LSM di Indonesia Harus Transparan Soal Sumber Dana
loading...
A
A
A
JAKARTA - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang beroperasi di Indonesia harus patuh mengikuti peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Karena itu, LSM dituntut transparan soal sumber dana dan donatur mereka.
Hal ini sejalan dengan keputusan Komisi Informasi Publik (KIP) yang meminta Greenpeace Indonesia untuk melakukan keterbukaan informasi (transparansi) terkait sumber dana dari masyarakat dalam dan luar negeri, perjanjian dengan pihak donor serta sejumlah informasi lain.
(Baca juga:Dialog dengan Bupati Diganggu, Ratusan Kades Bentrok Lawan Anggota LSM)
Guru Besar IPB Prof Budi Mulyanto menilai, sebagai LSM yang beroperasi di Indonesia, Greenpeace Indonesia harus patuh mengikuti peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. “Hal ini karena keputusan KIP merupakan produk hukum yang harus dipatuhi untuk dilaksanakan,” kata Budi Mulyanto dalam keterangan tertulisnya, Senin (12/7).
Melaksanakan keterbukaan informasi publik sesuai dengan undang-undang, kata Budi Mulyanto, akan berdampak positif bagi Greenpeace itu sendiri dan mampu meningkatkan kepercayaan publik (public trust).
(Baca juga:Viral! Anggota LSM Minta Jatah Rp300 Ribu ke Penjual Gas di Tangerang)
Menurut Budi Mulyanto, tidak hanya Greenpeace, seluruh LSM yang ada di Indonesia harus melakukan keterbukaan informasi sesuai dengan Undang-Undang No 14/2008. Hal ini penting untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap kinerja LSM di Indonesia.
“Tidak hanya Greenpeace seharus keterbukaan informasi menyangkut sumber pendanaan, perjanjian dengan pihak donor serta sejumlah informasi lain yang patut diketahui publik harus dilakukan terhadap semua LSM di Indonesia untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat,” kata Budi Mulyanto.
Seperti diketahui, KIP meminta Greenpeace Indonesia untuk melakukan keterbukaan informasi (transparansi) terkait sumber dana dari masyarakat dalam dan luar negeri, perjanjian dengan pihak donor serta sejumlah informasi lain.
(Baca juga:Diperas Oknum LSM, 100 Perangkat Desa Datangi Mapolresta Banyumas)
Hal ini diputuskan dalam rapat permusyawaratan majelis komisioner yaitu Gede Narayana selaku ketua merangkap anggota, Wafa Patria Umma dan Hendra masing-masing sebagai anggota pada Kamis (2/4) dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada Senin (24/5).
Keputusan itu ditetapkan setelah KIP menerima, memeriksa dan memutus sengketa informasi publik Nomor register :012/VI/KIP-PS-A/2020 yang diajukan oleh Perkumpulan Lembaga Kajian Hukum dan Agraria.
(Baca juga:Alamak, Jengkel Demo Tak Digubris, LSM Blitar Ancam Lapor Mendagri)
Perkumpulan Lembaga Kajian Hukum dan Agraria telah mengajukan permohonan informasi publik kepada KIP pada 15 Juni 2020, setelah pihaknya merasa kesulitan untuk mengakses data-data yang seharusnya bisa menjadi domain publik, namun ditolak oleh Greenpeace Indonesia.
Tujuan Perkumpulan Lembaga Kajian Hukum dan Agraria meminta sejumlah data yang dianggap menjadi domain publik untuk kepentingan penelitian tentang akuntabilitas dan dampak organisasi non pemerintah lingkungan terhadap pengelolaan lingkungan di Indonesia.
Dalam putusannya, KIP meminta Greenpeace Indonesia untuk membuka sejumlah laporan publik terkait akta pendirian dan perubahan terakhir perkumpulan Greenpeace Indonesia, laporan sumber daya dari masyarakat dalam dan luar negeri mulai 2015-2019 dan perjanjian dengan pihak donor tahun 2015-2019.
Kewajiban lain yang harus dibuka Greenpeace Indonesia menyangkut realisasi penggunaan anggaran tahun 2015-2019 serta realiasi kegiatan tahun 2015-2019.
Hal ini sejalan dengan keputusan Komisi Informasi Publik (KIP) yang meminta Greenpeace Indonesia untuk melakukan keterbukaan informasi (transparansi) terkait sumber dana dari masyarakat dalam dan luar negeri, perjanjian dengan pihak donor serta sejumlah informasi lain.
(Baca juga:Dialog dengan Bupati Diganggu, Ratusan Kades Bentrok Lawan Anggota LSM)
Guru Besar IPB Prof Budi Mulyanto menilai, sebagai LSM yang beroperasi di Indonesia, Greenpeace Indonesia harus patuh mengikuti peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. “Hal ini karena keputusan KIP merupakan produk hukum yang harus dipatuhi untuk dilaksanakan,” kata Budi Mulyanto dalam keterangan tertulisnya, Senin (12/7).
Melaksanakan keterbukaan informasi publik sesuai dengan undang-undang, kata Budi Mulyanto, akan berdampak positif bagi Greenpeace itu sendiri dan mampu meningkatkan kepercayaan publik (public trust).
(Baca juga:Viral! Anggota LSM Minta Jatah Rp300 Ribu ke Penjual Gas di Tangerang)
Menurut Budi Mulyanto, tidak hanya Greenpeace, seluruh LSM yang ada di Indonesia harus melakukan keterbukaan informasi sesuai dengan Undang-Undang No 14/2008. Hal ini penting untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap kinerja LSM di Indonesia.
“Tidak hanya Greenpeace seharus keterbukaan informasi menyangkut sumber pendanaan, perjanjian dengan pihak donor serta sejumlah informasi lain yang patut diketahui publik harus dilakukan terhadap semua LSM di Indonesia untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat,” kata Budi Mulyanto.
Seperti diketahui, KIP meminta Greenpeace Indonesia untuk melakukan keterbukaan informasi (transparansi) terkait sumber dana dari masyarakat dalam dan luar negeri, perjanjian dengan pihak donor serta sejumlah informasi lain.
(Baca juga:Diperas Oknum LSM, 100 Perangkat Desa Datangi Mapolresta Banyumas)
Hal ini diputuskan dalam rapat permusyawaratan majelis komisioner yaitu Gede Narayana selaku ketua merangkap anggota, Wafa Patria Umma dan Hendra masing-masing sebagai anggota pada Kamis (2/4) dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada Senin (24/5).
Keputusan itu ditetapkan setelah KIP menerima, memeriksa dan memutus sengketa informasi publik Nomor register :012/VI/KIP-PS-A/2020 yang diajukan oleh Perkumpulan Lembaga Kajian Hukum dan Agraria.
(Baca juga:Alamak, Jengkel Demo Tak Digubris, LSM Blitar Ancam Lapor Mendagri)
Perkumpulan Lembaga Kajian Hukum dan Agraria telah mengajukan permohonan informasi publik kepada KIP pada 15 Juni 2020, setelah pihaknya merasa kesulitan untuk mengakses data-data yang seharusnya bisa menjadi domain publik, namun ditolak oleh Greenpeace Indonesia.
Tujuan Perkumpulan Lembaga Kajian Hukum dan Agraria meminta sejumlah data yang dianggap menjadi domain publik untuk kepentingan penelitian tentang akuntabilitas dan dampak organisasi non pemerintah lingkungan terhadap pengelolaan lingkungan di Indonesia.
Dalam putusannya, KIP meminta Greenpeace Indonesia untuk membuka sejumlah laporan publik terkait akta pendirian dan perubahan terakhir perkumpulan Greenpeace Indonesia, laporan sumber daya dari masyarakat dalam dan luar negeri mulai 2015-2019 dan perjanjian dengan pihak donor tahun 2015-2019.
Kewajiban lain yang harus dibuka Greenpeace Indonesia menyangkut realisasi penggunaan anggaran tahun 2015-2019 serta realiasi kegiatan tahun 2015-2019.
(dar)