Indonesia Butuh Banyak Uang untuk Tekan Polusi Udara
loading...
A
A
A
JAKARTA - Polusi udara menjadi salah satu permasalahan serius bagi sejumlah negara, termasuk Indonesia. Pasalnya, beberapa kota di Indonesia memiliki tingkat tingkat Particulate Matter (PM) 2,5 rata-rata tahunan yang melebihi ambang batas pedoman WHO .
PM 2,5 sendiri adalah partikel ultra halus yang mengambang di udara dan sangat berbahaya bagi kesehatan pernapasan manusia.
Ken Lee, Direktur Air Quality Life Index (AQLI), sebuah lembaga nirlaba dari University of Chicago, mengungkapkan ada banyak jenis kebijakan yang dapat diperkenalkan oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi permasalahan kualitas udara. Di antaranya, menangani pembangkit listrik tenaga batu bara.
“Jadi mengatasi pembangkit listrik tersebut merupakan prioritas karena bahan bakar fosil adalah kontributor utama polusi partikulat serta perubahan iklim. Jadi untuk benar-benar memperbaiki masalah ini, pemerintah benar-benar harus melakukan aksi,” kata Ken dalam dalam video yang diunggah akun instagram Bicara Udara, diakses Kamis (30/9/2021).
Diakui Ken, bahwa memberikan udara bersih ke Indonesia akan menghabiskan banyak uang. Misalnya, apakah itu berinvestasi di transportasi umum, menghilangkan kendaraan tua yang sangat berpolusi dari jalanan, mengurangi emisi pembangkit listrik yang ada, atau berinvestasi dalam energi terbarukan.
“Semua jenis kegiatan pengurangan ini akan membutuhkan banyak uang. Jadi, harapan saya untuk Indonesia adalah ketika momentum terbangun untuk mengambil tindakan kebijakan nyata, biaya dari semua kegiatan pengurangan polusi ini akan menghasilkan manfaat luar biasa yang dapat dirasakan oleh masyarakat Indonesia dari upaya pengurangan polusi secara permanen,” jelas Ken.
Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah mengungkap bahwa upaya pemerintah mengurangi emisi karbon untuk mengatasi perubahan iklim hingga 2030 membutuhkan anggaran hingga Rp3.779 triliun. Sementara kebutuhan investasi untuk menurunkan emisi karbon mencapai USD365 miliar.
Pemerintah sendiri sudah menyiapkan langkah pencarian dana untuk memperbaiki emisi karbon. Salah satunya dengan mengenakan pajak karbon sebesar Rp75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Ketentuan ini ada dalam RUU tentang Perubahan Kelima Atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Ken melanjutkan, untuk menurunkan polusi udara, Indonesia juga bisa mencontoh standar nasional dari negara-negara lain yang sudah menerapkan sebelumnya. Untuk PM 2,5 pedoman WHO untuk konsentrasi rata-rata tahunan adalah 10 mikrogram per meter kubik.
"Tidak semua negara mengikuti pedoman WHO. Standar nasional China adalah 35, standar nasional India adalah 40, standar nasional AS adalah 12 dan seterusnya,” ujar Ken.
Ken menuturkan, sangat penting bagi suatu negara untuk memiliki konsentrasi rata-rata tahunan yang jelas. Pasalnya, penerunan tahunan itu merupakan bentuk komitmen pemerintah dan pelaku industri terkait.
“Langkah berikutnya yang dapat segera dilakukan Indonesia adalah meningkatkan monitoring kualitas udara secara nasional,” tandas Ken.
PM 2,5 sendiri adalah partikel ultra halus yang mengambang di udara dan sangat berbahaya bagi kesehatan pernapasan manusia.
Ken Lee, Direktur Air Quality Life Index (AQLI), sebuah lembaga nirlaba dari University of Chicago, mengungkapkan ada banyak jenis kebijakan yang dapat diperkenalkan oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi permasalahan kualitas udara. Di antaranya, menangani pembangkit listrik tenaga batu bara.
“Jadi mengatasi pembangkit listrik tersebut merupakan prioritas karena bahan bakar fosil adalah kontributor utama polusi partikulat serta perubahan iklim. Jadi untuk benar-benar memperbaiki masalah ini, pemerintah benar-benar harus melakukan aksi,” kata Ken dalam dalam video yang diunggah akun instagram Bicara Udara, diakses Kamis (30/9/2021).
Diakui Ken, bahwa memberikan udara bersih ke Indonesia akan menghabiskan banyak uang. Misalnya, apakah itu berinvestasi di transportasi umum, menghilangkan kendaraan tua yang sangat berpolusi dari jalanan, mengurangi emisi pembangkit listrik yang ada, atau berinvestasi dalam energi terbarukan.
“Semua jenis kegiatan pengurangan ini akan membutuhkan banyak uang. Jadi, harapan saya untuk Indonesia adalah ketika momentum terbangun untuk mengambil tindakan kebijakan nyata, biaya dari semua kegiatan pengurangan polusi ini akan menghasilkan manfaat luar biasa yang dapat dirasakan oleh masyarakat Indonesia dari upaya pengurangan polusi secara permanen,” jelas Ken.
Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah mengungkap bahwa upaya pemerintah mengurangi emisi karbon untuk mengatasi perubahan iklim hingga 2030 membutuhkan anggaran hingga Rp3.779 triliun. Sementara kebutuhan investasi untuk menurunkan emisi karbon mencapai USD365 miliar.
Pemerintah sendiri sudah menyiapkan langkah pencarian dana untuk memperbaiki emisi karbon. Salah satunya dengan mengenakan pajak karbon sebesar Rp75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Ketentuan ini ada dalam RUU tentang Perubahan Kelima Atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Ken melanjutkan, untuk menurunkan polusi udara, Indonesia juga bisa mencontoh standar nasional dari negara-negara lain yang sudah menerapkan sebelumnya. Untuk PM 2,5 pedoman WHO untuk konsentrasi rata-rata tahunan adalah 10 mikrogram per meter kubik.
"Tidak semua negara mengikuti pedoman WHO. Standar nasional China adalah 35, standar nasional India adalah 40, standar nasional AS adalah 12 dan seterusnya,” ujar Ken.
Ken menuturkan, sangat penting bagi suatu negara untuk memiliki konsentrasi rata-rata tahunan yang jelas. Pasalnya, penerunan tahunan itu merupakan bentuk komitmen pemerintah dan pelaku industri terkait.
“Langkah berikutnya yang dapat segera dilakukan Indonesia adalah meningkatkan monitoring kualitas udara secara nasional,” tandas Ken.
(uka)