Sering Diabaikan, Burnout Jadi Persoalan di Dunia Kerja

Jum'at, 24 September 2021 - 22:36 WIB
loading...
Sering Diabaikan, Burnout Jadi Persoalan di Dunia Kerja
Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Burnout atau stres bekerja adalah suatu hal nyata yang kerap dirasakan oleh banyak karyawan . Tugas menumpuk, persoalan dengan atasan atau pekerja lain, suasana kantor yang tidak nyaman, hingga pertemuan dengan klien tanpa henti bisa menjadi pemicunya.

Dilansir dari CNBC, sebuah survey situs karir menerangkan bahwa setengah pekerja yang ditemui mengatakan merasa stres saat bekerja dan lebih dari dua pertiga mengatakan perasaan itu semakin buruk selama pandemi.

Bicara soal hal tersebut, dalam realitanya tak semua negara mengakui burnout adalah suatu penyakit. Satu-satunya negara yang mengakui adalah Swedia.

Burnout bukanlah suatu hal yang disepelekan. Terbukti, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun menambahkan burnout sebagai fenomena pekerjaan pada tahun 2019 silam.



Sehubungan dengan hal itu, Nike sebagai produsen perlengkapan olahraga asal Amerika Serikat hingga perusahaan kencan online, Bumble mengakui adanya beban kerja yang berat yang dialami para karyawannya.

Sampai akhirnya, baru-baru ini, Bumble menawarkan karyawannya waktu libur tambahan untuk mendukung kesehatan mental mereka dan mengatasi masalah kelelahan.

Jennifer Moss, penulis buku, "The Burnout Epidemic: The Rise of Chronic Stress and How We Can Fix It," baru-baru ini berbicara dengan Dewan Eksekutif Tenaga Kerja CNBC tentang strategi yang dapat diterapkan oleh pengusaha dan karyawan untuk mengurangi kelelahan.

Strategi yang dimaksud adalah kelelahan karyawan perlu diobati di tempat kerja. Perlu diketahui sebelumnya, burnout bukan dianggap sebagai penyakit kesehatan mental, melainkan merupakan masalah kesehatan mental.

Moss mengatakan, dalam lingkungan kerja perlu seorang pemimpin yang dapat "mempercayai karyawan dan menciptakan fleksibilitas" di tempat kerja. Adapun hal yang dapat dilakukan seperti menciptakan ruang kerja yang nyaman, menawarkan keamanan dan sumber daya psikologis, dan memprioritaskan kesehatan mental karyawan.

“Apabila semua itu diperhatikan oleh pimpinan, maka akan menguntungkan pekerja dan produktivitas bisnis dapat berjalan dengan baik,” katanya dikutip dari CNBC, Jumat (24/9/2021).



Lanjutnya, tugas pertama seorang pemimpin adalah memberikan izin kepada pekerja untuk memprioritaskan kesehatan mental mereka. Sebab, kunci untuk menciptakan kenyamanan di dalam organisasi, yakni memperhatikan kesehatan mental karyawannya.

Dalam penelitiannya, Moss menemukan bahwa rata-rata orang mengatakan mereka "baik-baik saja" ketika ditanya bagaimana kabar mereka, pada dasarnya jawaban mereka itu adalah jawaban bohong.

Oleh karena itu, untuk menghindari situasi yang tidak menguntungkan bagi kedua belah pihak, penulis buku "The Burnout Epidemic: The Rise of Chronic Stress and How We Can Fix It," ini menyarankan, baiknya seorang pimpinan dapat membangun komunikasi yang transparan kepada karyawannya.

“Pahami apa yang dibutuhkan karyawan. Dengan begitu, akan mendorong mereka untuk lebih produktif dalam bekerja. Secara tidak langsung, cara ini berdampak juga pada pekerjaan yang dihasilkan,” tambahnya.
(ind)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1993 seconds (0.1#10.140)