Revisi Regulasi PLTS Atap Perlu Libatkan Semua Pemangku Kepentingan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah diminta berhati-hati dalam upaya memasifkan penggunaan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Atap melalui merevisi Permen ESDM No 49/2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) . Sebab, regulasi baru itu dinilai bisa mengorbankan fundamental PLN.
Diketahui, isi dari regulasi yang tengah diharmonisasi tersebut menyebutkan bahwa tarif ekspor-impor PLTS Atap akan menjadi 100% atau naik 35% dibandingkan dengan peraturan lama yang hanya 65%. Tak hanya bisa merugikan keuangan PLN, hal ini juga berpotensi membebani APBN.
Karena itu, Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies Ali Achmudi Achyak berharap rancangan revisi Permen ESDM No 49/2018 itu harus melibatkan semua pemangku kepentingan. "Kita harus mencermati klausul ini dari berbagai sisi," ujar Ali, Senin (16/8/2021).
Ali menegaskan, PLN sebagai BUMN di sektor ketenagalistrikan adalah aset besar bangsa yang harus dijaga, ditumbuhkan, dan dikembangkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. PLN mengemban dua tugas utama yakni sebagai entitas bisnis (BUMN) dan pelayan publik.
"Sebagai entitas bisnis, PLN harus sehat dan untung agar bisa berkontribusi bagi keuangan negara dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Demikian pula sebagai entitas pelayanan publik, PLN juga harus sehat sehingga bisa melayani masyarakat secara optimal," tegasnya.
Oleh karena itu, kata Ali, terkait pengembangan PLTS Atap, PLN harus dilibatkan secara aktif menjadi aktor utama dalam pengambilan kebijakan. Dalam hal ini termasuk penyusunan peraturan, kebijakan harga, pengaturan tata niaga, dan lainnya.
"Jangan sampai PLN hanya menjadi tukang ‘cuci piring’ dan ‘sapi perah’ dari kebijakan pemerintah yang tidak adil dan hanya menguntungkan pihak tertentu saja," tegas Ali.
Dalam hal pengembangan energi baru terbarukan (EBT) dengan target 23% pada bauran energi di tahun 2025, Ali mengatakan bahwa semua pihak harus mendukung target tersebut. Namun, tegas dia, yang harus dipikirkan adalah aspek keekonomian dan keadilan dalam bisnis sebagai syarat utama keberlanjutan.
Peringatan senada diungkapkan Kepala Centre of Food, Energy and Sustainable Development (CFESD) Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov.
Dia menegaskan, target capaian bauran energi memang penting untuk dicapai. Namun, yang lebih penting lagi adalah sejauh mana kesiapan dan rasionalitas dalam mencapai target tersebut. "PLN sebagai satu-satunya BUMN kelistrikan jangan sampai mengalami masalah fundamental akibat kebijakan yang tidak tepat," tandasnya.
Dia menganalogikan upaya mengembangkan EBT ibarat orang yang tengah naik mobil dan ingin ngebut, namun akhirnya berujung terjadinya kecelakaan di jalan. "Jadi, harus dipersiapkan secara matang dari sisi teknis dan lainnya," ujar Abra.
Abra menegaskan, mengembangkan investasi di sektor EBT bukan berarti mewajibkan semuanya harus diserap oleh PLN. Terlebih, imbuh dia, saat ini PLN sudah dalam kondisi kelebihan pasokan (oversupply), terutama dengan masuknya sejumlah PLTU dari program 35.000 MW.
"Di sini PLN bisa dikatakan sudah berkorban karena harus menyerap listrik dari IPP yang kebanyakan PLTU dan harus mengesampingkan PLTU -nya sendiri. Jangan sampai kebijakan yang sama terulang untuk PLTS Atap. Boleh saja menggelar karpet merah investasi untuk PLTS, tapi jangan mengorbankan PLN," tandasnya.
Diketahui, isi dari regulasi yang tengah diharmonisasi tersebut menyebutkan bahwa tarif ekspor-impor PLTS Atap akan menjadi 100% atau naik 35% dibandingkan dengan peraturan lama yang hanya 65%. Tak hanya bisa merugikan keuangan PLN, hal ini juga berpotensi membebani APBN.
Karena itu, Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies Ali Achmudi Achyak berharap rancangan revisi Permen ESDM No 49/2018 itu harus melibatkan semua pemangku kepentingan. "Kita harus mencermati klausul ini dari berbagai sisi," ujar Ali, Senin (16/8/2021).
Ali menegaskan, PLN sebagai BUMN di sektor ketenagalistrikan adalah aset besar bangsa yang harus dijaga, ditumbuhkan, dan dikembangkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. PLN mengemban dua tugas utama yakni sebagai entitas bisnis (BUMN) dan pelayan publik.
"Sebagai entitas bisnis, PLN harus sehat dan untung agar bisa berkontribusi bagi keuangan negara dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Demikian pula sebagai entitas pelayanan publik, PLN juga harus sehat sehingga bisa melayani masyarakat secara optimal," tegasnya.
Oleh karena itu, kata Ali, terkait pengembangan PLTS Atap, PLN harus dilibatkan secara aktif menjadi aktor utama dalam pengambilan kebijakan. Dalam hal ini termasuk penyusunan peraturan, kebijakan harga, pengaturan tata niaga, dan lainnya.
"Jangan sampai PLN hanya menjadi tukang ‘cuci piring’ dan ‘sapi perah’ dari kebijakan pemerintah yang tidak adil dan hanya menguntungkan pihak tertentu saja," tegas Ali.
Dalam hal pengembangan energi baru terbarukan (EBT) dengan target 23% pada bauran energi di tahun 2025, Ali mengatakan bahwa semua pihak harus mendukung target tersebut. Namun, tegas dia, yang harus dipikirkan adalah aspek keekonomian dan keadilan dalam bisnis sebagai syarat utama keberlanjutan.
Peringatan senada diungkapkan Kepala Centre of Food, Energy and Sustainable Development (CFESD) Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov.
Dia menegaskan, target capaian bauran energi memang penting untuk dicapai. Namun, yang lebih penting lagi adalah sejauh mana kesiapan dan rasionalitas dalam mencapai target tersebut. "PLN sebagai satu-satunya BUMN kelistrikan jangan sampai mengalami masalah fundamental akibat kebijakan yang tidak tepat," tandasnya.
Dia menganalogikan upaya mengembangkan EBT ibarat orang yang tengah naik mobil dan ingin ngebut, namun akhirnya berujung terjadinya kecelakaan di jalan. "Jadi, harus dipersiapkan secara matang dari sisi teknis dan lainnya," ujar Abra.
Abra menegaskan, mengembangkan investasi di sektor EBT bukan berarti mewajibkan semuanya harus diserap oleh PLN. Terlebih, imbuh dia, saat ini PLN sudah dalam kondisi kelebihan pasokan (oversupply), terutama dengan masuknya sejumlah PLTU dari program 35.000 MW.
"Di sini PLN bisa dikatakan sudah berkorban karena harus menyerap listrik dari IPP yang kebanyakan PLTU dan harus mengesampingkan PLTU -nya sendiri. Jangan sampai kebijakan yang sama terulang untuk PLTS Atap. Boleh saja menggelar karpet merah investasi untuk PLTS, tapi jangan mengorbankan PLN," tandasnya.
(fai)