Single Identity Number Pajak Berikan Transparansi untuk Cegah Korupsi

Rabu, 21 April 2021 - 20:52 WIB
loading...
Single Identity Number...
Mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo. Foto/ist
A A A
JAKARTA - Indonesia adalah negara yang menganut paham kesejahteraan. Untuk mencapai kesejahteraan tersebut diperlukan APBN , dimana sumber pendanaan utamanya dari perpajakan. Indonesia akan mencapai puncak kesejahteraan sesuai cita-cita founding fathers jika tidak terdapat korupsi.

“Data korupsi yang tercatat sudah cukup banyak. Korupsi merupakan fenomena gunung es, sehingga tidak akan dapat terbayangkan seberapa banyak korupsi di Indonesia,” kata Mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo dalam webinar bertema ‘Mampukah SIN (Single Identity Number) Pajak Mencegah Korupsi?’ di Jakarta, Rabu (21/4/2021).


Pihaknya melakukan penelitian yang disusun secara ilmiah sejak September 2019 sampai dengan dilaksanakannya ujian tertutup kandidat doktor ilmu hukum pada Maret 2021. Latar belakang penelitian tersebut bahwa transparansi sudah digagas sejak zaman Bung Karno, dan SIN Pajak mulai disusun sejak 2001.

“Bahkan undang-undang mengenai transparansi melalui SIN Pajak yang telah hadir sejak tahun 2017. Namun korupsi yang terjadi bukan menghilang namun malah merajalela. Hal tersebut yang mendorong kami untuk menkaji dan meneliti secara ilmiah secara akademik sehingga menurut kami UPH mampu membantu kami untuk menjawab fenomena tersebut secara ilmiah,” kata Hadi yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Konsep SIN Pajak sebenarnya dimulai pada 31 Desember 1965 dimana Bung Karno mengeluarkan Perpu 2/1965 mengenai peniadaan rahasia bagi aparat pajak. namun, tahun 1983 melalui UU 6/1983 terjadi reformasi perpajakan dengan pemberlakuan Self Assessment System yang memberikan kewenangan wajib pajak (WP) untuk menghitung sendiri mengenai penghasilannya dalam SPT.

“Kemudian yang terjadi adalah, WP merasa mendapatkan kesempatan untuk melakukan manipulasi SPT karena DJP tidak memiliki data pembanding atas SPT tersebut. Sehingga perlu adanya sebuah alat untuk memonitor self assessment system tersebut, menjadi monitored self assessment system,” tambahnya.

Konsep transparansi pada Perpu 2/1965 tersebut dibangun kembali mulai tahun 2001 melalui Grand Strategy DJP, disusul dengan Keputusan Bersama Pemerintah dan DPR pada 16 Juli 2001. Konsep tersebut dituangkan dalam UU 19/2001 pada 14 November 2001. Berdasarkan hal tersebut, sejak 2001 DJP melakukan penandatanganan MoU dengan pihak terkait baik dari Pemerintah Pusat/Daerah, Lembaga, Swasta dan Pihak-pihak lain untuk membuka data baik yg non rahasia baik data finansial maupun non finansial, dan menyambungkan data tersebut secara sistem ke DJP.

Pada 17 Juli 2007, DPR mengesahkan UU 28/2007 dimana di dalamnya, yaitu pada Pasal 35A diatur mengenai SIN Pajak, dimana menyebutkan bahwa setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada DJP. Era tersebut memberi kewajiban semua pihak baik pemerintah pusat/daerah, lembaga, swasta dan pihak-pihak lain wajib untuk saling membuka dan menyambung sistem ke pajak yang non rahasia baik yang finansial/non finansial ke DJP, meskipun masih adanya beberapa hambatan terkait masih diperbolehkannya rahasia pada UU lain, seperti UU mengenai perbankan.

Presiden Joko Widodo kemudian mengeluarkan Perpu 1/2017 yang mengatur secara khusus akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dalam rangka memenuhi komitmen AEOI. Perpu tersebut kemudian pada 8 Mei 2017 disahkan lembaga legislatif melalui UU 9/2017. UU ini secara legal formal menggugurkan ketentuan kerahasiaan dalam beberapa UU, antara lain UU tentang perbankan. Sehingga semua pihak baik pemerintah pusat/daerah, lembaga, swasta dan pihak-pihak lain, wajib untuk membuka dan terhubung ke dalam sistem perpajakan, baik data yang bersifat rahasia maupun non rahasia dan data finansial maupun non finansial.

“Namun meskipun secara de jure SIN Pajak ini telah memiliki landasan yang kuat, namun secara de facto SIN Pajak ini belum dapat terlaksana. Sejumlah kendala membangun SIN antara lain KISS (koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan simplikasi) terkait dengan data kurang berfungsi, ketentuan UU yang belum lurus terkait dengan akses DJP terhadap transaksi keuangan,” paparnya.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2357 seconds (0.1#10.140)