Atasi Konflik Agraria di Destinasi Labuan Bajo, Pemerintah Adopsi Prinsip LUCIS
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) bersama Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) sepakat menerapkan prinsip Land Use Conflict Identification Strategy (LUCIS) guna meminimalisasi konflik agraria dalam pembangunan Destinasi Pariwisata Super Prioritas Labuan Bajo.
Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil dalam diskusi publik #RoadtoWakatobi yang digelar pekan lalu menyebut kawasan destinasi Labuan Bajo di kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), memiliki sederet masalah agraria, diantaranya soal sengketa tanah, administrasi pertanahan, serta mafia tanah.
Sesuai arahan presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan deretan sengketa dan konflik agraria di Labuan Bajo, maka dilakukanlah langkah urgensi guna mencegah konflik di kemudian hari dalam perencanaan pembangunan destinasi pariwisata super prioritas Labuan Bajo-Flores sesuai dengan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) yang dilakukan dengan mengadopsi prinsip-prinsip dalam LUCIS.
"Prinsip LUCIS ini diprakarsai oleh BPOLBF bersama dengan Kementerian ATR/BPN, Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Barat dengan melibatkan akademisi dan forum penataan ruang di daerah menerapkan prinsip-prinsip LUCIS dalam pengembangan pariwisata di Bajo juga sekitarnya," ujar Kepala BPOLBF Shana Fatina, dikutip Kamis (23/9/2021).
Dalam rekomendasi diskusi publik #RoadtoWakatobi disebutkan bahwa penyelesaian konflik agraria dan perbaikan iklim investasi, menerapkan pendekatan terhadap penyelesaian konflik agraria melalui minimalisasi konflik dengan melihat latar belakang sosial, budaya, sejarah, juga ekonomi.
Menurut Shana, percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta atau one map policy yang disusun memuat peta konflik agraria dan saat ini sangat membantu dalam penyelesaian konflik agraria, baik dari pemerintah sendiri, sisi investor maupun ke masyarakat.
"One map policy dapat memberikan kepastian hukum terhadap investasi di waktu yang mendatang dan meminimalisir dampak buruk dari investasi ke depannya," tuturnya.
BPOLBF juga memberikan rekomendasi penyelesaian konflik yang sistemik dan berkelanjutan melalui sarana dialog yang mempertemukan berbagai pihak lintas sektor, mulai dari pejabat terkait, pemerintah daerah, hingga CSO/NGO untuk berkoordinasi, mengumpulkan data informasi, bernegosiasi, dan mediasi untuk menemukan solusi bagi berbagai konflik agraria.
Tersebarnya masyarakat adat di seluruh penjuru Indonesia terutama di NTT menjadi penting untuk segera dilakukan sebagai pemetaan bagi masyarakat adat dan wilayah adat mengingat beragam karakteristik masyarakat adat yang masih eksis di beberapa tempat.
Beberapa tindakan proaktif dalam usaha pencegahan dan penyelesaian perlu dilakukan, tentu agar jika timbul masalah agraria di kemudian hari, konflik yang hadir bisa diminimalkan, bahkan diusahakan agar konflik bisa diselesaikan sampai ke akarnya, hingga tercipta kesempatan untuk mewujudkan keadilan sosial dan peningkatan peluang investasi.
Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi NTT Jaconias Walalayo mengungkapkan, penerapan LUCIS di Pulau Flores secara keseluruhan terkait dengan masalah agraria sudah menemukan solusi.
"Kami semua di BPN mengupayakan agar konflik agraria bisa diminimalisasi sehingga ke depannya diharapkan tidak ada konflik kepentingan dan perkembangan wisata di sekitar Bajo pun bisa ikut memajukan masyarakat setempat seperti kalangan nelayan hingga petani," tuturnya.
Sebagai informasi, Diskusi Publik #RoadtoWakatobi ke-10 diadakan sebagai rangkaian persiapan menuju GTRA Summit 2022 di Wakatobi, sebagai forum diskusi lintas sektor untuk memperoleh pembelajaran bersama dengan mengidentifikasi akar permasalahan konflik agraria dan faktor penyebab sulitnya penyelesaian konflik agraria yang berdampak kepada stabilitas iklim investasi di Indonesia. Dengan iklim investasi yang baik tentunya bisa berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil dalam diskusi publik #RoadtoWakatobi yang digelar pekan lalu menyebut kawasan destinasi Labuan Bajo di kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), memiliki sederet masalah agraria, diantaranya soal sengketa tanah, administrasi pertanahan, serta mafia tanah.
Sesuai arahan presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan deretan sengketa dan konflik agraria di Labuan Bajo, maka dilakukanlah langkah urgensi guna mencegah konflik di kemudian hari dalam perencanaan pembangunan destinasi pariwisata super prioritas Labuan Bajo-Flores sesuai dengan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) yang dilakukan dengan mengadopsi prinsip-prinsip dalam LUCIS.
"Prinsip LUCIS ini diprakarsai oleh BPOLBF bersama dengan Kementerian ATR/BPN, Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Barat dengan melibatkan akademisi dan forum penataan ruang di daerah menerapkan prinsip-prinsip LUCIS dalam pengembangan pariwisata di Bajo juga sekitarnya," ujar Kepala BPOLBF Shana Fatina, dikutip Kamis (23/9/2021).
Dalam rekomendasi diskusi publik #RoadtoWakatobi disebutkan bahwa penyelesaian konflik agraria dan perbaikan iklim investasi, menerapkan pendekatan terhadap penyelesaian konflik agraria melalui minimalisasi konflik dengan melihat latar belakang sosial, budaya, sejarah, juga ekonomi.
Menurut Shana, percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta atau one map policy yang disusun memuat peta konflik agraria dan saat ini sangat membantu dalam penyelesaian konflik agraria, baik dari pemerintah sendiri, sisi investor maupun ke masyarakat.
"One map policy dapat memberikan kepastian hukum terhadap investasi di waktu yang mendatang dan meminimalisir dampak buruk dari investasi ke depannya," tuturnya.
BPOLBF juga memberikan rekomendasi penyelesaian konflik yang sistemik dan berkelanjutan melalui sarana dialog yang mempertemukan berbagai pihak lintas sektor, mulai dari pejabat terkait, pemerintah daerah, hingga CSO/NGO untuk berkoordinasi, mengumpulkan data informasi, bernegosiasi, dan mediasi untuk menemukan solusi bagi berbagai konflik agraria.
Tersebarnya masyarakat adat di seluruh penjuru Indonesia terutama di NTT menjadi penting untuk segera dilakukan sebagai pemetaan bagi masyarakat adat dan wilayah adat mengingat beragam karakteristik masyarakat adat yang masih eksis di beberapa tempat.
Beberapa tindakan proaktif dalam usaha pencegahan dan penyelesaian perlu dilakukan, tentu agar jika timbul masalah agraria di kemudian hari, konflik yang hadir bisa diminimalkan, bahkan diusahakan agar konflik bisa diselesaikan sampai ke akarnya, hingga tercipta kesempatan untuk mewujudkan keadilan sosial dan peningkatan peluang investasi.
Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi NTT Jaconias Walalayo mengungkapkan, penerapan LUCIS di Pulau Flores secara keseluruhan terkait dengan masalah agraria sudah menemukan solusi.
"Kami semua di BPN mengupayakan agar konflik agraria bisa diminimalisasi sehingga ke depannya diharapkan tidak ada konflik kepentingan dan perkembangan wisata di sekitar Bajo pun bisa ikut memajukan masyarakat setempat seperti kalangan nelayan hingga petani," tuturnya.
Sebagai informasi, Diskusi Publik #RoadtoWakatobi ke-10 diadakan sebagai rangkaian persiapan menuju GTRA Summit 2022 di Wakatobi, sebagai forum diskusi lintas sektor untuk memperoleh pembelajaran bersama dengan mengidentifikasi akar permasalahan konflik agraria dan faktor penyebab sulitnya penyelesaian konflik agraria yang berdampak kepada stabilitas iklim investasi di Indonesia. Dengan iklim investasi yang baik tentunya bisa berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi nasional.
(ind)