Ingin Bersaing? Literasi Digital UMKM Harus Ditingkatkan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Literasi digital saat ini menjadi salah satu konsep populer yang ramai diperbincangkan. Banyak pelaku usaha di Indonesia masih belum melek teknologi, khususnya pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) . Dari 64 juta UMKM, baru sekitar 18% yang masuk platform digital.
Pandemi yang belum berakhir membuat banyak sektor harus berjuang keras agar bisa bertahan. Tak terkecuali para pelaku usaha UMKM. Salah satu upaya untuk bertahan itu dengan memaksimalkan platform digital agar berdaya saing. Sayangnya, pengetahuan teknologi yang masih rendah dan tenaga kerja yang kurang terampil masih menjadi kendala digitalisasi pelaku UMKM. Padahal, pengguna internet di Indonesia setiap tahun terus tumbuh. Dengan jumlah pengguna diperkirakan sudah menembus lebih dari 75% populasi.
Deputi Bidang Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Kementerian Koperasi dan UKM, Hanung Harimba Rachman, mengatakan, saat ini jumlah UMKM yang sudah merambah ke lingkup digital baru mencapai 18-19% atau sekitar 12 juta UMKM. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun lalu yang berkisar pada angka 13% atau sekitar 8 juta UMKM.
Salah satu tantangan yang harus dihadapi yaitu tidak semua UMKM teredukasi memanfaatkan platform digital. Menurut Hanung, literasi itu bukan hanya bisa mengoperasikan, tapi bagaimana memanfaatkan dengan cerdas sesuai kepentingan. “Literasi (digital) kita masih belum tinggi, belum memanfaatkan platform digital untuk kepentingan produktif. Misalnya WhatsApp, Facebook, dan medsos (media sosial) lain untuk berdagang. Literasi itu bukan hanya bisa mengoperasikan, tapi bagaimana memanfaatkan dengan cerdas sesuai kepentingan,” jelas Hanung kepada KORAN SINDO kemarin.
Pandemi memang berdampak besar terhadap lesunya perekonomian, namun justru terjadi peningkatan jumlah transaksi secara daring sebesar 26% atau 3,1 juta transaksi per hari serta kenaikan 35% pengiriman barang. Peningkatan transaksi itu mayoritas disumbang dari penjualan ritel (pakaian) dan makanan. Selain itu, sektor jasa seperti tempat wisata atau hotel untuk staycation. Kondisi itu menjadi peluang besar bagi UMKM untuk bisa memenuhi pasar daring yang masih terbuka lebar.
Hanung menilai, digitalisasi bisa menjadi salah satu cara agar UMKM mampu bertahan dan berpotensi tetap tumbuh di tengah pandemi. Untuk itu, para pelaku usaha juga harus memiliki terobosan dan inovasi ketika memanfaatkan ruang atau platform digital tersebut.
Kendala lain yang harus ditangani ialah kapasitas produksi UMKM yang relatif rendah. Kondisi tersebut menjadikan daya saing UMKM masih lemah lantaran tidak bisa memenuhi order dalam jumlah besar. “Kalau kita lihat, struktur UMKM paling banyak itu mikro. Kapasitas produksinya enggak besar. Jadi, kalau go digital atau e-commerce, tiba-tiba permintaannya banyak, mereka kelimpungan karena kapasitasnya cuma warung kecil. Belum lagi, yang kerja juga sedikit. Itu-itu saja,” ujarnya.
Masalah lainnya mencakup aspek kualitas dan konsistensi produk yang yang dihasilkan UMKM. Tidak jarang bila permintaan meningkat, kualitas produk berikutnya bisa turun. Artinya, kualitas harus dikelola dengan baik. Hanung menambahkan, Kemenkop-UKM akan terus berupaya memberikan pendampingan, pelatihan bagi pelaku UMKM agar mereka merambah ke ranah digital dan mampu memanfaatkan platform untuk mengembangkan usahanya. Kementeriannya juga menjalin kerja sama dengan e-commerce, termasuk melibatkan pelaku UMKM yang sudah sukses di pasar digital agar ikut berkontribusi memberikan edukasi dan pendampingan. “Mereka tetap perlu ada coaching atau pendampingan. Kita punya program itu dan bekerja sama dengan teman-teman e-commerce, platform digital. Termasuk membantu dalam perizinan produk-produk yang perlu mendapatkan izin,” paparnya.
Langkah ini sejalan dengan program digitalisasi yang dicanangkan pemerintah dengan target 30 juta pelaku UMKM masuk dalam ekosistem digital pada 2024. Meskipun tidak mudah, Hanung menegaskan program harus tetap dilaksanakan demi perbaikan struktur ekonomi nasional yang didominasi oleh sektor usaha tersebut.
Menurut Hanung, beragam kemudahan bisa diperoleh para pelaku UMKM yang go digital. Misalnya, pendanaan atau pinjaman. Beberapa perusahaan platform digital dikabarkan menyediakan akses pinjaman bagi pelaku usaha yang bergabung di aplikasi buatannya. Di sisi lain, tidak semua platform mengenakan wajib bayar bagi pelaku usaha yang memanfaatkan aplikasinya.
Sementara itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memiliki target bisa melatih dan membuat 26.000 pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) aktif berjualan di berbagai platform digital pada tahun ini. hambatannya, masih banyak yang gagap teknologi (gaptek).
Pelaksana Tugas Direktur Ekonomi Digital Kementerian Kominfo I Nyoman Adhiarna mengatakan, direktoratnya akan memberikan aplikasi gratis kepada pelaku UMKM. Kominfo bekerja sama dengan Jubelio yang menjadi aggregator dengan banyak marketplace. Nantinya, pelaku UMKM tidak lagi memantau penjualan produk di setiap akun marketplace. “Yang kami berikan adalah penggunaan aplikasi gratis karena kami yang bayarin. Kami berikan toolkit berupa pulsa untuk pelatihan lewat Zoom. Itu sekitar 44 Gb per bulan. Kemudian kami memberikan aplikasi manajemen learning system. Isinya berbagai macam paket-paket pelatihan UMKM,” ujarnya saat dihubungi KORAN SINDO.
Kemenkominfo mempunyai alasan mengapa bekerja sama dengan Jubelio. Aplikasi itu sudah populer digunakan marketplace. “Kalau bikin sendiri enggak bagus dan biasanya mahal,” ucapnya.
Nyoman menerangkan, kementeriannya menargetkan pelatihan kepada UMKM yang menjadi maker (produsen), bukan reseller (pedagang kedua). “Banyak reseller UMKM yang ingin ikut pelatihan kami. Namun, kami tolak karena kami fokus pada maker. Kalau UMKM pedagang biarlah itu di Kementerian Perdagangan dan Kementerian Koperasi (dan UMKM). Maker itu ada makanan (food & beverage), termasuk pedagang kaki lima. Juga kriya atau kerajinan, dan fashion atau busana,” tuturnya.
Kominfo tidak hanya menghelat pelatihan secara daring, tapi mendatangi satu per satu pelaku UMKM. Kominfo menyiapkan 90 fasilitator di 10 destinasi wisata prioritas. Misalnya di Labuan Bajo, Kominfo menempatkan sembilan orang. Mereka ditargetkan bisa melatih hingga 2.700 orang. Data sementara, ada 11.000 pelaku UMKM yang telah dilatih dan aktif berjualan di marketplace.
Pelatihan biasanya berupa cara bagaimana mengunduh dan mengoperasikan aplikasi. Terlihat sederhana bagi orang-orang yang sudah akrab dengan gawai dan teknologi informasi (TI). Namun, situasi di lapangan tak semudah yang dibayangkan. Nyoman Adhiarna pernah dikeluhkan pelaku UMKM mengenai kesulitan mereka itu.
Mereka yang berproduksi pun bilang, cukup satu orang yang diajari aplikasi dan cara berjualan secara daring, sisanya cukup fokus pada produksi. Nyoman langsung menolak. Baginya, semuanya harus bisa mengoperasikan gawai, melek teknologi informasi (TI), dan berjualan secara daring dengan fasih. Hambatan lainnya, banyak pelaku UMKM yang belum memiliki ponsel pintar. Ini menyulitkan Kementerian Kominfo dalam memberikan pelatihan secara daring dan mengajak mereka bermigrasi ke pasar digital.
Tahun depan Kemenkominfo tidak lagi fokus pada pelatihan penjualan. Kementerian ini akan fokus pada adopsi teknologi digital, terutama bagi UMKM. Nyoman menjelaskan, mereka akan diajari penggunaan QRIS sehingga transaksi bisa via gawai. Barang terjual dan uang yang masuk langsung tercatat pada pembukuan. Pelaku UMKM pun akan diberikan pelatihan bagaimana mengoperasikan aplikasi laporan keuangan dan manajemen ketersediaan barang.
Lewat marketplace para pelaku UMKM di berbagai daerah bisa menawarkan produknya ke seluruh dunia. Marketplace ini membuat cara berdagang menjadi mudah dengan berbagai fiturnya. Harus diakui, masih banyak yang menggunakan media sosial seperti Twitter, Facebook, dan Instagram sebagai tempat mereka berjualan. Nyoman menilai itu sebenarnya tidak efektif.
Apkasi Dorong UMKM Melek Digital
Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) mencatat, jumlah UMKM yang telah terhubung (on boarding) ke dalam ekosistem digital baru 8 juta. "Salah satu daerah yang memiliki potensi bagus dalam pemanfaatan digitalisasi yaitu DKI Jakarta yang 41,6% UMKM di sini sudah menggunakan media sosial dan pemasaran digital dalam operasional usaha," tutur Sekjen Apkasi Adnan Purichta Ichsan.
Selain DKI Jakarta, banyak pelaku UMKM di Jawa Barat yang mulai memanfaatkan peluang bisnis di pasar digital. Aktivitas pelaku UMKM Jawa Barat di marketplace pun semakin masif. "Di salah satu marketplace, ada kenaikan sekitar 31% UMKM‎ yang on boarding. Lalu, aktivitas UMKM Jawa Barat juga meningkat, ini terlihat dari pelaku UMKM di daerah tersebut yang aktif di marketplace mencapai 57%," tambahnya.
Salah satu ‎faktor penyebab meningkatnya aktivitas UMKM Jawa Barat di pasar digital adalah adanya Gerakan Nasional (Gernas) ‎Bangga Buatan Indonesia. Selain mempromosikan produk UMKM, dia menganggap Gernas BBI mampu meningkatkan kepercayaan dan antusiasme masyarakat untuk membeli produk UMKM dalam negeri.
Gernas BBI di Jawa Barat membuat nilai transaksi dari penjualan langsung mencapai Rp2,7 miliar. Angka tersebut berpotensi meningkat karena belum semua kabupaten dan kota melaporkan. Kemudian, Dinas Koperasi dan Usaha Kecil (KUK) Jawa Barat terus menginventarisasi nilai transaksi dari penjualan tidak langsung atau online. "Hampir ada 100 event dalam Gernas BBI, tapi baru beberapa kabupaten dan kota yang melapor ke kami, transaksinya Rp2,7 miliar. Itu penjualan langsung," tuturnya.
Meskipun di beberapa daerah pemanfaatan literasi digital sudah banyak dikembangkan oleh UMKM, di daerah tertentu yang memiliki potensi UMKM tinggi pun belum sepenuhnya "melek" digitalisasi. Salah satunya di DI Yogyakarta, daerah dengan 521.000 UMKM dan didominasi oleh sektor nonpertanian (98,7%). Dari jumlah itu perinciannya Sleman 104.395 UMKM, Bantul 138.332, Gunungkidul 111.655, dan Kulonprogo 64.054. "Para pelaku UMKM ini banyak menghadapi persoalan. Tidak hanya infrastruktur internet, tetapi gagap teknologi, kurang inovasi, modal terbatas, hingga tidak memiliki badan hukum. Bahkan, ada sekitar 87,22% UMKM di DI Yogyakarta ini tidak menjalin kemitraan, lalu 97,67% tidak berbadan hukum," ujarnya.
Sebagian besar UMKM di daerah tersebut tidak menggunakan teknologi. Padahal, di era saat ini teknologi digital sangat dibutuhkan oleh pelaku UMKM agar memiliki daya saing. "Mereka lebih mengedepankan penjualannya secara manual, terbukti ada 90,96% UMKM di DI Yogyakarta tidak menggunakan komputer dalam usahanya. UMKM yang menggunakan komputer hanya 9%," ungkapnya.
Di sisi lain, UMKM yang memanfaatkan teknologi digital dalam pemasarannya pun jarang yang secara khusus menggunakan website. Mereka lebih banyak menggunakan marketplace. "Sehingga kadang dibajak oleh pembeli asing, lalu diborong untuk dijual lagi," lanjutnya.
Di daerah-daerah lain di luar Jawa pun kondisinya tidak kurang memprihatinkan. Di Kalimantan Tengah (Kalteng), misalnya, hanya 40% yang memahami dunia digital. Alasan utamanya jelas, daerah ini masih terbentur berbagai masalah dan kendala di lapangan, salah satunya infrastruktur jaringan internet yang belum merata. Masih banyak wilayah Kal‎teng yang terkategorikan blank spot dan sama sekali belum terjamah internet. Belum lagi keterbatasan modal dan dana dari pelaku usaha untuk merambah ke dunia digital. "Faktor tambahan penguasaan dan keahlian mengoperasikan peralatan digital dan internet yang masih rendah ikut menjadi kendala digitalisasi UMKM ini," papar Adnan.
Sejauh ini Apkasi dan pemerintah sudah mengupayakan pemerataan jaringan internet. Sebab, hal ini merupakan kebutuhan mendasar bagi digitalisasi UMKM. "Kami pun melihat percepatan pembangunan, lalu bagaimana edukasinya, ini merupakan peran semua sektor. Baik pemerintah, industri, maupun komunitas seperti organisasi sosial," ujarnya.
Pakar pemasaran Hermawan Kartajaya menilai UMKM yang ingin go international harus melalui beberapa langkah. Pertama dari tradisional menjadi modern, khususnya dari sisi pembukuan harus rapi. Dia mengatakan, cara menyajikan dalam bentuk kemasan (packaging) juga perlu diperbaiki sehingga bisa diterima, khususnya saat dipasarkan secara offline. ’’Untuk pelatihan perlu diajari pembukuan, cara-cara agar mendapatkan KUR (kredit usaha rakyat), membuat proposal surat izin dan sebagainya,’’ katanya.
Langkah selanjutnya untuk go digital yakni UMKM harus memiliki database. Setiap pelanggan harus dicatat dan ada datanya agar mereka dapat ditawari kembali di kemudian hari. “Diajari mengumpulkan data dan penggunaannya. Bukan sekadar dikumpulkan, tapi bagaimana dari 1.000 konsumen ini berapa persen menjadi pelanggan tetap. Apa saja yang harus dilakukan untuk itu,” urai Founder & Chairman MarkPlus ini.
Tahap selanjutnya, UMKM harus go online, masuk ke dalam ekosistem marketplace. Tahap ini memang paling berat karena bertemu predator usaha. Hermawan menyebut predator usaha ialah industri dengan skala besar, dengan kapasitas produksi yang juga besar, harga lebih murah. Mereka itu yang siap memangsa UMKM dengan produk yang sama. Tidak mengherankan jika banyak UMKM yang kewalahan ketika go online karena mereka menghadapi pesaing besar dan banyak dengan produk yang sama. “Maka, harus ada pembeda. Kalau tidak akan habis. Pelatihannya semakin serius, mencakup entrepreneurship dan marketing,” sambungnya.
Tahap puncak yakni go global, masuk marketplace dunia atau secara langsung dibawa oleh perusahaan yang membinanya. Badan usaha milik negara (BUMN) dan perusahaan swasta memang memiliki kewajiban membina UMKM. Hermawan yang menjadi salah satu pelatih UMKM binaan PT Pertamina (Persero) tahu betul bagaimana BUMN serius membangun UMKM di Indonesia. Dari segi kurikulum hingga pendampingan saat go global. Untuk dapat dibawa ke ranah global, perusahaan juga memilih UMKM mana yang mampu. “Butuh nama besar seperti BUMN Pertamina dan pihak swasta seperti Astra yang membawa produk UMKM sehingga pasar luar negeri percaya,” ungkapnya.
Pandemi yang belum berakhir membuat banyak sektor harus berjuang keras agar bisa bertahan. Tak terkecuali para pelaku usaha UMKM. Salah satu upaya untuk bertahan itu dengan memaksimalkan platform digital agar berdaya saing. Sayangnya, pengetahuan teknologi yang masih rendah dan tenaga kerja yang kurang terampil masih menjadi kendala digitalisasi pelaku UMKM. Padahal, pengguna internet di Indonesia setiap tahun terus tumbuh. Dengan jumlah pengguna diperkirakan sudah menembus lebih dari 75% populasi.
Deputi Bidang Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Kementerian Koperasi dan UKM, Hanung Harimba Rachman, mengatakan, saat ini jumlah UMKM yang sudah merambah ke lingkup digital baru mencapai 18-19% atau sekitar 12 juta UMKM. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun lalu yang berkisar pada angka 13% atau sekitar 8 juta UMKM.
Salah satu tantangan yang harus dihadapi yaitu tidak semua UMKM teredukasi memanfaatkan platform digital. Menurut Hanung, literasi itu bukan hanya bisa mengoperasikan, tapi bagaimana memanfaatkan dengan cerdas sesuai kepentingan. “Literasi (digital) kita masih belum tinggi, belum memanfaatkan platform digital untuk kepentingan produktif. Misalnya WhatsApp, Facebook, dan medsos (media sosial) lain untuk berdagang. Literasi itu bukan hanya bisa mengoperasikan, tapi bagaimana memanfaatkan dengan cerdas sesuai kepentingan,” jelas Hanung kepada KORAN SINDO kemarin.
Pandemi memang berdampak besar terhadap lesunya perekonomian, namun justru terjadi peningkatan jumlah transaksi secara daring sebesar 26% atau 3,1 juta transaksi per hari serta kenaikan 35% pengiriman barang. Peningkatan transaksi itu mayoritas disumbang dari penjualan ritel (pakaian) dan makanan. Selain itu, sektor jasa seperti tempat wisata atau hotel untuk staycation. Kondisi itu menjadi peluang besar bagi UMKM untuk bisa memenuhi pasar daring yang masih terbuka lebar.
Hanung menilai, digitalisasi bisa menjadi salah satu cara agar UMKM mampu bertahan dan berpotensi tetap tumbuh di tengah pandemi. Untuk itu, para pelaku usaha juga harus memiliki terobosan dan inovasi ketika memanfaatkan ruang atau platform digital tersebut.
Kendala lain yang harus ditangani ialah kapasitas produksi UMKM yang relatif rendah. Kondisi tersebut menjadikan daya saing UMKM masih lemah lantaran tidak bisa memenuhi order dalam jumlah besar. “Kalau kita lihat, struktur UMKM paling banyak itu mikro. Kapasitas produksinya enggak besar. Jadi, kalau go digital atau e-commerce, tiba-tiba permintaannya banyak, mereka kelimpungan karena kapasitasnya cuma warung kecil. Belum lagi, yang kerja juga sedikit. Itu-itu saja,” ujarnya.
Masalah lainnya mencakup aspek kualitas dan konsistensi produk yang yang dihasilkan UMKM. Tidak jarang bila permintaan meningkat, kualitas produk berikutnya bisa turun. Artinya, kualitas harus dikelola dengan baik. Hanung menambahkan, Kemenkop-UKM akan terus berupaya memberikan pendampingan, pelatihan bagi pelaku UMKM agar mereka merambah ke ranah digital dan mampu memanfaatkan platform untuk mengembangkan usahanya. Kementeriannya juga menjalin kerja sama dengan e-commerce, termasuk melibatkan pelaku UMKM yang sudah sukses di pasar digital agar ikut berkontribusi memberikan edukasi dan pendampingan. “Mereka tetap perlu ada coaching atau pendampingan. Kita punya program itu dan bekerja sama dengan teman-teman e-commerce, platform digital. Termasuk membantu dalam perizinan produk-produk yang perlu mendapatkan izin,” paparnya.
Langkah ini sejalan dengan program digitalisasi yang dicanangkan pemerintah dengan target 30 juta pelaku UMKM masuk dalam ekosistem digital pada 2024. Meskipun tidak mudah, Hanung menegaskan program harus tetap dilaksanakan demi perbaikan struktur ekonomi nasional yang didominasi oleh sektor usaha tersebut.
Menurut Hanung, beragam kemudahan bisa diperoleh para pelaku UMKM yang go digital. Misalnya, pendanaan atau pinjaman. Beberapa perusahaan platform digital dikabarkan menyediakan akses pinjaman bagi pelaku usaha yang bergabung di aplikasi buatannya. Di sisi lain, tidak semua platform mengenakan wajib bayar bagi pelaku usaha yang memanfaatkan aplikasinya.
Sementara itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memiliki target bisa melatih dan membuat 26.000 pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) aktif berjualan di berbagai platform digital pada tahun ini. hambatannya, masih banyak yang gagap teknologi (gaptek).
Pelaksana Tugas Direktur Ekonomi Digital Kementerian Kominfo I Nyoman Adhiarna mengatakan, direktoratnya akan memberikan aplikasi gratis kepada pelaku UMKM. Kominfo bekerja sama dengan Jubelio yang menjadi aggregator dengan banyak marketplace. Nantinya, pelaku UMKM tidak lagi memantau penjualan produk di setiap akun marketplace. “Yang kami berikan adalah penggunaan aplikasi gratis karena kami yang bayarin. Kami berikan toolkit berupa pulsa untuk pelatihan lewat Zoom. Itu sekitar 44 Gb per bulan. Kemudian kami memberikan aplikasi manajemen learning system. Isinya berbagai macam paket-paket pelatihan UMKM,” ujarnya saat dihubungi KORAN SINDO.
Kemenkominfo mempunyai alasan mengapa bekerja sama dengan Jubelio. Aplikasi itu sudah populer digunakan marketplace. “Kalau bikin sendiri enggak bagus dan biasanya mahal,” ucapnya.
Nyoman menerangkan, kementeriannya menargetkan pelatihan kepada UMKM yang menjadi maker (produsen), bukan reseller (pedagang kedua). “Banyak reseller UMKM yang ingin ikut pelatihan kami. Namun, kami tolak karena kami fokus pada maker. Kalau UMKM pedagang biarlah itu di Kementerian Perdagangan dan Kementerian Koperasi (dan UMKM). Maker itu ada makanan (food & beverage), termasuk pedagang kaki lima. Juga kriya atau kerajinan, dan fashion atau busana,” tuturnya.
Kominfo tidak hanya menghelat pelatihan secara daring, tapi mendatangi satu per satu pelaku UMKM. Kominfo menyiapkan 90 fasilitator di 10 destinasi wisata prioritas. Misalnya di Labuan Bajo, Kominfo menempatkan sembilan orang. Mereka ditargetkan bisa melatih hingga 2.700 orang. Data sementara, ada 11.000 pelaku UMKM yang telah dilatih dan aktif berjualan di marketplace.
Pelatihan biasanya berupa cara bagaimana mengunduh dan mengoperasikan aplikasi. Terlihat sederhana bagi orang-orang yang sudah akrab dengan gawai dan teknologi informasi (TI). Namun, situasi di lapangan tak semudah yang dibayangkan. Nyoman Adhiarna pernah dikeluhkan pelaku UMKM mengenai kesulitan mereka itu.
Mereka yang berproduksi pun bilang, cukup satu orang yang diajari aplikasi dan cara berjualan secara daring, sisanya cukup fokus pada produksi. Nyoman langsung menolak. Baginya, semuanya harus bisa mengoperasikan gawai, melek teknologi informasi (TI), dan berjualan secara daring dengan fasih. Hambatan lainnya, banyak pelaku UMKM yang belum memiliki ponsel pintar. Ini menyulitkan Kementerian Kominfo dalam memberikan pelatihan secara daring dan mengajak mereka bermigrasi ke pasar digital.
Tahun depan Kemenkominfo tidak lagi fokus pada pelatihan penjualan. Kementerian ini akan fokus pada adopsi teknologi digital, terutama bagi UMKM. Nyoman menjelaskan, mereka akan diajari penggunaan QRIS sehingga transaksi bisa via gawai. Barang terjual dan uang yang masuk langsung tercatat pada pembukuan. Pelaku UMKM pun akan diberikan pelatihan bagaimana mengoperasikan aplikasi laporan keuangan dan manajemen ketersediaan barang.
Lewat marketplace para pelaku UMKM di berbagai daerah bisa menawarkan produknya ke seluruh dunia. Marketplace ini membuat cara berdagang menjadi mudah dengan berbagai fiturnya. Harus diakui, masih banyak yang menggunakan media sosial seperti Twitter, Facebook, dan Instagram sebagai tempat mereka berjualan. Nyoman menilai itu sebenarnya tidak efektif.
Apkasi Dorong UMKM Melek Digital
Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) mencatat, jumlah UMKM yang telah terhubung (on boarding) ke dalam ekosistem digital baru 8 juta. "Salah satu daerah yang memiliki potensi bagus dalam pemanfaatan digitalisasi yaitu DKI Jakarta yang 41,6% UMKM di sini sudah menggunakan media sosial dan pemasaran digital dalam operasional usaha," tutur Sekjen Apkasi Adnan Purichta Ichsan.
Selain DKI Jakarta, banyak pelaku UMKM di Jawa Barat yang mulai memanfaatkan peluang bisnis di pasar digital. Aktivitas pelaku UMKM Jawa Barat di marketplace pun semakin masif. "Di salah satu marketplace, ada kenaikan sekitar 31% UMKM‎ yang on boarding. Lalu, aktivitas UMKM Jawa Barat juga meningkat, ini terlihat dari pelaku UMKM di daerah tersebut yang aktif di marketplace mencapai 57%," tambahnya.
Salah satu ‎faktor penyebab meningkatnya aktivitas UMKM Jawa Barat di pasar digital adalah adanya Gerakan Nasional (Gernas) ‎Bangga Buatan Indonesia. Selain mempromosikan produk UMKM, dia menganggap Gernas BBI mampu meningkatkan kepercayaan dan antusiasme masyarakat untuk membeli produk UMKM dalam negeri.
Gernas BBI di Jawa Barat membuat nilai transaksi dari penjualan langsung mencapai Rp2,7 miliar. Angka tersebut berpotensi meningkat karena belum semua kabupaten dan kota melaporkan. Kemudian, Dinas Koperasi dan Usaha Kecil (KUK) Jawa Barat terus menginventarisasi nilai transaksi dari penjualan tidak langsung atau online. "Hampir ada 100 event dalam Gernas BBI, tapi baru beberapa kabupaten dan kota yang melapor ke kami, transaksinya Rp2,7 miliar. Itu penjualan langsung," tuturnya.
Meskipun di beberapa daerah pemanfaatan literasi digital sudah banyak dikembangkan oleh UMKM, di daerah tertentu yang memiliki potensi UMKM tinggi pun belum sepenuhnya "melek" digitalisasi. Salah satunya di DI Yogyakarta, daerah dengan 521.000 UMKM dan didominasi oleh sektor nonpertanian (98,7%). Dari jumlah itu perinciannya Sleman 104.395 UMKM, Bantul 138.332, Gunungkidul 111.655, dan Kulonprogo 64.054. "Para pelaku UMKM ini banyak menghadapi persoalan. Tidak hanya infrastruktur internet, tetapi gagap teknologi, kurang inovasi, modal terbatas, hingga tidak memiliki badan hukum. Bahkan, ada sekitar 87,22% UMKM di DI Yogyakarta ini tidak menjalin kemitraan, lalu 97,67% tidak berbadan hukum," ujarnya.
Sebagian besar UMKM di daerah tersebut tidak menggunakan teknologi. Padahal, di era saat ini teknologi digital sangat dibutuhkan oleh pelaku UMKM agar memiliki daya saing. "Mereka lebih mengedepankan penjualannya secara manual, terbukti ada 90,96% UMKM di DI Yogyakarta tidak menggunakan komputer dalam usahanya. UMKM yang menggunakan komputer hanya 9%," ungkapnya.
Di sisi lain, UMKM yang memanfaatkan teknologi digital dalam pemasarannya pun jarang yang secara khusus menggunakan website. Mereka lebih banyak menggunakan marketplace. "Sehingga kadang dibajak oleh pembeli asing, lalu diborong untuk dijual lagi," lanjutnya.
Di daerah-daerah lain di luar Jawa pun kondisinya tidak kurang memprihatinkan. Di Kalimantan Tengah (Kalteng), misalnya, hanya 40% yang memahami dunia digital. Alasan utamanya jelas, daerah ini masih terbentur berbagai masalah dan kendala di lapangan, salah satunya infrastruktur jaringan internet yang belum merata. Masih banyak wilayah Kal‎teng yang terkategorikan blank spot dan sama sekali belum terjamah internet. Belum lagi keterbatasan modal dan dana dari pelaku usaha untuk merambah ke dunia digital. "Faktor tambahan penguasaan dan keahlian mengoperasikan peralatan digital dan internet yang masih rendah ikut menjadi kendala digitalisasi UMKM ini," papar Adnan.
Sejauh ini Apkasi dan pemerintah sudah mengupayakan pemerataan jaringan internet. Sebab, hal ini merupakan kebutuhan mendasar bagi digitalisasi UMKM. "Kami pun melihat percepatan pembangunan, lalu bagaimana edukasinya, ini merupakan peran semua sektor. Baik pemerintah, industri, maupun komunitas seperti organisasi sosial," ujarnya.
Pakar pemasaran Hermawan Kartajaya menilai UMKM yang ingin go international harus melalui beberapa langkah. Pertama dari tradisional menjadi modern, khususnya dari sisi pembukuan harus rapi. Dia mengatakan, cara menyajikan dalam bentuk kemasan (packaging) juga perlu diperbaiki sehingga bisa diterima, khususnya saat dipasarkan secara offline. ’’Untuk pelatihan perlu diajari pembukuan, cara-cara agar mendapatkan KUR (kredit usaha rakyat), membuat proposal surat izin dan sebagainya,’’ katanya.
Langkah selanjutnya untuk go digital yakni UMKM harus memiliki database. Setiap pelanggan harus dicatat dan ada datanya agar mereka dapat ditawari kembali di kemudian hari. “Diajari mengumpulkan data dan penggunaannya. Bukan sekadar dikumpulkan, tapi bagaimana dari 1.000 konsumen ini berapa persen menjadi pelanggan tetap. Apa saja yang harus dilakukan untuk itu,” urai Founder & Chairman MarkPlus ini.
Tahap selanjutnya, UMKM harus go online, masuk ke dalam ekosistem marketplace. Tahap ini memang paling berat karena bertemu predator usaha. Hermawan menyebut predator usaha ialah industri dengan skala besar, dengan kapasitas produksi yang juga besar, harga lebih murah. Mereka itu yang siap memangsa UMKM dengan produk yang sama. Tidak mengherankan jika banyak UMKM yang kewalahan ketika go online karena mereka menghadapi pesaing besar dan banyak dengan produk yang sama. “Maka, harus ada pembeda. Kalau tidak akan habis. Pelatihannya semakin serius, mencakup entrepreneurship dan marketing,” sambungnya.
Tahap puncak yakni go global, masuk marketplace dunia atau secara langsung dibawa oleh perusahaan yang membinanya. Badan usaha milik negara (BUMN) dan perusahaan swasta memang memiliki kewajiban membina UMKM. Hermawan yang menjadi salah satu pelatih UMKM binaan PT Pertamina (Persero) tahu betul bagaimana BUMN serius membangun UMKM di Indonesia. Dari segi kurikulum hingga pendampingan saat go global. Untuk dapat dibawa ke ranah global, perusahaan juga memilih UMKM mana yang mampu. “Butuh nama besar seperti BUMN Pertamina dan pihak swasta seperti Astra yang membawa produk UMKM sehingga pasar luar negeri percaya,” ungkapnya.
(ynt)