservasi) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 (ayat 1) huruf b, antara lain: media reservasi, contact person calon penumpang; prosedur perubahan tiket; pembatalan tiket dan jangka waktu pengembalian uang.
“Jadi jelas pembatalan penerbangan harus dikompensasikan dengan pengembalian uang,” ujar David.
Dalam transaksi elektronik pengembalian dana akibat pembatalan dana akibat pembatalan transaksi juga terdapat dalam Pasal 71 Peraturan Menteri No.80 /2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yaitu setiap PPMSE dalam negeri dan atau luar negeri yang menerima pembayaran wajib memiliki atau menyediakan mekanisme yang dapat memastikan pengembalian dann konsumen apabila terjadi pembatalan oleh konsumen.
Jangan Takut Dengan Klausul Barang Tak Dapat Dikembalikan
Bagaimana jika terdapat klausul barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan atau ditukar? Klausula baku seperti itu bertentangan dnegan pasal 18 UU Perlindungan Konsumen khususnya psal 1 huruf c yang menyatakan: pelaku usaha dalam menawarkan barang dan jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang mebuat klausula baku atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan atau perjanjian c) apabila menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menoilak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan /atau jasa yang dibeli konsumen.
Bentuk lain dari aturan yang melarang pengembalian dana bisa kita temui pada transaski online dan pemesanan hotel dan tiket pesawat, saat konsumen sudah diberitahukan terlebih dulu bahwa tiket dengan harga tertentu “non refundable” atau sering juga di toko ritel untuk barang-barang promo juga diterapkan “tidak dapat ditukar atau dikembalikan.
Terhadap klausula seperti ini konsumen harus cermat dalam menentukan jadi tidaknya bertransaksi.
Ada juga ritel yang memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menukar barang, misalnya karena berubah pikiran, salah ukuran, warna maupun model, namun apabila ingin ditukar ternyata barang sejenis tidak ada sehingga toko ritel memberikan voucher senilai barang dan bukan dalam bentuk uang.
(rza)