Tembus Rp6.445 Triliun, Pengusaha Muda Semprit Utang Pemerintah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat utang pemerintah per akhir Maret 2021 berada di angka Rp6.445,07 triliun. Secara rasio, angka utang ini setara dengan 41,64% produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan BPP Hipmi Ajib Hamdani mengatakan bahwa memasuki kuartal kedua ini, potensi utang akan terus membengkak. Pasalnya, dalam struktur APBN 2021, belanja pemerintah mencapai 2.700 triliun.
"Penerimaan pajak masih sangat rendah. Sampai akhir Maret 2021, baru Rp228,1 triliun uang masuk ke kas negara," ujar Ajib di Jakarta, Rabu(28/4/2021).
Baca juga:Karyawan Magang Mau Dapat THR Juga? Nih Aturannya!
Angka ini terkonstraksi 5,6% dengan penerimaan pajak pada periode yang sama pada tahun sebelumnya. Pemerintah juga masih mempunyai amunisi untuk menambah pundi-pundi kas negara melalui utang, dengan UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
"Sebuah pisau bermata dua, antara fleksibilitas kewenangan berutang, sekaligus potensi debt overhang," tambah Ajib.
Yang perlu dicermati dan dikritisi lebih lanjut adalah apakah utang pemerintah ini managable atau tidak. Kemudian, apakah utang pemerintah ini bisa mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi sehingga berujung naiknya penerimaan pajak.
"Apakah utang pemerintah ini bisa menaikkan kinerja ekspor dan mendatangkan devisa yang sustain? Sayangnya, beberapa data menunjukkan angka sebaliknya," imbuh Ajib.
Tax ratio menunjukkan tren yang masih negatif, bahkan per Desember 2020 angkanya hanya bisa bertengger di 7,9%. Tingkat pencapaian penerimaan pajak yang belum optimal dibandingkan dengan perputaran ekonomi yang tecermin dalam PDB.
"Indikator lainnya, dalam konteks debt service ratio(DSR) semakin meningkat. Artinya utang yang dicetak oleh pemerintah belum memberikan dampak secara paralel dalam peningkatan kualitas dan kuantitas ekspor. Dari dua potensi sumber penerimaan negara, pajak dan devisa, menunjukkan angka yang tidak menggembirakan," jelas Ajib.
Baca juga:Bikin Gol Keren ke Gawang Chelsea, Benzema Difavoritkan Raih Balon dOr
Presiden Joko Widodo sudah menggariskan bagaimana seharusnya pemerintah mendesain ekonominya untuk fokus dengan dua hal. Pertama, peningkatan kualitas SDM, sehingga bisa meningkatkan produktivitas dan meningkatkan daya saing. Kedua, transformasi ekonomi, dengan eksploitasi hilirisasi, peningkatan nilai tambah, serta berorienstasi dengan ekspor dan substitusi impor. Arah kebijakan utang pemerintah seharusnya fokus dengan tujuan besar pemerintah tersebut.
"Jadi, apakah utang pemerintah yang sudah menyentuh angka 41,46% managable atau tidak? Kalau kita melihat kondisi per sekarang, utang pemerintah masih managable, tetapi mengarah untuk menjadi tidak managable sampai akhir 2021 ketika penggunaan utang tidak sesuai dengan arahan dan gagasan besar yang sudah dibuat oleh Presiden," pungkas Ajib.
Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan BPP Hipmi Ajib Hamdani mengatakan bahwa memasuki kuartal kedua ini, potensi utang akan terus membengkak. Pasalnya, dalam struktur APBN 2021, belanja pemerintah mencapai 2.700 triliun.
"Penerimaan pajak masih sangat rendah. Sampai akhir Maret 2021, baru Rp228,1 triliun uang masuk ke kas negara," ujar Ajib di Jakarta, Rabu(28/4/2021).
Baca juga:Karyawan Magang Mau Dapat THR Juga? Nih Aturannya!
Angka ini terkonstraksi 5,6% dengan penerimaan pajak pada periode yang sama pada tahun sebelumnya. Pemerintah juga masih mempunyai amunisi untuk menambah pundi-pundi kas negara melalui utang, dengan UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
"Sebuah pisau bermata dua, antara fleksibilitas kewenangan berutang, sekaligus potensi debt overhang," tambah Ajib.
Yang perlu dicermati dan dikritisi lebih lanjut adalah apakah utang pemerintah ini managable atau tidak. Kemudian, apakah utang pemerintah ini bisa mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi sehingga berujung naiknya penerimaan pajak.
"Apakah utang pemerintah ini bisa menaikkan kinerja ekspor dan mendatangkan devisa yang sustain? Sayangnya, beberapa data menunjukkan angka sebaliknya," imbuh Ajib.
Tax ratio menunjukkan tren yang masih negatif, bahkan per Desember 2020 angkanya hanya bisa bertengger di 7,9%. Tingkat pencapaian penerimaan pajak yang belum optimal dibandingkan dengan perputaran ekonomi yang tecermin dalam PDB.
"Indikator lainnya, dalam konteks debt service ratio(DSR) semakin meningkat. Artinya utang yang dicetak oleh pemerintah belum memberikan dampak secara paralel dalam peningkatan kualitas dan kuantitas ekspor. Dari dua potensi sumber penerimaan negara, pajak dan devisa, menunjukkan angka yang tidak menggembirakan," jelas Ajib.
Baca juga:Bikin Gol Keren ke Gawang Chelsea, Benzema Difavoritkan Raih Balon dOr
Presiden Joko Widodo sudah menggariskan bagaimana seharusnya pemerintah mendesain ekonominya untuk fokus dengan dua hal. Pertama, peningkatan kualitas SDM, sehingga bisa meningkatkan produktivitas dan meningkatkan daya saing. Kedua, transformasi ekonomi, dengan eksploitasi hilirisasi, peningkatan nilai tambah, serta berorienstasi dengan ekspor dan substitusi impor. Arah kebijakan utang pemerintah seharusnya fokus dengan tujuan besar pemerintah tersebut.
"Jadi, apakah utang pemerintah yang sudah menyentuh angka 41,46% managable atau tidak? Kalau kita melihat kondisi per sekarang, utang pemerintah masih managable, tetapi mengarah untuk menjadi tidak managable sampai akhir 2021 ketika penggunaan utang tidak sesuai dengan arahan dan gagasan besar yang sudah dibuat oleh Presiden," pungkas Ajib.
(uka)