Nasib Garuda ke Depannya: Terus Dipelihara atau Masuk Liang Kubur
loading...
A
A
A
JAKARTA - Yenny Wahid akhirnya tak tak tahan juga untuk tak bersuara mengenai kondisi Garuda Indonesia , perseroan tempat dia duduk sebagai komisaris independen sejak Januari tahun lalu. Maklum sederet pertanyaan kerap diajukan kepada putri mendiang alm Gusdur itu mengenai kondisi maskapai penerbangan milik pemerintah.
"Banyak yg tanya soal Garuda. Saat ini kami sedang berjuang keras agar Garuda tdk dipailitkan. Problem warisan Garuda besar sekali, mulai dari kasus korupsi sampai biaya yang tdk efisien. Namun Garuda adalah national flag carrier kita. Harus diselamatkan. Mhn support & doanya, " tulis Yenny di akun Twitternya, Sabtu (29/5).
Pernyataan Yenny tadi memang tak melenceng. Garuda memang diwarisi utang segede gaban sejak tahun 1998, tiga belas tahun sebelum maskapai ini melantai di bursa saham (IPO). Saat itu, utang Garuda mencapai Rp4,6 triliun. Utang itu terdiri dari mata uang rupiah sebesar Rp825 miliar dan dolar senilai 377 juta (kurs saat itu Rp10.000).
"Utang itu dari pembelian pesawat melalui lembaga keuangan internasional atau lessor dalam bentuk dolar. Pesawat-pesawat yang dibeli itu di antaranya Boeing 737 classic, Boeing 735, 733, dan 734. Semua pesawat itu mulai banyak datang sejak saat itu," timpal Arista Amtadjati, pengamat penerbangan, kepada Sindonews, Minggu (30/5/2021).
Baca juga:Karyawan Garuda Indonesia Diminta Pensiun Dini, Begini Skema Pembayaran Gajinya
Tak sampai di situ, menurut Arista, utang Garuda juga terus bertambah karena perseoran mulau berani membeli pesawat dengan skema mencicil dalam bentuk dolar karena bisa ditalangi lembaga keuangan dunia. Langkah itu juga dilakukan untuk membeli mesin-mesin pesawat.
Plus, sejak Orde Baru berakhir, pemerintah tak lagi berkenan memberikan bantuan kepada Garuda dalam bentuk uang. Garuda diberikan bantuan berupa letter goverment guarantee belaka.
"Garuda mulai berpetualang ngutang dan nyicil untuk pengembangan armadanya hingga saat ini. Konyolnya, ekspansi pengembangan dilakukan ugal-ugalan, tidak sesuai dengan ratio cash in flow yang didapat," tegas Arista.
Tak pelak, utang Garuda terus bertambah terus hingga saat ini mencapai Rp70 triliun. Pemerintah pun gerah dengan kondisi utang yang menindih Garuda. Meski akhirnya memilih opsi menyelamatkannya dengan restrukturisasi, namun pemerintah lewat Kementerian BUMN juga memunculkan opsi untuk melikuidasi atau menutup Garuda.
Bukan tak mungkin, opsi itu juga akan ditempuh jika restrukturisasi dianggap tak mampu melepaskan belitan utang di Garuda. Pasalnya, opsi Garuda yang ketiga adalah membiarkan maskapai itu melakukan restrukturisasi, tapi di saat yang bersamaan mulai mendirikan perusahaan maskapai domestik yang baru untuk mengambil alih sebagaian besar rute Garuda.
Ndilalahnya, ada Citilink, yang notabene anak usaha Garuda, yang dianggap memiliki kinerja lebih oke dibanding sang induk. Daripada terseok-seok terus menerbangkan Garuda, kenapa tidak membesarkan Citilink. Ditambah lagi banyak "pakar" di Garuda yang dialihkan ke Citilink sehingga mampu memberikan kontribusi terbaiknya.
"Banyak senior Garuda diperbantukan di Citilink sampai dengan sekarang sehingga strategic Citilink menapak bumi dan straight on to market. Citilink going well. Citilink bisa jadi pengganti Garuda. Citilink kan pakai nama Citilink Indonesia, jadi tetap punya rasa flag carrier juga," kata Arista.
Opsi apa pun terhadap Garuda ada di tangan pemerintah. Pilihannya ada dua, menyelamatkan (anggap pilihan emosional) atau mematikannya (rasional). Jika ingin menyelamatkan Garuda, pemerintah harus siap "memelihara" Garuda dengan cara apa pun, meski kudu menyuapinya dalam jangka panjang.
Termasuk membayar sisa suntikan dana sebesar Rp7,5 triliun, dari yang dijanjikan sebesar Rp8,5 triliun. Dan pemerintah juga harus siap terus menginjeksi dana untuk Garuda ke depannya, sebab suntikan dana itu hanya sekitar 11% dari total utang.
Pilihan menyelamatkan itu juga diambil dengan dalih jangan sampai Garuda mati karena merupakan maskapai pemerintah yang punya nilai historis besar. Gengsi juga kalau sampai Garuda ditutup, mau ditaruh di mana wajah bangsa ini? Hendak mengatakan apa ke negara-negara tetangga yang juga memiliki maskapai serupa dan bernasib sama tapi tetap dijaga.
Pilihan mematikan bisa dilakukan Garuda karena melihat jeratan utang Garuda yang sulit diuraikan. Ditambah lagi kondisi keuangan pemerintah yang dibebani sejumlah persoalan dan mesti menyelesaikan prorgam-program pembangunan di luar Garuda. Masih ada lagi masalah, yaitu pandemi yang menghancurkan industri penerbangan hingga ke titik nadir yang belum bisa diprediksi kapan benar-benar berakhir.
Ingat, masih banyak juga BUMN yang menderita kerugian seperti Garuda. Mereka pun ramai-ramai minta diselamatkan dengan berbagai alasan.
Sebagai renungan saja. Sebelum pandemi menyerang, ketika pariwisata tengah booming apa yang dinikmati Garuda? Selama kurun 2009 hingga 2019, jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung terus meningkat. Di tahun 2009 jumlah kunjungan "baru" tercatat sebanyak 6,32 juta wisman. Jumlah itu tiap tahun terus meningkat dan di tahun 2019 mencapai 16,11 juta orang.
Baca juga:Indonesia-Turki Kolaborasi Bangun Peralatan Tempur, Tank Harimau Jadi Bukti
Booming pariwisata selama 10 tahun terakhir itu bisa dibilang tak menetes ke Garuda. Baru pada tahun 2019, seperti Yenny Wahid katakan dalam twit berikutnya, Garuda mendapatkan laba sebesar USD19 juta.
"Thn 2019 Garuda membukukan keuntungan operasional 19 jt $, tp tetap terbebani banyak hutang, salah satunya Sukuk yang jatuh tempo sebesar 500jt $ ( 8,5T). Sukuk diterbitkan jauh sebelum saya masuk. Sukuk akhirnya berhasil direstrukturisasi".
Raihan laba tahun itu pun sebetulnya bukan karena kinerja okupansi Garuda, tapi efisiensi yang tergolong ketat. Alias, pengurangan biaya di berbagai sektor.
"Itu karena ikat pinggang cost cutting mati-matian, seperti tidak ada training, tidak boleh dinas, dll. Ya bisanya cuma begitu, ngirit berat," kata Arista.
Memang sih, Garuda masih bisa diselamatkan. Tak cuma mengguyurnya dengan uang, tapi juga merombak habis-habisan tubuh Garuda. Mulai dari mengganti jajaran direksi, komisaris, hingga merampingkan organisasi Garuda.
"Bisa diselamatkan, asal jangan salah pilih BOD dan direksi," kata Arista.
Sayangnya, upaya-upaya penyelamatan itu tak akan menjamin Garuda bisa terus terbang. Kini, publik hanya bisa menunggu bagaimana kelanjutan nasib Garuda ke depannya. Apakah masih bisa mengepak, atau justru masuk liang kubur.
"Banyak yg tanya soal Garuda. Saat ini kami sedang berjuang keras agar Garuda tdk dipailitkan. Problem warisan Garuda besar sekali, mulai dari kasus korupsi sampai biaya yang tdk efisien. Namun Garuda adalah national flag carrier kita. Harus diselamatkan. Mhn support & doanya, " tulis Yenny di akun Twitternya, Sabtu (29/5).
Pernyataan Yenny tadi memang tak melenceng. Garuda memang diwarisi utang segede gaban sejak tahun 1998, tiga belas tahun sebelum maskapai ini melantai di bursa saham (IPO). Saat itu, utang Garuda mencapai Rp4,6 triliun. Utang itu terdiri dari mata uang rupiah sebesar Rp825 miliar dan dolar senilai 377 juta (kurs saat itu Rp10.000).
"Utang itu dari pembelian pesawat melalui lembaga keuangan internasional atau lessor dalam bentuk dolar. Pesawat-pesawat yang dibeli itu di antaranya Boeing 737 classic, Boeing 735, 733, dan 734. Semua pesawat itu mulai banyak datang sejak saat itu," timpal Arista Amtadjati, pengamat penerbangan, kepada Sindonews, Minggu (30/5/2021).
Baca juga:Karyawan Garuda Indonesia Diminta Pensiun Dini, Begini Skema Pembayaran Gajinya
Tak sampai di situ, menurut Arista, utang Garuda juga terus bertambah karena perseoran mulau berani membeli pesawat dengan skema mencicil dalam bentuk dolar karena bisa ditalangi lembaga keuangan dunia. Langkah itu juga dilakukan untuk membeli mesin-mesin pesawat.
Plus, sejak Orde Baru berakhir, pemerintah tak lagi berkenan memberikan bantuan kepada Garuda dalam bentuk uang. Garuda diberikan bantuan berupa letter goverment guarantee belaka.
"Garuda mulai berpetualang ngutang dan nyicil untuk pengembangan armadanya hingga saat ini. Konyolnya, ekspansi pengembangan dilakukan ugal-ugalan, tidak sesuai dengan ratio cash in flow yang didapat," tegas Arista.
Tak pelak, utang Garuda terus bertambah terus hingga saat ini mencapai Rp70 triliun. Pemerintah pun gerah dengan kondisi utang yang menindih Garuda. Meski akhirnya memilih opsi menyelamatkannya dengan restrukturisasi, namun pemerintah lewat Kementerian BUMN juga memunculkan opsi untuk melikuidasi atau menutup Garuda.
Bukan tak mungkin, opsi itu juga akan ditempuh jika restrukturisasi dianggap tak mampu melepaskan belitan utang di Garuda. Pasalnya, opsi Garuda yang ketiga adalah membiarkan maskapai itu melakukan restrukturisasi, tapi di saat yang bersamaan mulai mendirikan perusahaan maskapai domestik yang baru untuk mengambil alih sebagaian besar rute Garuda.
Ndilalahnya, ada Citilink, yang notabene anak usaha Garuda, yang dianggap memiliki kinerja lebih oke dibanding sang induk. Daripada terseok-seok terus menerbangkan Garuda, kenapa tidak membesarkan Citilink. Ditambah lagi banyak "pakar" di Garuda yang dialihkan ke Citilink sehingga mampu memberikan kontribusi terbaiknya.
"Banyak senior Garuda diperbantukan di Citilink sampai dengan sekarang sehingga strategic Citilink menapak bumi dan straight on to market. Citilink going well. Citilink bisa jadi pengganti Garuda. Citilink kan pakai nama Citilink Indonesia, jadi tetap punya rasa flag carrier juga," kata Arista.
Opsi apa pun terhadap Garuda ada di tangan pemerintah. Pilihannya ada dua, menyelamatkan (anggap pilihan emosional) atau mematikannya (rasional). Jika ingin menyelamatkan Garuda, pemerintah harus siap "memelihara" Garuda dengan cara apa pun, meski kudu menyuapinya dalam jangka panjang.
Termasuk membayar sisa suntikan dana sebesar Rp7,5 triliun, dari yang dijanjikan sebesar Rp8,5 triliun. Dan pemerintah juga harus siap terus menginjeksi dana untuk Garuda ke depannya, sebab suntikan dana itu hanya sekitar 11% dari total utang.
Pilihan menyelamatkan itu juga diambil dengan dalih jangan sampai Garuda mati karena merupakan maskapai pemerintah yang punya nilai historis besar. Gengsi juga kalau sampai Garuda ditutup, mau ditaruh di mana wajah bangsa ini? Hendak mengatakan apa ke negara-negara tetangga yang juga memiliki maskapai serupa dan bernasib sama tapi tetap dijaga.
Pilihan mematikan bisa dilakukan Garuda karena melihat jeratan utang Garuda yang sulit diuraikan. Ditambah lagi kondisi keuangan pemerintah yang dibebani sejumlah persoalan dan mesti menyelesaikan prorgam-program pembangunan di luar Garuda. Masih ada lagi masalah, yaitu pandemi yang menghancurkan industri penerbangan hingga ke titik nadir yang belum bisa diprediksi kapan benar-benar berakhir.
Ingat, masih banyak juga BUMN yang menderita kerugian seperti Garuda. Mereka pun ramai-ramai minta diselamatkan dengan berbagai alasan.
Sebagai renungan saja. Sebelum pandemi menyerang, ketika pariwisata tengah booming apa yang dinikmati Garuda? Selama kurun 2009 hingga 2019, jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung terus meningkat. Di tahun 2009 jumlah kunjungan "baru" tercatat sebanyak 6,32 juta wisman. Jumlah itu tiap tahun terus meningkat dan di tahun 2019 mencapai 16,11 juta orang.
Baca juga:Indonesia-Turki Kolaborasi Bangun Peralatan Tempur, Tank Harimau Jadi Bukti
Booming pariwisata selama 10 tahun terakhir itu bisa dibilang tak menetes ke Garuda. Baru pada tahun 2019, seperti Yenny Wahid katakan dalam twit berikutnya, Garuda mendapatkan laba sebesar USD19 juta.
"Thn 2019 Garuda membukukan keuntungan operasional 19 jt $, tp tetap terbebani banyak hutang, salah satunya Sukuk yang jatuh tempo sebesar 500jt $ ( 8,5T). Sukuk diterbitkan jauh sebelum saya masuk. Sukuk akhirnya berhasil direstrukturisasi".
Raihan laba tahun itu pun sebetulnya bukan karena kinerja okupansi Garuda, tapi efisiensi yang tergolong ketat. Alias, pengurangan biaya di berbagai sektor.
"Itu karena ikat pinggang cost cutting mati-matian, seperti tidak ada training, tidak boleh dinas, dll. Ya bisanya cuma begitu, ngirit berat," kata Arista.
Memang sih, Garuda masih bisa diselamatkan. Tak cuma mengguyurnya dengan uang, tapi juga merombak habis-habisan tubuh Garuda. Mulai dari mengganti jajaran direksi, komisaris, hingga merampingkan organisasi Garuda.
"Bisa diselamatkan, asal jangan salah pilih BOD dan direksi," kata Arista.
Sayangnya, upaya-upaya penyelamatan itu tak akan menjamin Garuda bisa terus terbang. Kini, publik hanya bisa menunggu bagaimana kelanjutan nasib Garuda ke depannya. Apakah masih bisa mengepak, atau justru masuk liang kubur.
(uka)