Banyak Tol Mau Dijual, Indef Ungkap Dua Kekeliruan Besar
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengungkap hasil kajian lembaganya yang menyatakan dua kekeliruan besar dalam pembangunan jalan tol di Indonesia. Pertama, terletak pada tidak terintegrasinya pembangunan jalan tol dengan penurunan biaya logistik.
Menurut Bhima, biaya logistik hanya menurun kurang dari 2% atau menjadi 23,5% dari produk domestik bruto (PDB) saja. Bahkan, tercatat mahal jika dibanding negara di ASEAN. Persoalan ini memang diakui oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Secara gamblang, Kepala Negara menegaskan, biaya logistik jalan tol di dalam negeri masih sangat mahal, sekitar 24% dari PDB.
Baca juga:Jelang Lebaran, Harga Emas Asyik Rebahan
Kekeliruan kedua adalah integrasi jalan tol dengan kawasan industri yang dinilai tidak sejalan. Padahal, fungsi tol harusnya dominan untuk angkutan logistik di kawasan industri. Dari sisi ekonomi, jalan tol yang dibangun itu akan mempermudah akses ke bandara, pelabuhan, destinasi wisata, hingga pusat-pusat pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, mendukung kelancaran rantai pasok. Ujungnya, memperkuat daya saing dengan menekan biaya logistik.
"Tapi karena enggak nyambung dan biaya menjadi mahal akhirnya pelaku industri tidak optimal memakai jalan tol," kata Bhima.
Bhima juga mengomentari soal rencana tiga BUMN karya, yaitu PT Hutama Karya, PT Wijaya Karya Tbk, dan PT Waskita Karya, yang ingin menjual sejumlah ruas tolnya. Bhima mempertanyakan, apakah aset jalan tol yang ditawarkan kepada pengusaha asing dan domestik untuk mencari keuntungan atau hanya sekedar menutup kerugian perusahaan saja?
Penjualan tol sangat disesalkan hanya karena BUMN karya sedang mengalami tekanan cash flow dan naiknya rasio utang terhadap ekuitas. Karenanya, dia memperkirakan, manajemen akan menawarkan harga yang lebih rendah, alias diskon.
"Pertanyaan besarnya apakah aset jalan tol yang dijual untung atau sekedar menutup kerugian? Jawabannya mungkin akhirnya harus dijual dengan harga diskon," ujar Bhima saat dimintai pendapatnya, Senin (10/5/2021).
Baca juga:Jelang Lebaran, Harga Emas Asyik Rebahan
padahal, biaya konstruksi jalan tol yang dibangun tercatat cukup mahal. Bhima memperkirakan, pembangunan per kilometer (KM) jalan tol menelan senilai Rp120 miliar hingga Rp150 miliar. Jika upaya divestasi aset negara itu bertujuan menjaga cash flow perusahaan dan naiknya rasio utang terhadap ekuitas, maka kemungkinan besar nilai transaksi yang ditawarkan cukup rendah. Akibatnya, kontras antara biaya konstruksi dan transaksi.
"Padahal dulu saat membangun jalan tol biayanya Rp120-150 miliar per KM, sangat mahal. Nanti yang jadi titik kritisnya adalah mau dijual berapa? Apakah penjualan tol di tengah kondisi keuangan BUMN yang sedang bermasalah bisa mengembalikan modal saat membangun?," tutur dia.
Menurut Bhima, biaya logistik hanya menurun kurang dari 2% atau menjadi 23,5% dari produk domestik bruto (PDB) saja. Bahkan, tercatat mahal jika dibanding negara di ASEAN. Persoalan ini memang diakui oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Secara gamblang, Kepala Negara menegaskan, biaya logistik jalan tol di dalam negeri masih sangat mahal, sekitar 24% dari PDB.
Baca juga:Jelang Lebaran, Harga Emas Asyik Rebahan
Kekeliruan kedua adalah integrasi jalan tol dengan kawasan industri yang dinilai tidak sejalan. Padahal, fungsi tol harusnya dominan untuk angkutan logistik di kawasan industri. Dari sisi ekonomi, jalan tol yang dibangun itu akan mempermudah akses ke bandara, pelabuhan, destinasi wisata, hingga pusat-pusat pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, mendukung kelancaran rantai pasok. Ujungnya, memperkuat daya saing dengan menekan biaya logistik.
"Tapi karena enggak nyambung dan biaya menjadi mahal akhirnya pelaku industri tidak optimal memakai jalan tol," kata Bhima.
Bhima juga mengomentari soal rencana tiga BUMN karya, yaitu PT Hutama Karya, PT Wijaya Karya Tbk, dan PT Waskita Karya, yang ingin menjual sejumlah ruas tolnya. Bhima mempertanyakan, apakah aset jalan tol yang ditawarkan kepada pengusaha asing dan domestik untuk mencari keuntungan atau hanya sekedar menutup kerugian perusahaan saja?
Penjualan tol sangat disesalkan hanya karena BUMN karya sedang mengalami tekanan cash flow dan naiknya rasio utang terhadap ekuitas. Karenanya, dia memperkirakan, manajemen akan menawarkan harga yang lebih rendah, alias diskon.
"Pertanyaan besarnya apakah aset jalan tol yang dijual untung atau sekedar menutup kerugian? Jawabannya mungkin akhirnya harus dijual dengan harga diskon," ujar Bhima saat dimintai pendapatnya, Senin (10/5/2021).
Baca juga:Jelang Lebaran, Harga Emas Asyik Rebahan
padahal, biaya konstruksi jalan tol yang dibangun tercatat cukup mahal. Bhima memperkirakan, pembangunan per kilometer (KM) jalan tol menelan senilai Rp120 miliar hingga Rp150 miliar. Jika upaya divestasi aset negara itu bertujuan menjaga cash flow perusahaan dan naiknya rasio utang terhadap ekuitas, maka kemungkinan besar nilai transaksi yang ditawarkan cukup rendah. Akibatnya, kontras antara biaya konstruksi dan transaksi.
"Padahal dulu saat membangun jalan tol biayanya Rp120-150 miliar per KM, sangat mahal. Nanti yang jadi titik kritisnya adalah mau dijual berapa? Apakah penjualan tol di tengah kondisi keuangan BUMN yang sedang bermasalah bisa mengembalikan modal saat membangun?," tutur dia.
(uka)