Efek Kebijakan Ekonomi Gas & Rem, Menko Airlangga: Surplus Perdagangan RI Melonjak
loading...
A
A
A
JAKARTA - Laporan perdagangan Indonesia menunjukkan ekspor dan impor telah membukukan kenaikan dua digit pada Agustus 2021. Hal ini karena aktivitas ekonomi yang mulai pulih dari tingkat perdagangan yang rendah pada tahun 2020.
Namun, lonjakan ekspor mendorong surplus perdagangan ke rekor tertinggi sebesar 4,7 miliar dolar AS (Rp67triliun). Angka ini melonjak jauh melampaui ekspektasi pemerintah yang sebelumnya hanya mentargetkan surplus 2,31 miliar dolar AS (Rp32,9 triliun).
Ekspor Indonesia naik 64,1%, dibandingkan dengan perkiraan 36,1%. Ekspor ini didorong oleh pengiriman keluar dari sektor minyak dan gas (+77,9%), pertambangan (+162,9%) dan manufaktur (+52,6%).
Sementara itu, impor juga lebih tinggi dari yang diharapkan dengan membukukan kenaikan 55,26%, padahal perkiraan sebelumnya hanya perkiraan 45%. Angka ini juga mencerminkan membaiknya aktivitas domestik dibandingkan tahun lalu.
Surplus perdagangan yang cukup besar ini kemungkinan akan memberikan dukungan kepada nilai tukar rupiah dan mungkin cukup untuk mendorong seluruh neraca transaksi berjalan kembali menjadi surplus pada bulan Agustus.
Kinerja yang kuat untuk sektor ekspor juga didorong oleh kenaikan harga komoditas, yang membantu ekspor mencapai rekor tertinggi selama ini. Jika harga komoditas tetap tinggi dalam beberapa bulan mendatang, ekspor dapat mempertahankan ekspansi yang solid untuk membantu menjaga surplus perdagangan pada tingkat yang tinggi ini.
Menko Perekonomian RI sekaligus Ketua Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) Airlangga Hartarto menyatakan jika sejumlah perbaikan dan peningkatan perekonomian Indonesia dipicu oleh kebijakan ekonomi yang menjadi keseimbangan gas dan rem.
Selain itu, kebijakan Hilirisasi CPO dan produksi baja anti karat (stainless steel) yang merupakan keunggulan Indonesia selama ini. Bank Indonesia baru-baru ini juga mengisyaratkan bahwa suku bunga kebijakan akan ditahan setidaknya untuk saldo tahun ini dan Rupiah mungkin perlu memperoleh dukungan dari sektor ekspor untuk saat ini.
Namun, lonjakan ekspor mendorong surplus perdagangan ke rekor tertinggi sebesar 4,7 miliar dolar AS (Rp67triliun). Angka ini melonjak jauh melampaui ekspektasi pemerintah yang sebelumnya hanya mentargetkan surplus 2,31 miliar dolar AS (Rp32,9 triliun).
Ekspor Indonesia naik 64,1%, dibandingkan dengan perkiraan 36,1%. Ekspor ini didorong oleh pengiriman keluar dari sektor minyak dan gas (+77,9%), pertambangan (+162,9%) dan manufaktur (+52,6%).
Sementara itu, impor juga lebih tinggi dari yang diharapkan dengan membukukan kenaikan 55,26%, padahal perkiraan sebelumnya hanya perkiraan 45%. Angka ini juga mencerminkan membaiknya aktivitas domestik dibandingkan tahun lalu.
Surplus perdagangan yang cukup besar ini kemungkinan akan memberikan dukungan kepada nilai tukar rupiah dan mungkin cukup untuk mendorong seluruh neraca transaksi berjalan kembali menjadi surplus pada bulan Agustus.
Kinerja yang kuat untuk sektor ekspor juga didorong oleh kenaikan harga komoditas, yang membantu ekspor mencapai rekor tertinggi selama ini. Jika harga komoditas tetap tinggi dalam beberapa bulan mendatang, ekspor dapat mempertahankan ekspansi yang solid untuk membantu menjaga surplus perdagangan pada tingkat yang tinggi ini.
Menko Perekonomian RI sekaligus Ketua Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) Airlangga Hartarto menyatakan jika sejumlah perbaikan dan peningkatan perekonomian Indonesia dipicu oleh kebijakan ekonomi yang menjadi keseimbangan gas dan rem.
Selain itu, kebijakan Hilirisasi CPO dan produksi baja anti karat (stainless steel) yang merupakan keunggulan Indonesia selama ini. Bank Indonesia baru-baru ini juga mengisyaratkan bahwa suku bunga kebijakan akan ditahan setidaknya untuk saldo tahun ini dan Rupiah mungkin perlu memperoleh dukungan dari sektor ekspor untuk saat ini.
(nng)