Ini 3 Penyebab Penetrasi Internet Lemot di Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penetrasi industri fixed broadband sejak tahun 2016 hingga 2020 melonjak menjadi 53,7%, sedangkan penetrasi internet tercatat stagnan. Senior Manager Corporate Ratings Divisions PT Pefindo, Martin Pandiangan, mengatakan bahwa ada tiga penyebab yang membuat penetrasi internet di Indonesia relatif lebih tipis dibanding negara-negara di ASEAN .
"Pertama, dari sisi keterjangkauan harga, relatif masih tinggi. Kita melihat, berbeda dengan mobile broadband, fixed broadband membutuhkan biaya-biaya lain seperti biaya sewa modem dan pemasangan," ujar Martin dalam IDX Channel Live Market Review di Jakarta, Selasa(12/10/2021).
Dia menyebutkan, harga berlangganan broadband bulanan di Indonesia sekitar Rp300 ribu, ditambah biaya pemasangan yang kisaran rata-ratanya di Rp500 ribu. Kisaran harga tersebut dipandang cukup signifikan jika dibandingkan dengan pengeluaran per kapita rata-rata bulanan rumah tangga di Indonesia di Rp1,2 juta.
"Kondisi itu menunjukkan keterjangkauan harga adalah salah satu tantangan utama dalam perkembangan industri fixed broadband," ungkap Martin.
Tantangan selanjutnya adalah dari sisi infrastruktur broadband yang terbatas dan tantangan geografis yang menyebabkan layanan internet tidak terdistribusi secara merata. Salah satu solusinya, menurut Martin, adalah proyek Palapa Ring Nasional yang bertujuan membangun konektivitas serat optik di Nusantara, mulai dari barat hingga timur Indonesia.
"Namun demikian, Palapa Ring hanyalah penyedia backbone serat optik, sedangkan untuk menghadirkan akses internet ke masyarakat butuh peran dari internet service provider (ISP). Fokus dari ISP masih berpusat di kota-kota besar, mempertimbangkan potensi pendapatan, utilisasi, dan biaya-biaya pemeliharaan yang lebih efisien," jelas Martin.
Laporan Februari 2021 menyebutkan bahwa utilisasi dari Palapa Ring masih di bawah 40%, baik itu Palapa Ring barat, tengah, dan timur. Pihaknya memandang bahwa perluasan jaringan infrastruktur memiliki peranan penting untuk mendukung pertumbuhan para pemain, terutama untuk memasuki area baru.
"Perizinan juga relatif lebih mudah dengan adanya perbaikan di UU Cipta Kerja. Sebelumnya dibutuhkan izin dari pemerintah pusat dan daerah, dan sekarang relatif lebih tersentralisasi sehingga diharapkan bisa mempermudah penggelaran serat optik dan infrastruktur telekomunikasi," pungkasnya.
"Pertama, dari sisi keterjangkauan harga, relatif masih tinggi. Kita melihat, berbeda dengan mobile broadband, fixed broadband membutuhkan biaya-biaya lain seperti biaya sewa modem dan pemasangan," ujar Martin dalam IDX Channel Live Market Review di Jakarta, Selasa(12/10/2021).
Dia menyebutkan, harga berlangganan broadband bulanan di Indonesia sekitar Rp300 ribu, ditambah biaya pemasangan yang kisaran rata-ratanya di Rp500 ribu. Kisaran harga tersebut dipandang cukup signifikan jika dibandingkan dengan pengeluaran per kapita rata-rata bulanan rumah tangga di Indonesia di Rp1,2 juta.
"Kondisi itu menunjukkan keterjangkauan harga adalah salah satu tantangan utama dalam perkembangan industri fixed broadband," ungkap Martin.
Tantangan selanjutnya adalah dari sisi infrastruktur broadband yang terbatas dan tantangan geografis yang menyebabkan layanan internet tidak terdistribusi secara merata. Salah satu solusinya, menurut Martin, adalah proyek Palapa Ring Nasional yang bertujuan membangun konektivitas serat optik di Nusantara, mulai dari barat hingga timur Indonesia.
"Namun demikian, Palapa Ring hanyalah penyedia backbone serat optik, sedangkan untuk menghadirkan akses internet ke masyarakat butuh peran dari internet service provider (ISP). Fokus dari ISP masih berpusat di kota-kota besar, mempertimbangkan potensi pendapatan, utilisasi, dan biaya-biaya pemeliharaan yang lebih efisien," jelas Martin.
Laporan Februari 2021 menyebutkan bahwa utilisasi dari Palapa Ring masih di bawah 40%, baik itu Palapa Ring barat, tengah, dan timur. Pihaknya memandang bahwa perluasan jaringan infrastruktur memiliki peranan penting untuk mendukung pertumbuhan para pemain, terutama untuk memasuki area baru.
"Perizinan juga relatif lebih mudah dengan adanya perbaikan di UU Cipta Kerja. Sebelumnya dibutuhkan izin dari pemerintah pusat dan daerah, dan sekarang relatif lebih tersentralisasi sehingga diharapkan bisa mempermudah penggelaran serat optik dan infrastruktur telekomunikasi," pungkasnya.
(uka)