Mengepakkan Kembali Sayap Garuda, Mungkinkah?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Bisnis penerbangan Tanah Air dalam setahun terakhir memasuki periode sulit. Dampak pandemi Covid-19 membuat sejumlah maskapai kini berada pada fase kritis karena harus menanggung tingginya beban biaya operasional di tengah minimnya penumpang perjalanan udara.
Kondisi ini membuat sejumlah maskapai nasional kembang kempis. Tuntutan efisiensi berupa pengurangan karyawan hingga restrukturisasi menjadi pilihan yang harus ditempuh demi mengepakkan kembali si burung besi.
Fakta terkini yang sedang mendapat perhatian adalah Garuda Indonesia. Maskapai kebanggan nasional itu kini berada di ujung tanduk karena kinerja keuangannya yang jeblok. Hal itu terungkap saat Wakil Menteri (Wamen) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartiko Wirjoatmodjo mengikuti rapat dengan Komisi VI DPR RI pekan lalu.
Kartiko menyebut, beban operasional Garuda saban bulan mencapai USD150 juta. Angka ini jauh pendapatan maskapai tersebut yang hanya USD50 juta. Belum lagi utang emiten berkode GIAA tersebut yang kini juga melonjak dari sebelumnya Rp20 triliun menjadi Rp70 triliun.
Sejumlah opsi sebelumnnya sempat mengemuka untuk penyelamatan Garuda. Pertama, pinjaman atau suntikan ekuitas dari pemerintah. Kedua, menggunakan hukum perlindungan kebangkrutan untuk merestrukturisasi Garuda.
Ketiga, merestrukturisasi Garuda Indonesia dan mendirikan perusahaan maskapai nasional baru. Maskapai ini nantinya fokus pada penerbangan domestik. Adapun opsi keempat adalah, membiarkan Garuda tutup selamanya alias dilikuidasi.
Namun, apabila opsi terakhir ini dipilih, dipastikan ke depan hanya akan ada maskapai swasta yang melayani bisnis penerbangan penumpang di Tanah Air.
Masing-masing opsi memiliki plus-minus. Misalnya, opsi pertama akan membuat beban utang semakin besar. Langkah penyelamatan Garuda diperkirakan tidak akan mudah mengingat pandemi
Covid-19 masih belum bisa diprediksi kapan berakhirnya. Selama pandemi masih belum tertangani, selama itu pula pembatasan kegiatan dan keramaian akan diberlakukan. Bisnis penerbangan penumpang pun sangat bergantung pada sektor lain, seperti pariwisata, perjalanan dinas, dan sebagainya.
Diketahui, sektor-sektor tersebut belum bisa membuka akses secara penuh. Bahkan, kadang harus buka-tutup ketika ada peningkatan kasus di suatu daerah atau negara. Sehingga sampai saat ini belum ada satu opsi penyelamatan yang ditetapkan akan dijalankan.
Meski demikian, guna mempercepat pemulihan kinerja perusahaan, Garuda memutuskan untuk mempercepat pengembalian lebih awal armada yang belum jatuh tempo masa sewanya. Langkah strategis tersebut salah satunya ditandai dengan pengembalian dua armada B737-800 NG kepada salah satu lessor pesawat.
Percepatan pengembalian dilakukan setelah adanya kesepakatan bersama antara Garuda Indonesia dan pihak lessor pesawat, di mana salah satu syarat pengembalian pesawat adalah dengan melakukan perubahan kode registrasi pesawat terkait.
"Percepatan pengembalian armada yang belum jatuh tempo masa sewanya, merupakan bagian dari langkah strategis Garuda Indonesia dalam mengoptimalisasikan produktivitas armada dengan mempercepat jangka waktu sewa pesawat,” kata Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra Senin (07/06/2021).
Langkah tersebut, kata Irfan, perlu dilakukan di tengah tekanan kinerja usaha imbas pandemi Covid-19 di mana fokus utama perseroan adalah penyesuaian terhadap proyeksi kebutuhan pasar di era kenormalan baru.
"Saat ini, kami juga terus menjalin komunikasi bersama lessor pesawat lainnya, tentunya dengan mengedepankan aspek legalitas dan compliance yang berlaku,” ucap Irfan.
Sebelum muncul empat opsi penyelamatan, manajemen Garuda telah menawarkan program pensiun dini terbuka bagi seluruh karyawannya. Program dibuka sejak 19 Mei dan akan berakhir pada 19 Juni 2021. Garuda meyakinkan karyawan yang mengambil pilihan ini akan mendapatkan kompensasi sesuai dengan Pasal 64 Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Pada opsi ini, karyawan akan mendapatkan dua kali pesangon, satu kali uang penghargaan masa kerja, uang pengganti hak, dan tiket konsesi bagi mereka yang masa kerjanya di atas 16 tahun. Belum ada data pasti jumlah karyawan yang mengambil program pensiun dini. Namun, Irfan menyatakan sudah ada yang mendaftar untuk pensiun dini.
Belakangan, Serikat Bersama (Sekber) Garuda Indonesia menawarkan opsi lain penyelamatan maskapai yang sudah berdiri sejak 1949 itu. Dalam sebuah dokumen yang diterima KORAN SINDO, disebutkan bahwa Sekber masih sangat optimistis dengan garuda apabila lini bisnis kargo, pengelolaan gudang kargo, charter flight, corporate account, dan pendapatan lainnya (ancillary revenue) bisa dikelola secara maksimal.
“Ini akan dapat meningkatkan kinerja Garuda Indonesia,” demikian bunyi dokumen tersebut.
Selain itu, Sekber meminta manajemen melakukan renegosiasi secara maksimal dengan lessor, creditor, dan vendor. Adapun beberapa opsi yang ditawarkan Sekber, seperti meminta negara meninjau kembali semua kebijakan dan regulasi yang terkait rute domestik, golden route, dan golden time/best time. Itu semua seharusnya 60% dikuasai oleh negara melalui flag carrier.
Ketua Harian Serikat Karyawan Garuda (Sekarga) Garuda Indonesia Tomy Tampatty menyatakan, Garuda harus tetap terbang meski keuangannya tekor terus.
Menurutnya, direksi harus berbicara dengan pemegang saham, seperti Kementerian BUMN, PT Trans Airways, dan pemegang saham lainnya. Di luar itu, Tomy menilai manajemen Garuda kurang maksimal dalam menggarap bisnis kargo. Bisnis ini masih cukup baik di masa pandemi Covid-19. Kegiatan di luar dibatasi. Masyarakat memilih melakukan pembelian barang melalui daring dan ini membutuhkan jasa pengiriman.
“Pendekatan pasar ke shipper (pengirim). Yang jelas (bisnis kargo) memang kompetitif. Saya yakin kalau memang all out melakukan pendekatan ke shipper/pengirim, kita bisa menguasai ini. Mereka sebenarnya pengirim-pengirim yang biasa menggunakan Garuda,” tutur dia saat dihubungi KORAN SINDO, kemarin.
Tomy mengungkapkan, potensi kargo yang ada sekarang malah banyak menggunakan charter flight. Kemungkinan mereka lari dari GIAA karena masalah harga. Menurut Tomy, itu bisa diselesaikan jika manajemen mau duduk bersama dengan calon mitra. Terkait tawaran pensiun dini,
Sekarga tidak mengambil sikap atau menolak. Tomy menyerahkan sepenuhnya kepada masing-masing karyawan.
Tidak Lebih Baik
Mendungnya awan di bisnis penerbangan tak hanya dialami Garuda . Maskapai lain juga mengalami situasi serupa. Sriwijaya Air misalnya. Perusahaan itu juga berniat melakukan PHK. Adapun bentuk kompensasi yang diberikan, yakni karyawan dengan masa kerja 1-3 tahun akan mendapatkan uang pisah satu bulan gaji. Karyawan tiga-enam tahun mendapatkan dua bulan gaji dan karyawan dengan masa kerja di atas enam tahun memperoleh tiga kali gaji.
Namun, saat meminta keterangan dari pihak Sriwijaya Air, Senior Manager Corporate Communication Theodora Erika menyatakan bahwa pihaknya belum bisa memberikan pernyataan.
“Mohon maaf, kami belum bisa komen,” ujar Erika melalui pesan singkat.
Pada tahun lalu, Lion Air Grup juga melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Maskapai milik Rusdi Kirana menyebut PHK menyasar pada karyawan yang kontraknya habis.
Namun kini di tengah lesunya bisnis penerbangan, Lion Air Grup justru menghidupkan kembali dan membuka beberapa rute baru. Corporate Communication Strategic Lion Air Grup Danang Mandala Prihantoro mengatakan pasar dan tren penerbangan akan tumbuh positif atau tumbuh kembali.
“Hal tersebut sesuai dengan geografis di Indonesia sebagai negara kepulauan serta kebutuhan dari permintaan pasar penerbangan dalam rangka kemudahan mobilisasi orang dan barang,” ujarnya kepada KORAN SINDO.
Lion Air Grup terus melakukan analisis dan pengkajian pasar terhadap penerbangan berjadwal penumpang, tidak berjadwal penumpang, dan sewa angkut kargo. Namun, Danang tidak mau membuka data tentang jumlah penumpang, kargo, dan kondisi keuangan perusahaan.
Perlu Langkah Radikal
Anggota Komisi VI DPR Fraksi PDI-P Deddy Yevri Sitorus mengatakan, perlu langkah cukup radikal untuk memperbaiki kinerja Garuda Indonesia. Dia ingin agar penyelesaian masalah Garuda dilakukan dengan menyentuh langsung pada akar masalah.
“Sebelum hal itu tercapai manajemen harus mengambil langkah konkrit. Menurutnya mau tidak mau memang harus dilakukan layoff dengan situasi yang saat ini terjadi,“ katanya saat Raker Komisi VI dengan Kementrian BUMN.
Adapun anggota Komisi VI dari Partai Demokrat Herman Khaeron berpendapat, upaya mempertahankan eksistensi Garuda Indonesia sama dengan mempertahankan harkat martabat bangsa. Pasalnya, Garuda Indonesia sudah lama mengudara dan terkenal di mana pun.
“Menjadi aneh dengan manajemen Garuda karena kita sering lihat penerbangan penuh tapi kok merosot terus. Ini terjadi setelah pergantian direksi. Ini yang harus diungkap ke publik bahwa pergantian itu didasarkan pada persoalan miss manajemen dan terkait dengan persoalan keuangan,” katanya.
Sementara itu, pengamat penerbangan Arista Indonesia Aviation Center (AIAC) Arista Atmadjati berpendapat, masalah yang dialami Garuda Indonesia perlu solusi jitu yang dimulai dari tata kelola perusahaan yang baik. Dia mencontohan, manajemen Garuda kerap kali tidak berumur panjang sehingga tidak bisa berbuat banyak untuk jangka panjang.
“Idealnya Garuda kalau mau membereskan utang ya minimal empat tahun masa kepemimpinan direksinya,” kata dia.
Dia menambahkan, sebagai flag carrier satu-satunya yang dimiliki pemerintah, upaya penyelamatan mutlak harus dilakukan. “Mestinya dengan segala usaha, kata Erik akan diselamatkan, ya tunggu saja,” ucapnya.
Arista menambahkan, apabila memang negara sebagai pemilik saham tidak kuat mendanai maka dengan sangat terpaksa Garuda akan gugur seperti Merpati. Solusi lainnya, kata dia, membesarkan Citylink yang sahamnya 100% milik pemerintah.
“Skenarionya mungkin bisa dengan mempertahankan Garuda namun dengan kekuatan 40 armada saja dan berjalan dengan kondisi yang saat ini ada, disuntik seadanya, SDM dikurangi. Namun yang tidak kalah penting adalah memberikan kesempatan Citylink untuk berkembang dan dibesarkan, dinaikkan kelasnya lah,” katanya.
Kondisi ini membuat sejumlah maskapai nasional kembang kempis. Tuntutan efisiensi berupa pengurangan karyawan hingga restrukturisasi menjadi pilihan yang harus ditempuh demi mengepakkan kembali si burung besi.
Fakta terkini yang sedang mendapat perhatian adalah Garuda Indonesia. Maskapai kebanggan nasional itu kini berada di ujung tanduk karena kinerja keuangannya yang jeblok. Hal itu terungkap saat Wakil Menteri (Wamen) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartiko Wirjoatmodjo mengikuti rapat dengan Komisi VI DPR RI pekan lalu.
Kartiko menyebut, beban operasional Garuda saban bulan mencapai USD150 juta. Angka ini jauh pendapatan maskapai tersebut yang hanya USD50 juta. Belum lagi utang emiten berkode GIAA tersebut yang kini juga melonjak dari sebelumnya Rp20 triliun menjadi Rp70 triliun.
Sejumlah opsi sebelumnnya sempat mengemuka untuk penyelamatan Garuda. Pertama, pinjaman atau suntikan ekuitas dari pemerintah. Kedua, menggunakan hukum perlindungan kebangkrutan untuk merestrukturisasi Garuda.
Ketiga, merestrukturisasi Garuda Indonesia dan mendirikan perusahaan maskapai nasional baru. Maskapai ini nantinya fokus pada penerbangan domestik. Adapun opsi keempat adalah, membiarkan Garuda tutup selamanya alias dilikuidasi.
Namun, apabila opsi terakhir ini dipilih, dipastikan ke depan hanya akan ada maskapai swasta yang melayani bisnis penerbangan penumpang di Tanah Air.
Masing-masing opsi memiliki plus-minus. Misalnya, opsi pertama akan membuat beban utang semakin besar. Langkah penyelamatan Garuda diperkirakan tidak akan mudah mengingat pandemi
Covid-19 masih belum bisa diprediksi kapan berakhirnya. Selama pandemi masih belum tertangani, selama itu pula pembatasan kegiatan dan keramaian akan diberlakukan. Bisnis penerbangan penumpang pun sangat bergantung pada sektor lain, seperti pariwisata, perjalanan dinas, dan sebagainya.
Diketahui, sektor-sektor tersebut belum bisa membuka akses secara penuh. Bahkan, kadang harus buka-tutup ketika ada peningkatan kasus di suatu daerah atau negara. Sehingga sampai saat ini belum ada satu opsi penyelamatan yang ditetapkan akan dijalankan.
Meski demikian, guna mempercepat pemulihan kinerja perusahaan, Garuda memutuskan untuk mempercepat pengembalian lebih awal armada yang belum jatuh tempo masa sewanya. Langkah strategis tersebut salah satunya ditandai dengan pengembalian dua armada B737-800 NG kepada salah satu lessor pesawat.
Percepatan pengembalian dilakukan setelah adanya kesepakatan bersama antara Garuda Indonesia dan pihak lessor pesawat, di mana salah satu syarat pengembalian pesawat adalah dengan melakukan perubahan kode registrasi pesawat terkait.
"Percepatan pengembalian armada yang belum jatuh tempo masa sewanya, merupakan bagian dari langkah strategis Garuda Indonesia dalam mengoptimalisasikan produktivitas armada dengan mempercepat jangka waktu sewa pesawat,” kata Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra Senin (07/06/2021).
Langkah tersebut, kata Irfan, perlu dilakukan di tengah tekanan kinerja usaha imbas pandemi Covid-19 di mana fokus utama perseroan adalah penyesuaian terhadap proyeksi kebutuhan pasar di era kenormalan baru.
"Saat ini, kami juga terus menjalin komunikasi bersama lessor pesawat lainnya, tentunya dengan mengedepankan aspek legalitas dan compliance yang berlaku,” ucap Irfan.
Sebelum muncul empat opsi penyelamatan, manajemen Garuda telah menawarkan program pensiun dini terbuka bagi seluruh karyawannya. Program dibuka sejak 19 Mei dan akan berakhir pada 19 Juni 2021. Garuda meyakinkan karyawan yang mengambil pilihan ini akan mendapatkan kompensasi sesuai dengan Pasal 64 Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Pada opsi ini, karyawan akan mendapatkan dua kali pesangon, satu kali uang penghargaan masa kerja, uang pengganti hak, dan tiket konsesi bagi mereka yang masa kerjanya di atas 16 tahun. Belum ada data pasti jumlah karyawan yang mengambil program pensiun dini. Namun, Irfan menyatakan sudah ada yang mendaftar untuk pensiun dini.
Belakangan, Serikat Bersama (Sekber) Garuda Indonesia menawarkan opsi lain penyelamatan maskapai yang sudah berdiri sejak 1949 itu. Dalam sebuah dokumen yang diterima KORAN SINDO, disebutkan bahwa Sekber masih sangat optimistis dengan garuda apabila lini bisnis kargo, pengelolaan gudang kargo, charter flight, corporate account, dan pendapatan lainnya (ancillary revenue) bisa dikelola secara maksimal.
“Ini akan dapat meningkatkan kinerja Garuda Indonesia,” demikian bunyi dokumen tersebut.
Selain itu, Sekber meminta manajemen melakukan renegosiasi secara maksimal dengan lessor, creditor, dan vendor. Adapun beberapa opsi yang ditawarkan Sekber, seperti meminta negara meninjau kembali semua kebijakan dan regulasi yang terkait rute domestik, golden route, dan golden time/best time. Itu semua seharusnya 60% dikuasai oleh negara melalui flag carrier.
Ketua Harian Serikat Karyawan Garuda (Sekarga) Garuda Indonesia Tomy Tampatty menyatakan, Garuda harus tetap terbang meski keuangannya tekor terus.
Menurutnya, direksi harus berbicara dengan pemegang saham, seperti Kementerian BUMN, PT Trans Airways, dan pemegang saham lainnya. Di luar itu, Tomy menilai manajemen Garuda kurang maksimal dalam menggarap bisnis kargo. Bisnis ini masih cukup baik di masa pandemi Covid-19. Kegiatan di luar dibatasi. Masyarakat memilih melakukan pembelian barang melalui daring dan ini membutuhkan jasa pengiriman.
“Pendekatan pasar ke shipper (pengirim). Yang jelas (bisnis kargo) memang kompetitif. Saya yakin kalau memang all out melakukan pendekatan ke shipper/pengirim, kita bisa menguasai ini. Mereka sebenarnya pengirim-pengirim yang biasa menggunakan Garuda,” tutur dia saat dihubungi KORAN SINDO, kemarin.
Tomy mengungkapkan, potensi kargo yang ada sekarang malah banyak menggunakan charter flight. Kemungkinan mereka lari dari GIAA karena masalah harga. Menurut Tomy, itu bisa diselesaikan jika manajemen mau duduk bersama dengan calon mitra. Terkait tawaran pensiun dini,
Sekarga tidak mengambil sikap atau menolak. Tomy menyerahkan sepenuhnya kepada masing-masing karyawan.
Tidak Lebih Baik
Mendungnya awan di bisnis penerbangan tak hanya dialami Garuda . Maskapai lain juga mengalami situasi serupa. Sriwijaya Air misalnya. Perusahaan itu juga berniat melakukan PHK. Adapun bentuk kompensasi yang diberikan, yakni karyawan dengan masa kerja 1-3 tahun akan mendapatkan uang pisah satu bulan gaji. Karyawan tiga-enam tahun mendapatkan dua bulan gaji dan karyawan dengan masa kerja di atas enam tahun memperoleh tiga kali gaji.
Namun, saat meminta keterangan dari pihak Sriwijaya Air, Senior Manager Corporate Communication Theodora Erika menyatakan bahwa pihaknya belum bisa memberikan pernyataan.
“Mohon maaf, kami belum bisa komen,” ujar Erika melalui pesan singkat.
Pada tahun lalu, Lion Air Grup juga melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Maskapai milik Rusdi Kirana menyebut PHK menyasar pada karyawan yang kontraknya habis.
Namun kini di tengah lesunya bisnis penerbangan, Lion Air Grup justru menghidupkan kembali dan membuka beberapa rute baru. Corporate Communication Strategic Lion Air Grup Danang Mandala Prihantoro mengatakan pasar dan tren penerbangan akan tumbuh positif atau tumbuh kembali.
“Hal tersebut sesuai dengan geografis di Indonesia sebagai negara kepulauan serta kebutuhan dari permintaan pasar penerbangan dalam rangka kemudahan mobilisasi orang dan barang,” ujarnya kepada KORAN SINDO.
Lion Air Grup terus melakukan analisis dan pengkajian pasar terhadap penerbangan berjadwal penumpang, tidak berjadwal penumpang, dan sewa angkut kargo. Namun, Danang tidak mau membuka data tentang jumlah penumpang, kargo, dan kondisi keuangan perusahaan.
Perlu Langkah Radikal
Anggota Komisi VI DPR Fraksi PDI-P Deddy Yevri Sitorus mengatakan, perlu langkah cukup radikal untuk memperbaiki kinerja Garuda Indonesia. Dia ingin agar penyelesaian masalah Garuda dilakukan dengan menyentuh langsung pada akar masalah.
“Sebelum hal itu tercapai manajemen harus mengambil langkah konkrit. Menurutnya mau tidak mau memang harus dilakukan layoff dengan situasi yang saat ini terjadi,“ katanya saat Raker Komisi VI dengan Kementrian BUMN.
Adapun anggota Komisi VI dari Partai Demokrat Herman Khaeron berpendapat, upaya mempertahankan eksistensi Garuda Indonesia sama dengan mempertahankan harkat martabat bangsa. Pasalnya, Garuda Indonesia sudah lama mengudara dan terkenal di mana pun.
“Menjadi aneh dengan manajemen Garuda karena kita sering lihat penerbangan penuh tapi kok merosot terus. Ini terjadi setelah pergantian direksi. Ini yang harus diungkap ke publik bahwa pergantian itu didasarkan pada persoalan miss manajemen dan terkait dengan persoalan keuangan,” katanya.
Sementara itu, pengamat penerbangan Arista Indonesia Aviation Center (AIAC) Arista Atmadjati berpendapat, masalah yang dialami Garuda Indonesia perlu solusi jitu yang dimulai dari tata kelola perusahaan yang baik. Dia mencontohan, manajemen Garuda kerap kali tidak berumur panjang sehingga tidak bisa berbuat banyak untuk jangka panjang.
“Idealnya Garuda kalau mau membereskan utang ya minimal empat tahun masa kepemimpinan direksinya,” kata dia.
Dia menambahkan, sebagai flag carrier satu-satunya yang dimiliki pemerintah, upaya penyelamatan mutlak harus dilakukan. “Mestinya dengan segala usaha, kata Erik akan diselamatkan, ya tunggu saja,” ucapnya.
Arista menambahkan, apabila memang negara sebagai pemilik saham tidak kuat mendanai maka dengan sangat terpaksa Garuda akan gugur seperti Merpati. Solusi lainnya, kata dia, membesarkan Citylink yang sahamnya 100% milik pemerintah.
“Skenarionya mungkin bisa dengan mempertahankan Garuda namun dengan kekuatan 40 armada saja dan berjalan dengan kondisi yang saat ini ada, disuntik seadanya, SDM dikurangi. Namun yang tidak kalah penting adalah memberikan kesempatan Citylink untuk berkembang dan dibesarkan, dinaikkan kelasnya lah,” katanya.
(ynt)