Dipandang Bijak Jika Kebijakan Terkait IHT Ditunda
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah diharapkan tidak perlu melakukan perubahan atas peraturan pemerintah (PP) yang sudah dibuat sebelumnya, seperti PP No. 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Pandangan itu disampaikan dosen dan peneliti Pusat Pengkajian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Brawijaya, Imaninar, dan Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Makananan dan Minuman–Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPRTMM-SPSI) Sudarto.
“Pemerintah sebaiknya fokus melindungi kehidupan ekonomi masyarakat kecil,” papar Dosen dan Peneliti FEB UB Imaninar, dalam keterangan tertulis yang diterima, Senin (19/7/2021).
Lebih lanjut Imaninar menjelaskan, tekanan ekonomi yang muncul akibat pandemi, diderita pula oleh sektor industri hasil tembakau (IHT). IHT mengalami pertumbuhan negatif pada tahun 2020. Industri pengolahan tembakau tercatat minus 5,78% sepanjang tahun 2020. Penurunan terbesar terjadi pada kuartal II-2020 sebesar minus 10,84%, ketika itu diberlakukan PSBB.
Baca juga:China Ancam Membom Nuklir Jepang Tanpa Henti Jika Bela Taiwan
“Berbagai kebijakan berkaitan dengan IHT alangkah lebih bijak jika ditunda atau dipertimbangkan kembali demi keberlangsungan IHT. Oleh sebab itu, rencana pemerintah merevisi PP No.109/2012 hendaknya perlu dikaji dan dipertimbangkan kembali demi keberlangsungan IHT. Mengingat IHT adalah salah satu industri yang memiliki kontribusi besar bagi perekonomian nasional,” papar Imaninar.
Lebih lanjut Imaninar, menyampaikan cukai merupakan penyumbang terbesar ketiga terhadap penerimaan pajak negara. Kontribusi terbesar penerimaan cukai berasal dari cukai hasil tembakau (CHT) dengan rata-rata kontribusi sebesar 11% terhadap total penerimaan nasional. Bahkan, pada tahun 2020 (ketika terjadi pandemi) meskipun laju pertumbuhan industri pengolahan tembakau mengalami keterpurukan, namun kontribusi CHT terhadap total penerimaan nasional mencapai 13%.
“Kenaikan kontribusi cukai tersebut tak lain akibat menurunnya penerimaan negara yang berasal dari pajak. Hal ini menunjukkan bahwa cukai--yang didominasi oleh CHT--menjadi penyelamat ekonomi nasional di masa pandemi,” ujar Imaninar.
Pemerintah seharusnya tidak merevisi PP No. 109/2012 dan perlu mensupport IHT, industri yang menghasilkan produk kretek yang memiliki nilai kebudayaan dan juga merupakan salah satu sektor yang memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian nasional.
“Apa pun yang menjadi latar belakang sebuah kebijakan, hendaknya pertimbangan terhadap kepentingan kesejahteraan bangsa serta keberlangsungan kondisi ekonomi nasional haruslah menjadi pertimbangan yang paling utama di atas kepentingan lainnya,” papar Imaninar
Pendapat senada disampaikan Ketua FSP RTMM – SPSI Sudarto. Menurutnya, rencana merevisi PP No. 109/2012 hanya akan menambah beban pekerja, bukan hanya di sektor IHT tapi juga periklanan dan penyiaran. Menurutnya PP tersebut sudah dibuat pemerintahan sebelumnya lewat kajian yang matang dan dapat diterima semua pihak. Baik kalangan kesehatan, pekerja maupun pelaku IHT.
“Rencana untuk merevisi PP No. 109 Tahun 2012 merupakan langkah ironis,” tegas Sudarto.
Baca juga:Deddy Corbuzier Gelontorkan Rp500 Juta Agar Ivan Gunawan Turunkan Berat Badan
Menurut Sudarto, Ketentuan-ketentuan dalam PP No. 109 Tahun 2012 sudah amat membatasi gerak IHT. Namun demikian, karena sudah melalui proses yang cukup panjang dan disepakati bersama, pihak IHT menerima.
“Banyak ketentuan dalam PP No. 109 Tahun 2012 yang belum dilaksanakan dengan baik. Misalnya edukasi tentang dampak negatif merokok bagi perokok pemula. Jadi ketentuan-ketentuan yang ada dijalankan dulu, bukan dengan cara mengubah ketentuan yang ada,” tegas Sudarto.
Menurut Sudarto, pemerintah sangat diharapkan membuat regulasi terkait IHT dengan memperhatikan eksistensi produk khas Indonesia, kemampaun industri, daya beli masyarakat dan kelangsungan pekerjaan bagi anak-anak bangsa.
“Kami yakin dengan cara ini IHT akan semakin memberi kontribusi bagi negara dan lebih menjamin kelangsungan pekerjaan bagi penghidupan semua pemangku kepentingan dalam industri ini dari hulu hingga hilir,” tandas Sudarto.
“Pemerintah sebaiknya fokus melindungi kehidupan ekonomi masyarakat kecil,” papar Dosen dan Peneliti FEB UB Imaninar, dalam keterangan tertulis yang diterima, Senin (19/7/2021).
Lebih lanjut Imaninar menjelaskan, tekanan ekonomi yang muncul akibat pandemi, diderita pula oleh sektor industri hasil tembakau (IHT). IHT mengalami pertumbuhan negatif pada tahun 2020. Industri pengolahan tembakau tercatat minus 5,78% sepanjang tahun 2020. Penurunan terbesar terjadi pada kuartal II-2020 sebesar minus 10,84%, ketika itu diberlakukan PSBB.
Baca juga:China Ancam Membom Nuklir Jepang Tanpa Henti Jika Bela Taiwan
“Berbagai kebijakan berkaitan dengan IHT alangkah lebih bijak jika ditunda atau dipertimbangkan kembali demi keberlangsungan IHT. Oleh sebab itu, rencana pemerintah merevisi PP No.109/2012 hendaknya perlu dikaji dan dipertimbangkan kembali demi keberlangsungan IHT. Mengingat IHT adalah salah satu industri yang memiliki kontribusi besar bagi perekonomian nasional,” papar Imaninar.
Lebih lanjut Imaninar, menyampaikan cukai merupakan penyumbang terbesar ketiga terhadap penerimaan pajak negara. Kontribusi terbesar penerimaan cukai berasal dari cukai hasil tembakau (CHT) dengan rata-rata kontribusi sebesar 11% terhadap total penerimaan nasional. Bahkan, pada tahun 2020 (ketika terjadi pandemi) meskipun laju pertumbuhan industri pengolahan tembakau mengalami keterpurukan, namun kontribusi CHT terhadap total penerimaan nasional mencapai 13%.
“Kenaikan kontribusi cukai tersebut tak lain akibat menurunnya penerimaan negara yang berasal dari pajak. Hal ini menunjukkan bahwa cukai--yang didominasi oleh CHT--menjadi penyelamat ekonomi nasional di masa pandemi,” ujar Imaninar.
Pemerintah seharusnya tidak merevisi PP No. 109/2012 dan perlu mensupport IHT, industri yang menghasilkan produk kretek yang memiliki nilai kebudayaan dan juga merupakan salah satu sektor yang memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian nasional.
“Apa pun yang menjadi latar belakang sebuah kebijakan, hendaknya pertimbangan terhadap kepentingan kesejahteraan bangsa serta keberlangsungan kondisi ekonomi nasional haruslah menjadi pertimbangan yang paling utama di atas kepentingan lainnya,” papar Imaninar
Pendapat senada disampaikan Ketua FSP RTMM – SPSI Sudarto. Menurutnya, rencana merevisi PP No. 109/2012 hanya akan menambah beban pekerja, bukan hanya di sektor IHT tapi juga periklanan dan penyiaran. Menurutnya PP tersebut sudah dibuat pemerintahan sebelumnya lewat kajian yang matang dan dapat diterima semua pihak. Baik kalangan kesehatan, pekerja maupun pelaku IHT.
“Rencana untuk merevisi PP No. 109 Tahun 2012 merupakan langkah ironis,” tegas Sudarto.
Baca juga:Deddy Corbuzier Gelontorkan Rp500 Juta Agar Ivan Gunawan Turunkan Berat Badan
Menurut Sudarto, Ketentuan-ketentuan dalam PP No. 109 Tahun 2012 sudah amat membatasi gerak IHT. Namun demikian, karena sudah melalui proses yang cukup panjang dan disepakati bersama, pihak IHT menerima.
“Banyak ketentuan dalam PP No. 109 Tahun 2012 yang belum dilaksanakan dengan baik. Misalnya edukasi tentang dampak negatif merokok bagi perokok pemula. Jadi ketentuan-ketentuan yang ada dijalankan dulu, bukan dengan cara mengubah ketentuan yang ada,” tegas Sudarto.
Menurut Sudarto, pemerintah sangat diharapkan membuat regulasi terkait IHT dengan memperhatikan eksistensi produk khas Indonesia, kemampaun industri, daya beli masyarakat dan kelangsungan pekerjaan bagi anak-anak bangsa.
“Kami yakin dengan cara ini IHT akan semakin memberi kontribusi bagi negara dan lebih menjamin kelangsungan pekerjaan bagi penghidupan semua pemangku kepentingan dalam industri ini dari hulu hingga hilir,” tandas Sudarto.
(uka)