Menelisik Untung Rugi Pembentukan Holding BUMN Ultra Mikro

Kamis, 08 April 2021 - 22:52 WIB
loading...
Menelisik Untung Rugi...
Ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri (kanan) saat menghadiri diskusi virtual, yang diselenggarakan Forum Jurnalis Ekonomi dan Bisnis (FORJES), di Jakarta, Kamis (8/4/2021).
A A A
JAKARTA - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terus mendorong terwujudnya rencana holding BUMN Ultra Mikro . Holding ini nantinya terdiri dari PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk , PT Pegadaian (Persero), dan PT Pemodalan Nasional Madani (Persero).

Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati menilai kebijakan pembentukan holding BUMN ultra mikro ini tidak tepat dilakukan. “Kebijakan holding BUMM ini tidak tepat untuk dilakukan karena bisa berdampak negatif bagi kepentingan negara dan bisa mengesampingkan kewenangan rakyat,” kata Anis Byarwati dalam diskusi virtual, yang diselenggarakan Forum Jurnalis Ekonomi dan Bisnis (FORJES), di Jakarta, Kamis (8/4/2021).


Sementara itu, lanjut dia, dilihat berdasarkan latar belakang mengapa holding ultra mikro dibentuk adalah karena keinginan Kementerian BUMN agar para UMKM bisa naik kelas. Menurut Anis, alasan yang disampaikan Kementerian BUMN seakan-akan permasalahan yang dihadapi UMKM hanya sebatas pendanaan. “Padahal kendala itu banyak, bukan hanya masalah keuangan saja. Masalah di SDM-nya, akses pemasarannya serta jejaring dan teknologinya,” kata dia.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menambahkan, kemungkinan terjadinya holding tersebut cukup besar, lantaran rencana ini ada di tangan pemerintah. Menurut Piter, holding BUMN ultra mikro akan memiliki dampak bagi perusahaan BUMN itu sendiri.

“BRI bisa menggunakan likuiditasnya yang besar maka PNM bisa menyakinkan bahwa kreditnya lebih mudah dan lebih banyak. Tetapi yang menarik adalah ini bukan persoalan penambahan perusahaan saja, tetapi yang diharapkan adalah keberadaan Pegadaian dan PNM sekarang sudah diterima oleh masyarakat,” ucap dia.

Sementara itu, Ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, menyarankan Bank BRI membeli bank-bank komersial untuk memperbesar skala perusahaan ketimbang melakukan holding dengan PT Pegadaian dan PT Permodalan Nasional Madani. Menurutnya, holding ultramikro dianggap tak akan memberi nilai tambah bagi perusahaan.

“BRI itu untuk menjadi ujung tombak financial inclusion lebih baik mengambil alih bank-bank komersial, seperti Bank Muamalat, Bank Bukupoin, dan bank-bank lainnya supaya konsolidasi perbankan terjadi,” kata Faisal.



Menurut Faisal, holding ultramikro memiliki risiko karena dilakukan terhadap tiga entitas yang memiliki karakteristik sangat berbeda. BRI, misalnya, memiliki tugas melayani segmen UMKM yang sudah terbuka terhadap akses bank dan segmen korporasi. Sementara itu, PNM melayani perusahaan yang relatif baru dan belum memiliki akses terhadap perbankan sehingga memerlukan jasa modal ventura.

Sedangkan Pegadaian sebagai perusahaan pelat merah memiliki tugas membantu masyarakat yang mengalami kesulitan likuiditas untuk memberikan solusi jangka pendek. Keinginan Kementerian BUMN untuk melakukan holding justru bertentangan dengan ide untuk memajukan usaha kecil dan menengah secara total. “Karena seolah-olah persoalan UMKM hanya keuangan, khususnya akses terhadap kredit,” ujar Faisal.

Faisal mempertanyakan efektivitas holding ultramikro di tengah aksi perbankan mengurangi kantor-kantor cabangnya. Aksi korporasi ini dikhawatirkan membuat Pegadaian semakin sulit menyentuh masyarakat setelah holding terbentuk. Ia pun menyangsikan klaim sejumlah pihak yang menyebut holding bisa menurunkan suku bunga pinjaman.
(dar)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1975 seconds (0.1#10.140)