Sebelum Pandemi, Ini Krisis-krisis yang Pernah Dialami Dunia dan Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pandemi Covid-19 menyebabkan dampak signifikan terhadap bidang ekonomi. Indonesia dan beberapa negara di dunia menghadapi permasalahan perekonomian di tengah ketidakpastian kapan penyebaran virus ini akan berakhir. Namun, sebelumnya dunia dan Indonesia sudah pernah mengalami krisis ekonomi . Melansir dari berbagai sumber, berikut ini adalah krisis-krisis yang pernah dialami dunia dan Indonesia.
1. Krisis Moneter 1997-1999
Pada penghujung tahun 1996, Indonesia sempat mencapai puncak ekonomi ketola seluruh indikator kemakmuran terpenuhi. Namun, kemudian pada Juli 1997 krisis melanda Thailand yang merembet ke negara tetangga, termasuk Indonesia. Negara-negara di Asia Tenggara menjadi sasaran dari spekulan internasional.
Kondisi itu dipicu oleh dua hal, yaitu terjadinya gelembung ekonomi dan pematokan mata uang yang sudah tidak sesuai dengan kondisi saat itu. Pada bulan Juli hingga Desember 1997, rupiah terus mengalami depresiasi yang besar. Pada desember 1997, nilai rupiah terhadap dolar AS merosot sebesar 109,6%.
Rupiah semakin melemah karena investor menarik dana dari Indonesia. Kondisi ini semakin diperparah dengan utang akibat banyak perusahaan yang meminjam dalam bentuk valuta asing. Kondisi tak juga membaik meskipun pemerintah sudah membuat Gebrakan Sumarlin pada 1987, yaitu dengan cara BUMN skala besar diminta untuk membeli SBI, pemerintah mengatur ulang APBN, dan menunda proyek-proyek raksasa. Pelemahan rupiah ini bisa diredam saat pemerintah merestrukturisasi bank-bank bermasalah dan mengatasi utang-utang swasta yang jatuh tempo.
Pemulihan ekonomi Indonesia ini berjalan paling sulit dan lama karena beberapa penyebab, seperti utang valas korporasi yang tinggi dan juga sistem perbankan yang lemah. Pukulan ekonomi ini diperparah lagi saat Juli-Agustus 1997 ketika Indonesia mengalami kekeringan terburuk dalam 50 terakhir akibat El Nino.
Gagal panen terjadi yang menyebabkan harga-harga pangan melonjak. Kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan juga turut berkontribusi dalam penurunan ekonomi. Bank dunia menyebutkan, pada 1998, Indonesia mengalami konstraksi sebesar 14%, tingkat kemiskinan meningkat dua kali lipat menjadi 28%, dan inflasi sebesar 80%.
Berbagai cara dilakukan agar Indonesia dapat keluar dari krisis ini seperti kesepakatan Frankfurt untuk restrukturisasi utang swasta, penghentian kegiatan usaha tertentu, pembekuan operasional, dan pengambilalihan bank-bank oleh pemerintah. Pada tahun 1999, beberapa indikator sudah mulai mengalami penulihan seperti pertumbuhan yang mencapai 2%, dan inflasi yang berubah menjadi deflasi.
2. Housing Bubble
Housing bubble atau gelembung perumahan yang terjadi pada 2006 dan 2007 memicu resesi hebat terutama di Amerika Serikat. Saat itu, pinjaman banknya mencapai 80% dari GDP. Pemicu utama housing bubble adalah tergesa-gesa dalam memberikan pinjaman kepada pembeli rumah tanpa memperhatikan kemampuan pembayaran utang tersebut.
Penyebab lainnya adalah masuknya uang ke pasar perumahan dan pemerintah yang mempromosikan kepemilikan rumah. Gelembung perumahan ini menyebabkan perumahan dan harga properti lainnya di AS melambung tinggi. Permasalahan ini berawal dari kenaikan suku bunga ke harga tertinggi yang menyebabkan turunnya pasar perumahan di tahun 2006.
Situasi itu berpengaruh pada penunggakan pembayaran dan ancaman kredit macet akibat kenaikan suku bunga. Di awal bulan Agustus 2007, harga saham global mengalami penurunan. Krisis ini kemudian juga berimbas ke Eropa karena menurunkan harga saham global. Nilai dolar Amerika saat itu juga melemah.
Warga Amerika Seikat juga sulit memperoleh pinjaman dari bank karena kredit bertambah mahal dan bank enggan memberikan pinjaman. Bank melakukan tindakan itu untuk mencegah mortgage yang semakin meluas. Kejadian ini menyebabkan melambatnya pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, dan inflasi Amerika Serikat.
Subprime mortgage ini juga berdampak kerugian signifikan untuk Eropa dan Jepang. Beberapa kebijakan diupayakan untuk mencegah krisis berkepanjangan, yaitu melalui kebijakan decoupling, penurunan suku bunga, stimulus fiskal, positioning yang tepat, dan mencari suntikan dana diluar APBN.
3. Krisis Keuangan 2012
Pada tahun 2012 lalu, Eropa mengalami krisis mata uang Euro yang terburuk. Krisis ini terjadi akibat kesalahan desain Uni Moneter Eropa (EMU) yang menjadikan euro sebagai alat tukar sejak 1 Januari 1999. Penggunaan euro merupakan kelanjutan dari upaya UE untuk menciptakan pasar bersama, yang menghilangkan hambatan perdagangan barang dan jasa lintas batas, serta mobilitas tenaga kerja dan faktor produksi lainnya.
Tidak adanya otoritas fiskal terpusat untuk mendukung penggunaan euro untuk mengelola harmonisasi pajak, menerbitkan obligasi, dan mengatur transfer antar negara untuk menangani siklus ekonomi regional adalah kelemahan mendasar pertama. Tidak adanya entitas yang mengawasi harmonisasi kebijakan ekonomi dan sosial yang dapat merusak daya saing ekonomi nasional negara-negara anggota merupakan kelemahan desain kedua.
Baca juga: Ratusan Anggota SAR Dikerahkan Cari Pendaki Sleman yang Hilang di Lereng Merapi
Defisit transaksi berjalan di neraca pembayaran yang terus tumbuh, dan keterkaitan ekonomi dengan negara-negara anggota zona euro di Eropa utara, seperti Jerman, Austria, dan Belanda, menunjukkan rendahnya daya saing kelima negara tersebut. Kelemahan desain ketiga adalah kurangnya lembaga pusat yang mengontrol dan mengawasi bank dan lembaga keuangan lainnya di semua negara anggota untuk memastikan stabilitas industri keuangan. Faktanya, EMU telah mengintegrasikan pasar keuangan di seluruh zona euro dengan menghilangkan hambatan aliran modal antar-negara.
Krisis Eropa ini berpengaruh kepada Indonesia yang dimulai dari transaksi barang dan jasa ataupun lalu lintas modal dalam neraca pembayaran. Ekspor bahan baku mulai mengalami penurunan ke Eropa. Resesi Eropa dan Amerika Serikat menyebabkan penurunan permintaan yang signifikan. Arus keluar modal juga mengalami gangguan yang menyebabkan rupiah mulai lemah. Secara umum, dampak krisis eropa ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia melemah, menurunnya permintaan impor, turunnya nilai impor, dan tingkat inflasi yang tinggi.
1. Krisis Moneter 1997-1999
Pada penghujung tahun 1996, Indonesia sempat mencapai puncak ekonomi ketola seluruh indikator kemakmuran terpenuhi. Namun, kemudian pada Juli 1997 krisis melanda Thailand yang merembet ke negara tetangga, termasuk Indonesia. Negara-negara di Asia Tenggara menjadi sasaran dari spekulan internasional.
Kondisi itu dipicu oleh dua hal, yaitu terjadinya gelembung ekonomi dan pematokan mata uang yang sudah tidak sesuai dengan kondisi saat itu. Pada bulan Juli hingga Desember 1997, rupiah terus mengalami depresiasi yang besar. Pada desember 1997, nilai rupiah terhadap dolar AS merosot sebesar 109,6%.
Rupiah semakin melemah karena investor menarik dana dari Indonesia. Kondisi ini semakin diperparah dengan utang akibat banyak perusahaan yang meminjam dalam bentuk valuta asing. Kondisi tak juga membaik meskipun pemerintah sudah membuat Gebrakan Sumarlin pada 1987, yaitu dengan cara BUMN skala besar diminta untuk membeli SBI, pemerintah mengatur ulang APBN, dan menunda proyek-proyek raksasa. Pelemahan rupiah ini bisa diredam saat pemerintah merestrukturisasi bank-bank bermasalah dan mengatasi utang-utang swasta yang jatuh tempo.
Pemulihan ekonomi Indonesia ini berjalan paling sulit dan lama karena beberapa penyebab, seperti utang valas korporasi yang tinggi dan juga sistem perbankan yang lemah. Pukulan ekonomi ini diperparah lagi saat Juli-Agustus 1997 ketika Indonesia mengalami kekeringan terburuk dalam 50 terakhir akibat El Nino.
Gagal panen terjadi yang menyebabkan harga-harga pangan melonjak. Kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan juga turut berkontribusi dalam penurunan ekonomi. Bank dunia menyebutkan, pada 1998, Indonesia mengalami konstraksi sebesar 14%, tingkat kemiskinan meningkat dua kali lipat menjadi 28%, dan inflasi sebesar 80%.
Berbagai cara dilakukan agar Indonesia dapat keluar dari krisis ini seperti kesepakatan Frankfurt untuk restrukturisasi utang swasta, penghentian kegiatan usaha tertentu, pembekuan operasional, dan pengambilalihan bank-bank oleh pemerintah. Pada tahun 1999, beberapa indikator sudah mulai mengalami penulihan seperti pertumbuhan yang mencapai 2%, dan inflasi yang berubah menjadi deflasi.
2. Housing Bubble
Housing bubble atau gelembung perumahan yang terjadi pada 2006 dan 2007 memicu resesi hebat terutama di Amerika Serikat. Saat itu, pinjaman banknya mencapai 80% dari GDP. Pemicu utama housing bubble adalah tergesa-gesa dalam memberikan pinjaman kepada pembeli rumah tanpa memperhatikan kemampuan pembayaran utang tersebut.
Penyebab lainnya adalah masuknya uang ke pasar perumahan dan pemerintah yang mempromosikan kepemilikan rumah. Gelembung perumahan ini menyebabkan perumahan dan harga properti lainnya di AS melambung tinggi. Permasalahan ini berawal dari kenaikan suku bunga ke harga tertinggi yang menyebabkan turunnya pasar perumahan di tahun 2006.
Situasi itu berpengaruh pada penunggakan pembayaran dan ancaman kredit macet akibat kenaikan suku bunga. Di awal bulan Agustus 2007, harga saham global mengalami penurunan. Krisis ini kemudian juga berimbas ke Eropa karena menurunkan harga saham global. Nilai dolar Amerika saat itu juga melemah.
Warga Amerika Seikat juga sulit memperoleh pinjaman dari bank karena kredit bertambah mahal dan bank enggan memberikan pinjaman. Bank melakukan tindakan itu untuk mencegah mortgage yang semakin meluas. Kejadian ini menyebabkan melambatnya pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, dan inflasi Amerika Serikat.
Subprime mortgage ini juga berdampak kerugian signifikan untuk Eropa dan Jepang. Beberapa kebijakan diupayakan untuk mencegah krisis berkepanjangan, yaitu melalui kebijakan decoupling, penurunan suku bunga, stimulus fiskal, positioning yang tepat, dan mencari suntikan dana diluar APBN.
3. Krisis Keuangan 2012
Pada tahun 2012 lalu, Eropa mengalami krisis mata uang Euro yang terburuk. Krisis ini terjadi akibat kesalahan desain Uni Moneter Eropa (EMU) yang menjadikan euro sebagai alat tukar sejak 1 Januari 1999. Penggunaan euro merupakan kelanjutan dari upaya UE untuk menciptakan pasar bersama, yang menghilangkan hambatan perdagangan barang dan jasa lintas batas, serta mobilitas tenaga kerja dan faktor produksi lainnya.
Tidak adanya otoritas fiskal terpusat untuk mendukung penggunaan euro untuk mengelola harmonisasi pajak, menerbitkan obligasi, dan mengatur transfer antar negara untuk menangani siklus ekonomi regional adalah kelemahan mendasar pertama. Tidak adanya entitas yang mengawasi harmonisasi kebijakan ekonomi dan sosial yang dapat merusak daya saing ekonomi nasional negara-negara anggota merupakan kelemahan desain kedua.
Baca juga: Ratusan Anggota SAR Dikerahkan Cari Pendaki Sleman yang Hilang di Lereng Merapi
Defisit transaksi berjalan di neraca pembayaran yang terus tumbuh, dan keterkaitan ekonomi dengan negara-negara anggota zona euro di Eropa utara, seperti Jerman, Austria, dan Belanda, menunjukkan rendahnya daya saing kelima negara tersebut. Kelemahan desain ketiga adalah kurangnya lembaga pusat yang mengontrol dan mengawasi bank dan lembaga keuangan lainnya di semua negara anggota untuk memastikan stabilitas industri keuangan. Faktanya, EMU telah mengintegrasikan pasar keuangan di seluruh zona euro dengan menghilangkan hambatan aliran modal antar-negara.
Krisis Eropa ini berpengaruh kepada Indonesia yang dimulai dari transaksi barang dan jasa ataupun lalu lintas modal dalam neraca pembayaran. Ekspor bahan baku mulai mengalami penurunan ke Eropa. Resesi Eropa dan Amerika Serikat menyebabkan penurunan permintaan yang signifikan. Arus keluar modal juga mengalami gangguan yang menyebabkan rupiah mulai lemah. Secara umum, dampak krisis eropa ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia melemah, menurunnya permintaan impor, turunnya nilai impor, dan tingkat inflasi yang tinggi.
(uka)