Mengembangkan Bioetanol, Pak Jokowi Bisa Tiru Los Angeles Nih!

Rabu, 25 Agustus 2021 - 19:17 WIB
loading...
Mengembangkan Bioetanol,...
Dampak Positif Etanol terhadap Kualitas Udara di Los Angeles 2007 vs 2020. FOTO/dok. Webinar USGC.
A A A
JAKARTA - Tingginya emisi karbon di sektor transportasi di Indonesia akibat penggunaan bahan bakar fosil wajib menjadi perhatian serius pemerintah untuk mewujudkan janji yang dituangkan dalam Persetujuan Paris (Paris Agreement) 2015 silam. Pemerintah Indonesia telah berkomitmen mengurangi gas emisi karbon secara menyeluruh sebanyak 29 persen pada 2030 melalui berbagai program salah satunya pengembangan bioetanol untuk kendaraan.

Namun pengembangan bioetanol untuk kendaraan tak ada kabar, bahkan boleh dibilang jalan ditempat. Padahal jika ditulusuri, pengembangan bioetanol di dalam negeri telah diluncurkan sejak enam tahun lalu.

"Saat ini komponen terbarukan dalam campuran bensin di Indonesia belum ada. Ini adalah saat yang tepat untuk memperkenalkan bioetanol dalam produk bensin di Indonesia. Belum lagi Indonesia sebagai negara agraris yang memiliki potensi bahan baku ethanol cukup besar harus dikembangkan dengan baik," ujar Ketua Pusat ITB Sustainable Development Goals Tirto Prakoso di acara webinar Bioenergy Australia dan U.S. Grains Council (USGC) bertajuk Etanol: Dekarbonisasi Bahan Bakar Kendaraan dalam Bioekonomi yang diselenggarakan secara virtual, Rabu (25/8/2021).



Menurut dia Indonesia sebagai negara agraris memiliki potensi bahan baku etanol cukup besar. Namun kenyataannya soal pengembangan etanol RI kalah dengan Thailand, Filipina, Australia dan New York. Sejumlah negara tersebut telah berhasil dengan baik mengembangkan bioetanol di pasar domestik.

"Penerapan bioetanol di negara tersebut bisa menjadi pembelajaran bagi Indonesia agar dapat memperkenalkan bioetanol di pasar domestik. Bioetanol dapat membantu mengurangi emisi karbon di sektor transportasi," kata dia.

Di samping memperoleh dampak udara bersih, ke depan Indonesia bisa terlepas dari impor minyak mentah atau bahan bakar minyak (BBM). Secara jangka panjang, pengembangan bioetanol dapat menciptakan lapangan pekerjaan di sektor pertanian dan juga merangsang pertumbuhan industri pengolahan etanol domestik.

Bahan pembuat bioetanol ini sendiri dapat berasal dari produk-produk pertanian di antara lain adalah tetes tebu, singkong, jagung. Indonesia sebagai negara dengan modal sektor pertanian yang berlimpah sesungguhnya dapat menjadi salah satu negara yang dapat mengimplementasikan program bioetanol ini di pasar energi.

"Untuk itu, kita harus berani terlebih dahulu memperkenalkan bioetanol ke pasar domestik. Jangan sampai industri dalam negeri kehilangan appetite untuk menumbuhkan industri bahan bakar berbasis etanol," tandas dia.

Pada kesempatan yang sama, pembicara dari Australia, Keith Sharp menyebutkan bahwa tren sektor transportasi dewasa ini mengarah ke Electronic Vehicle (EV) yang memproduksi zero gas emisi karbon. Namun perlu disadari tren tersebut sulit terealisasi dalam 10 hingga 20 tahun mendatang karena kendala di dalam pengembangan keekonomian dari EV, harga EV masih sangat mahal.

"Isu lain adalah suplai listrik untuk EV masih didominasi dari energi fosil seperti batubara dan gas alam. Ini jelas tidak ideal dari perspektif perubahan iklim. Maka dari itu, sebelum menujuk ke tren EV dalam 10-20 tahun kedepan bioetanol bisa menjadi alternatif dekarbonisasi disektor transportasi," kata dia.

Keith menyebut Australia telah membangun enam pabrik bioetanol mampu menghasilkan kapasitas produksi masing-masing sebanyak 100 juta liter. Adapun dampak positif bagi Australia mampu mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 2,6 juta ton per tahun, menciptakan lapangan pekerjaan hingga 4.000 orang yang terdiri dari 1.000 pekerjaan di wilayah sekitar pabrik pengolahan (direct jobs) dan sekitar 3.000 indirect jobs.

Tidak hanya itu, pengembangan bioetanol juga meningkatkan modal investasi daerah hingga USD720 juta dan pendapatan tahunan sebesar USD500 juta serta meningkatkan kapasitas produksi baru etanol dalam negeri yang diproyeksikan sekitar 550 juta liter per tahunnya. Sementara itu, di Amerika Serikat, studi yang dilakukan oleh Environmental Health & Engineering, Inc pada 2020 menemukan program E10 dalam campuran bensin dapat meningkatkan nilai oktan hingga 3-4 tingkatan dan program E10 dapat mengurangi 46 persen gas emisi karbon dibandingkan dengan bensin murni dari hulu ke hilir.

Di samping itu, pengurangan emisi juga dapat mengurangi polusi di udara, hal Ini terlihat dari pengurangan emisi di Los Angeles. Penggunaan etanol di sektor transportasi dapat meningkatkan kualitas udara di kota Los Angeles tahun 2020 dibandingkan dengan tahun 2007 ketika penggunaan bahan bakar berbasis fosil masih masif. Studi dari AS tersebut juga menyebutkan bahwa penggunaan dan produksi etanol secara global dapat mengurangi gas emisi karbon hingga 110 juta ton per tahun, atau setara dengan mengurangi penggunaan kendaraan bermotor di jalan sebanyak 20 juta unit.

Selain pengalaman Amerika, konteks yang paling dekat dengan Indonesia adalah pengalaman Filipina dalam hal implementasi bioetanol dengan mandat pemerintahnya yang sudah berlaku sejak 2009. Dukungan dari pemerintah Filipina terkait mandat bioetanol di dalam negeri telah tercantum ke dalam program nasional dan diproyeksikan untuk terus dilakukan hingga 2030.

Berjalannya mandat pemerintah Filipina untuk implementasi bioetanol selama 2009 sampai 2016 telah memberikan dampak positif seperti pengurangan emisi karbon sebesar 10 metrik ton atau sekitar 55,5 persen lebih rendah dibanding emisi dari bensin murni campuran MTBE penghematan forex sebesar 48 miliar peso Filipina, penghentian penggunaan MBTE pada bensin, dan terciptanya lapangan pekerja di pedesaan di sektor pertanian hingga 1,2 juta pekerja.



Di samping itu, studi dari Universitas Filipina Los Blanos tahun 2020 mengenai skenario implementasi bioetanol pada tahun 2020-2030, menyatakan bahwa skenario terbaik adalah pada implementasi E20-E untuk 2020 dengan menggunakan impor etanol yang lebih murah untuk melengkapi stok lokal.

Adapun beberapa manfaat yang didapat dari hasil studi tersebut, antara lain pengurangan 3.4 metrik ton gas emisi pada 2020 dan pengurangan 28,2 juta ton gas emisi untuk jangka waktu 2020-2030, penghematan forex sebesar 18 miliar peso Filipina, penciptaan lapangan pekerjaan di pedesaan dan juga perbaikan neraca perdagangan.

Sebagai informasi, berdasarkan Climate Transparency Report 2020 mengenai perkembangan upaya pengurangan emisi di negara G20, sektor transportasi di Indonesia menyumbang emisi karbon sebesar 27 persen. Pemerintah juga menargetkan pencapaian bauran energi baru dan terbarukan (Energy Mix) di Indonesia sebesar 23 persen hingga 2025.

Namun saat ini komitmen tersebut baru berhasil tercapai di angka 11,5 persen di tahun 2020, di mana angka ini berada di bawah target semula, yaitu 13 persen. Pemerintah masih harus terus menggenjot pencapaian bauran energi lebih baik lagi mengingat tersisa empat tahun untuk target di 2025.
(nng)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1520 seconds (0.1#10.140)