Holding BUMN Aviasi Bakal Ciptakan Situasi Mal vs Warung
loading...
A
A
A
JAKARTA - Demi holding BUMN aviasi , PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dikabarkan akan memperbesar bisnis maskapai bertarif rendah (low cost carrier/LCC) melalui PT Citilink Indonesia . Sementara bisnis penerbangan Garuda sendiri akan diperkecil.
Pengamat penerbangan Gatot Rahardjo mengatakan, ketimbang membentuk holding, pemerintah disarankan menciptakan aturan main di bisnis penerbangan yang lebih adil untuk pemain lama ataupun baru.
“Jadi terjadi persaingan sehat dan investor juga senang buat masuk ke bisnis ini,” Kata Gatot saat dihubungi MNC Portal Indonesia, Minggu (19/9/2021).
Gatot menyebut misalnya pembenahan di slot dan rute, ada pembinaan terkait finansial dan bisnis maskapai dari pemerintah. Lalu sistem pembelian avtur diperbaiki sehingga meringankan maskapai, pajak, bea masuk sparepart, nilai tukar rupiah yang lebih baik dan lainnya.
Namun menurut Gatot, pembentukan holding akan membawa dampak positif buat Citilink. Pasalnya, pasar sudah tersedia dan didukung oleh BUMN sektor lain, seperti BUMN bandara dan BUMN pariwisata.
"Citilink akan lebih mudah mengembangkan usahanya. Dia akan menjadi semacam mal atau toko besar. Masyarakat tinggal masuk ke situ, sudah dapat layanan macam-macang yang mudah untuk penerbangan dan wisata,” paparnya.
Sayangnya, lanjut Gatot, holding berpotensi menciptakan monopoli sehingga akan dipertanyakan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan maskapai lain. Monopoli juga berpotensi menjadikan Citilink menjadi tak efisien.
“Dan kalau sudah masuk monopoli, biasanya maskapai suka lupa untuk bersaing karena sudah merasa enak. Akibatnya justru tidak baik dan biasanya lama-lama terjadi inefisiensi di kinerja, cenderung manja. Ini dulu dialami Garuda yang sejak awal berdiri sampai tahun 90-an diberi monopoli oleh pemerintah, akhirnya malah kinerjanya tidak bagus sampai sekarang,” ungkapnya.
Sementara Jika diihat dari luar Citilink, adanya holding dan monopoli tentu merugikan maskapai lain karena tidak semua maskapai punya modal besar. Istilahnya nanti itu ada mal vs warung. Tentu warungnya akan kalah bersaing.
“Selain itu, pemerintah melalui UU Cipta kerja kan sebenarnya sudah melonggarkan investasi untuk mendirikan maskapai. Nah kalau ada holding yang cenderung monopoli, tentu investor juga akan berpikir dua kali masuk ke dunia penerbangan karena saingannya berat,” pungkasnya.
Pengamat penerbangan Gatot Rahardjo mengatakan, ketimbang membentuk holding, pemerintah disarankan menciptakan aturan main di bisnis penerbangan yang lebih adil untuk pemain lama ataupun baru.
“Jadi terjadi persaingan sehat dan investor juga senang buat masuk ke bisnis ini,” Kata Gatot saat dihubungi MNC Portal Indonesia, Minggu (19/9/2021).
Gatot menyebut misalnya pembenahan di slot dan rute, ada pembinaan terkait finansial dan bisnis maskapai dari pemerintah. Lalu sistem pembelian avtur diperbaiki sehingga meringankan maskapai, pajak, bea masuk sparepart, nilai tukar rupiah yang lebih baik dan lainnya.
Namun menurut Gatot, pembentukan holding akan membawa dampak positif buat Citilink. Pasalnya, pasar sudah tersedia dan didukung oleh BUMN sektor lain, seperti BUMN bandara dan BUMN pariwisata.
"Citilink akan lebih mudah mengembangkan usahanya. Dia akan menjadi semacam mal atau toko besar. Masyarakat tinggal masuk ke situ, sudah dapat layanan macam-macang yang mudah untuk penerbangan dan wisata,” paparnya.
Sayangnya, lanjut Gatot, holding berpotensi menciptakan monopoli sehingga akan dipertanyakan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan maskapai lain. Monopoli juga berpotensi menjadikan Citilink menjadi tak efisien.
“Dan kalau sudah masuk monopoli, biasanya maskapai suka lupa untuk bersaing karena sudah merasa enak. Akibatnya justru tidak baik dan biasanya lama-lama terjadi inefisiensi di kinerja, cenderung manja. Ini dulu dialami Garuda yang sejak awal berdiri sampai tahun 90-an diberi monopoli oleh pemerintah, akhirnya malah kinerjanya tidak bagus sampai sekarang,” ungkapnya.
Sementara Jika diihat dari luar Citilink, adanya holding dan monopoli tentu merugikan maskapai lain karena tidak semua maskapai punya modal besar. Istilahnya nanti itu ada mal vs warung. Tentu warungnya akan kalah bersaing.
“Selain itu, pemerintah melalui UU Cipta kerja kan sebenarnya sudah melonggarkan investasi untuk mendirikan maskapai. Nah kalau ada holding yang cenderung monopoli, tentu investor juga akan berpikir dua kali masuk ke dunia penerbangan karena saingannya berat,” pungkasnya.
(uka)