Tata Cara Pelelangan PLTS Skala Besar, RI Bisa Contek UEA hingga Brazil
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indonesia dinilai perlu melakukan pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) skala besar yang mempunyai target yang jelas, proses yang transparan serta didukung kebijakan yang mendukung kelayakan finansial proyek. Tujuannya, agar target penurunan emisi dengan pemanfaatan energi surya terpenuhi serta harga jual listrik PLTS menjadi jauh lebih murah.
Adapun pembangunan PLTS skala besar menjadi pilihan banyak negara di dunia untuk memenuhi target penurunan emisi yang sesuai dengan Persetujuan Paris. Nah, pengadaan PLTS skala besar di Indonesia sejak 2013 dilakukan dengan sistem pelelangan (tender). Hanya saja, cara ini belum cukup efektif menurunkan harga beli listrik dari PLTS.
Studi terbaru Institute for Essential Services Reform (IESR) berjudul “Hitting Record-Low Solar Electricity Prices in Indonesia” menemukan bahwa salah satu penyebab kurang efektifnya sistem lelang PLTS skala besar di Indonesia adalah belum adanya perencanaan di sistem ketenagalistrikan untuk memanfaatkan energi surya skala besar dalam orde gigawatt. Hal itu mempengaruhi volume dan jumlah proyek PLTS yang hendak dilelangkan.
Selain itu, praktik pengadaan belum cukup transparan sehingga menyulitkan calon penawar untuk ikut serta dalam proses pelelangan. Lelang tenaga surya di Indonesia selama ini masih untuk kapasitas yang berukuran kecil, tersebar, jarang, dan biasanya dilakukan dalam lelang putus atau individual, sehingga memberikan sinyal buruk bagi investor atau lembaga keuangan untuk menyediakan modal yang dibutuhkan untuk proyek tersebut.
Tak hanya itu, kebijakan dan regulasi pendukung di Indonesia terhadap pembangunan PLTS skala besar, terutama dalam proses pelelangan, masih kurang menarik atau bahkan menghambat pengembangan instalasi surya.
“Pelelangan PLTS skala besar di Indonesia sangat terpaku pada ketentuan tata cara pelelangan barang dan jasa yang berlaku juga untuk PLN, yaitu tender umum, tender terbatas, penunjukan langsung dan pengadaan langsung, dengan berbagai ketentuan tambahan misalnya syarat TKDN," ujar Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.
Dia menilai metode pelelangan itu kurang cocok untuk mendapatkan harga yang sangat kompetitif untuk pengembangan PLTS skala besar. Apalagi, kata dia, proses pengadaan juga sangat ditentukan oleh proses lelang PLN, yang tidak terjadwal rutin, dan ukuran proyek yang relatif masih kecil di bawah 100 MW per unit.
"Perlu dipikirkan perubahan cara lelang untuk PLTS sehingga mendapatkan harga yang kompetitif, kualitas yang prima, dan proyek yang bankable,” katanya.
Pemerintah Indonesia dinilai perlu belajar pada keberhasilan sejumlah negara yang menerapkan tata cara pelelangan (auction) untuk PLTS skala besar, di antaranya India, Brasil, dan Uni Emirat Arab (UEA). Sebab, ketiga negara itu mampu mencatatkan beberapa harga pemecah rekor yang ditawarkan oleh penawar lelang.
Persamaan dari ketiga negara itu adalah adanya target yang terintegrasi dalam perencanaan sistem ketenagalistrikan dan pelelangan yang dilakukan secara terjadwal. Hal yang paling penting untuk mendorong perkembangan PLTS skala besar adalah perencanaan sistem ketenagalistrikan yang memprioritaskan PLTS dalam rencana penambahan kapasitas pembangkit.
"Yang kemudian disertai dengan agregasi permintaan (kapasitas yang akan ditawarkan) untuk kemudian dilelangkan secara terjadwal dan terencana dalam jangka menengah (3–5 tahun, misalnya) dan tidak sporadis. Skala keekonomian proyek juga menjadi kunci dalam penurunan harga penawaran suatu lelang PLTS IPP,” kata Penulis Laporan Hitting Record-Low Solar Electricity Prices in Indonesia, Daniel Kurniawan.
Adanya standar lelang yang transparan, diikuti dengan jadwal pelelangan yang konsisten terbukti membantu menarik jumlah penawaran. Ketiga negara juga menyediakan akses informasi proses pelelangan untuk umum. Komitmen kuat ketiga negara tersebut dalam mendukung pengembangan tenaga surya ditunjukkan dengan mendirikan lembaga baru atau meningkatkan kapasitas lembaga yang sudah ada yang bertugas melakukan seluruh proses pengadaan.
Pemerintah ketiga negara juga berperan penting dalam pengurangan risiko proyek dan biaya transaksi untuk mendorong penawaran menjadi semakin kompetitif. Ditinjau dari sisi regulasi pendukung, mereka juga memuat persyaratan seperti memasukkan kearifan lokal sehingga selain dapat mendorong pengembangan solar skala besar, juga melindungi industri lokal.
IESR merekomendasikan Pemerintah Indonesia perlu mereplikasi keberhasilan ketiga negara tersebut yaitu dengan beberapa hal. Pertama, menetapkan target yang ambisius dan jelas seperti program surya nasional yang terintegrasi dengan perencanaan sistem ketenagalistrikan untuk dilakukan pengadaan melalui pelelangan terencana (systematic auction).
Program surya nasional yang terintegrasi dan dapat dieksekusi menunjukkan komitmen pemerintah untuk pengadaan PLTS skala besar, mengirimkan sinyal positif kepada pemain internasional jangka panjang dalam energi surya, dan menciptakan pasar PLTS yang kompetitif di Indonesia.
Tentu saja, program tersebut tidak harus terbatas hanya untuk PLTS skala besar atau PLTS IPP (seperti PLTS ground-mounted dan PLTS Terapung) tetapi dapat juga diperluas ke segmen lain seperti PLTS terdistribusi (PLTS atap), sebagai wujud pelaksanaan amanat Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 untuk memasang solar rooftop pada gedung-gedung pemerintah, maupun PLTS di luar jaringan (off-grid).
Rekomendasi kedua yakni mendukung pengembangan proyek PLTS untuk mengurangi risiko proyek dan meningkatkan peluang kredit usaha dari bank (bankabilitas). Ketiga, menetapkan standar lelang dan PPA (power purchase agreement) yang memenuhi persyaratan bank (bankable), serta mengubah klausul terkait biaya interkoneksi (komponen E) dalam Peraturan Menteri ESDM 50/2017 untuk mempercepat penandatanganan PPA.
Keempat, menciptakan pasar lelang PLTS terpisah untuk proyek dengan ketentuan memasukkan kearifan lokal. Kelima, melakukan sentralisasi proses pelelangan dan mengalihkan kewenangan lelang kepada suatu juru lelang independen.
Adapun pembangunan PLTS skala besar menjadi pilihan banyak negara di dunia untuk memenuhi target penurunan emisi yang sesuai dengan Persetujuan Paris. Nah, pengadaan PLTS skala besar di Indonesia sejak 2013 dilakukan dengan sistem pelelangan (tender). Hanya saja, cara ini belum cukup efektif menurunkan harga beli listrik dari PLTS.
Studi terbaru Institute for Essential Services Reform (IESR) berjudul “Hitting Record-Low Solar Electricity Prices in Indonesia” menemukan bahwa salah satu penyebab kurang efektifnya sistem lelang PLTS skala besar di Indonesia adalah belum adanya perencanaan di sistem ketenagalistrikan untuk memanfaatkan energi surya skala besar dalam orde gigawatt. Hal itu mempengaruhi volume dan jumlah proyek PLTS yang hendak dilelangkan.
Selain itu, praktik pengadaan belum cukup transparan sehingga menyulitkan calon penawar untuk ikut serta dalam proses pelelangan. Lelang tenaga surya di Indonesia selama ini masih untuk kapasitas yang berukuran kecil, tersebar, jarang, dan biasanya dilakukan dalam lelang putus atau individual, sehingga memberikan sinyal buruk bagi investor atau lembaga keuangan untuk menyediakan modal yang dibutuhkan untuk proyek tersebut.
Tak hanya itu, kebijakan dan regulasi pendukung di Indonesia terhadap pembangunan PLTS skala besar, terutama dalam proses pelelangan, masih kurang menarik atau bahkan menghambat pengembangan instalasi surya.
“Pelelangan PLTS skala besar di Indonesia sangat terpaku pada ketentuan tata cara pelelangan barang dan jasa yang berlaku juga untuk PLN, yaitu tender umum, tender terbatas, penunjukan langsung dan pengadaan langsung, dengan berbagai ketentuan tambahan misalnya syarat TKDN," ujar Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.
Dia menilai metode pelelangan itu kurang cocok untuk mendapatkan harga yang sangat kompetitif untuk pengembangan PLTS skala besar. Apalagi, kata dia, proses pengadaan juga sangat ditentukan oleh proses lelang PLN, yang tidak terjadwal rutin, dan ukuran proyek yang relatif masih kecil di bawah 100 MW per unit.
"Perlu dipikirkan perubahan cara lelang untuk PLTS sehingga mendapatkan harga yang kompetitif, kualitas yang prima, dan proyek yang bankable,” katanya.
Pemerintah Indonesia dinilai perlu belajar pada keberhasilan sejumlah negara yang menerapkan tata cara pelelangan (auction) untuk PLTS skala besar, di antaranya India, Brasil, dan Uni Emirat Arab (UEA). Sebab, ketiga negara itu mampu mencatatkan beberapa harga pemecah rekor yang ditawarkan oleh penawar lelang.
Persamaan dari ketiga negara itu adalah adanya target yang terintegrasi dalam perencanaan sistem ketenagalistrikan dan pelelangan yang dilakukan secara terjadwal. Hal yang paling penting untuk mendorong perkembangan PLTS skala besar adalah perencanaan sistem ketenagalistrikan yang memprioritaskan PLTS dalam rencana penambahan kapasitas pembangkit.
"Yang kemudian disertai dengan agregasi permintaan (kapasitas yang akan ditawarkan) untuk kemudian dilelangkan secara terjadwal dan terencana dalam jangka menengah (3–5 tahun, misalnya) dan tidak sporadis. Skala keekonomian proyek juga menjadi kunci dalam penurunan harga penawaran suatu lelang PLTS IPP,” kata Penulis Laporan Hitting Record-Low Solar Electricity Prices in Indonesia, Daniel Kurniawan.
Adanya standar lelang yang transparan, diikuti dengan jadwal pelelangan yang konsisten terbukti membantu menarik jumlah penawaran. Ketiga negara juga menyediakan akses informasi proses pelelangan untuk umum. Komitmen kuat ketiga negara tersebut dalam mendukung pengembangan tenaga surya ditunjukkan dengan mendirikan lembaga baru atau meningkatkan kapasitas lembaga yang sudah ada yang bertugas melakukan seluruh proses pengadaan.
Pemerintah ketiga negara juga berperan penting dalam pengurangan risiko proyek dan biaya transaksi untuk mendorong penawaran menjadi semakin kompetitif. Ditinjau dari sisi regulasi pendukung, mereka juga memuat persyaratan seperti memasukkan kearifan lokal sehingga selain dapat mendorong pengembangan solar skala besar, juga melindungi industri lokal.
IESR merekomendasikan Pemerintah Indonesia perlu mereplikasi keberhasilan ketiga negara tersebut yaitu dengan beberapa hal. Pertama, menetapkan target yang ambisius dan jelas seperti program surya nasional yang terintegrasi dengan perencanaan sistem ketenagalistrikan untuk dilakukan pengadaan melalui pelelangan terencana (systematic auction).
Program surya nasional yang terintegrasi dan dapat dieksekusi menunjukkan komitmen pemerintah untuk pengadaan PLTS skala besar, mengirimkan sinyal positif kepada pemain internasional jangka panjang dalam energi surya, dan menciptakan pasar PLTS yang kompetitif di Indonesia.
Tentu saja, program tersebut tidak harus terbatas hanya untuk PLTS skala besar atau PLTS IPP (seperti PLTS ground-mounted dan PLTS Terapung) tetapi dapat juga diperluas ke segmen lain seperti PLTS terdistribusi (PLTS atap), sebagai wujud pelaksanaan amanat Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 untuk memasang solar rooftop pada gedung-gedung pemerintah, maupun PLTS di luar jaringan (off-grid).
Rekomendasi kedua yakni mendukung pengembangan proyek PLTS untuk mengurangi risiko proyek dan meningkatkan peluang kredit usaha dari bank (bankabilitas). Ketiga, menetapkan standar lelang dan PPA (power purchase agreement) yang memenuhi persyaratan bank (bankable), serta mengubah klausul terkait biaya interkoneksi (komponen E) dalam Peraturan Menteri ESDM 50/2017 untuk mempercepat penandatanganan PPA.
Keempat, menciptakan pasar lelang PLTS terpisah untuk proyek dengan ketentuan memasukkan kearifan lokal. Kelima, melakukan sentralisasi proses pelelangan dan mengalihkan kewenangan lelang kepada suatu juru lelang independen.
(akr)