Sembako Premium Kena Pajak, Ketua PHRI DKI: Orang Kaya Tak Takut dengan Harga
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penerapkan pajak pertambahan nilai ( PPN ) terhadap sembako tak lama lagi akan gulirkan. Pasalnya, Komisi DPR RI telah menerima ajuan tersebut dan disetujui untuk dibahas lebih lanjut pada rapat paripurna pekan depan.
Barang sembako yang akan dikenakan PPN seperti yang pernah dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani adalah produk yang tidak dikonsumsi oleh masyarakat banyak atau yang memiliki harga mahal karena diimpor. Seperti beras basmati, beras shirataki, hingga daging sapi premium impor yang harganya bisa 15 kali lipat harga daging di pasar tradisional.
Ketua Badan Pimpinan Daerah PHRI DKI Jakarta Sutrisno Iwantono mengatakan, kebijakan pengenaan pajak atas sembako premium merupakan hal yang wajar. Sebab, produk premium relatif dikonsumsi oleh konsumen kelas menengah atas dan pendapatan yang dimiliki mereka cukup besar.
“Barang-barang premium itu kan konsumsi orang berduit, seperti daging sapi kobe, wagyu, atau beras japonica. Menurut saya masih wajar kalau dikenakan pajak,” ujarnya saat dihubungi MNC Portal, Jumat (1/10/2021).
Ia menuturkan pengeluaran untuk konsumsi masyarakat kelas atas atau orang kaya, porsinya kecil dibanding total pendapatan. Sehingga bukan menjadi suatu persoalan bagi restoran mewah dengan adanya pengenaan pajak pada sembako premium.
“Asal jangan memajaki sembako rakyat kecil. Tentu nanti pengawasan di lapangan mesti benar. Jangan sampai keliru memajaki sembako untuk rakyat golongan bawah,” tuturnya.
Sutrisno bilang, konsumen lapisan kelas menengah atas tidak terlalu mempertimbangkan harga saat makan, termasuk makan dengan produk premium sekalipun. Dengan demikian, kata dia, selama konsumen tidak mempersoalkan harga makanan yang dimakan, maka tidak ada masalah pada pengusaha restoran mewah.
“Kalau konsumennya lapisan kaya, tidak terlalu mempertimbangkan harga. Orang kaya yang ditakuti bukan harga, tetapi takut sama virus corona,” imbuhnya.
Di samping itu, ia menambahkan semenjak pemerintah melonggarkan aturan PPKM, industri restoran dan perhotelan sudah menunjukkan adanya perbaikan. Hal itu seiring dengan rasa rindu masyarakat terhadap aktivitas liburan.
Barang sembako yang akan dikenakan PPN seperti yang pernah dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani adalah produk yang tidak dikonsumsi oleh masyarakat banyak atau yang memiliki harga mahal karena diimpor. Seperti beras basmati, beras shirataki, hingga daging sapi premium impor yang harganya bisa 15 kali lipat harga daging di pasar tradisional.
Ketua Badan Pimpinan Daerah PHRI DKI Jakarta Sutrisno Iwantono mengatakan, kebijakan pengenaan pajak atas sembako premium merupakan hal yang wajar. Sebab, produk premium relatif dikonsumsi oleh konsumen kelas menengah atas dan pendapatan yang dimiliki mereka cukup besar.
“Barang-barang premium itu kan konsumsi orang berduit, seperti daging sapi kobe, wagyu, atau beras japonica. Menurut saya masih wajar kalau dikenakan pajak,” ujarnya saat dihubungi MNC Portal, Jumat (1/10/2021).
Ia menuturkan pengeluaran untuk konsumsi masyarakat kelas atas atau orang kaya, porsinya kecil dibanding total pendapatan. Sehingga bukan menjadi suatu persoalan bagi restoran mewah dengan adanya pengenaan pajak pada sembako premium.
“Asal jangan memajaki sembako rakyat kecil. Tentu nanti pengawasan di lapangan mesti benar. Jangan sampai keliru memajaki sembako untuk rakyat golongan bawah,” tuturnya.
Sutrisno bilang, konsumen lapisan kelas menengah atas tidak terlalu mempertimbangkan harga saat makan, termasuk makan dengan produk premium sekalipun. Dengan demikian, kata dia, selama konsumen tidak mempersoalkan harga makanan yang dimakan, maka tidak ada masalah pada pengusaha restoran mewah.
“Kalau konsumennya lapisan kaya, tidak terlalu mempertimbangkan harga. Orang kaya yang ditakuti bukan harga, tetapi takut sama virus corona,” imbuhnya.
Di samping itu, ia menambahkan semenjak pemerintah melonggarkan aturan PPKM, industri restoran dan perhotelan sudah menunjukkan adanya perbaikan. Hal itu seiring dengan rasa rindu masyarakat terhadap aktivitas liburan.
(uka)