Airlangga: Perusahaan Perlu Menyiapkan Tameng Hadapi Krisis
loading...
A
A
A
Oleh karena itu, Menko berharap kepada perusahan-perusahan yang melantai di bursa untuk berpartisipasi penuh dalam menerapkan praktik tata kelola yang baik. Perusahaan Indonesia yang telah tercatat ASEAN Asset Class tersebut dapat dijadikan contoh dan motivasi. Ke depannya, diharapkan skor rata-rata Indonesia dalam ACGS bisa meningkat, sehingga mendatangkan lebih banyak lagi investasi ke negara ini.
“Pandemi ini telah mengingatkan kita bahwa kesehatan hanyalah salah satu dari 17 Sustainable Development Goals (SDGs) PBB yang harus menjadi bagian dari keberlanjutan bisnis, baik di sektor publik maupun swasta. Dalam kaitannya dengan GCG, kita perlu mengubah prioritas dan mulai mengidentifikasi risiko lain yang menjadi bagian dari SDGs seperti perubahan iklim, keanekaragaman hayati, bencana alam, dan bencana lingkungan akibat ulah manusia,” terang Menko Airlangga.
Pasalnya, sebagai langkah pertama menuju model ekonomi yang lebih berkelanjutan, bisnis juga harus fokus pada dampak sosial dan lingkungannya. Untuk itu praktik Environmental, Social, and Governance (ESG) atau sering disebut Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (LST) harus diterapkan di seluruh aktivitas bisnis. “Perusahaan perlu menyadari risiko dan mengumpulkan data yang relevan untuk membangun bisnis yang bertahan di masa depan,” imbuhnya.
Akan ada banyak kerugian yang harus ditanggung jika prinsip ESG ini tidak dijalankan di Indonesia, sebab karakteristik geografis negara kepulauan ini rentan terhadap perubahan iklim dan bencana. Selain itu, penerapan ESG juga terbukti berdampak positif bagi kinerja perusahaan.
“Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri untuk mewujudkan SDGs, melainkan perlu upaya kolektif dari stakeholder lain, seperti perusahaan (BUMN/swasta), media, dan lembaga pendidikan. Praktik tata kelola yang efektif hanya dapat terwujud bila terjadi kesadaran bersama untuk menerapkan prinsip-prinsip GCG, mulai dari akar rumput sampai pada jenjang para pengambil keputusan strategis,” pungkas Menko Airlangga.
“Pandemi ini telah mengingatkan kita bahwa kesehatan hanyalah salah satu dari 17 Sustainable Development Goals (SDGs) PBB yang harus menjadi bagian dari keberlanjutan bisnis, baik di sektor publik maupun swasta. Dalam kaitannya dengan GCG, kita perlu mengubah prioritas dan mulai mengidentifikasi risiko lain yang menjadi bagian dari SDGs seperti perubahan iklim, keanekaragaman hayati, bencana alam, dan bencana lingkungan akibat ulah manusia,” terang Menko Airlangga.
Pasalnya, sebagai langkah pertama menuju model ekonomi yang lebih berkelanjutan, bisnis juga harus fokus pada dampak sosial dan lingkungannya. Untuk itu praktik Environmental, Social, and Governance (ESG) atau sering disebut Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (LST) harus diterapkan di seluruh aktivitas bisnis. “Perusahaan perlu menyadari risiko dan mengumpulkan data yang relevan untuk membangun bisnis yang bertahan di masa depan,” imbuhnya.
Akan ada banyak kerugian yang harus ditanggung jika prinsip ESG ini tidak dijalankan di Indonesia, sebab karakteristik geografis negara kepulauan ini rentan terhadap perubahan iklim dan bencana. Selain itu, penerapan ESG juga terbukti berdampak positif bagi kinerja perusahaan.
“Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri untuk mewujudkan SDGs, melainkan perlu upaya kolektif dari stakeholder lain, seperti perusahaan (BUMN/swasta), media, dan lembaga pendidikan. Praktik tata kelola yang efektif hanya dapat terwujud bila terjadi kesadaran bersama untuk menerapkan prinsip-prinsip GCG, mulai dari akar rumput sampai pada jenjang para pengambil keputusan strategis,” pungkas Menko Airlangga.
(nng)