Bisnis Melejit, Bos-Bos Perusahaan Teknologi Kian Tajir saat Pandemi

Jum'at, 15 Oktober 2021 - 07:27 WIB
loading...
Bisnis Melejit, Bos-Bos Perusahaan Teknologi Kian Tajir saat Pandemi
Perusahaan teknologi mengalami pertumbuhan bisnis yang cepat di saat pandemi. FOTO/WIN CAHYONO
A A A
JAKARTA - Di tengah pandemi Covid-19 yang terjadi di seluruh dunia, industri dan bisnis teknologi merupakan sektor yang bukan hanya bertahan, tetapi mengalami kebangkitan dan bahkan membuahkan keuntungan besar. Teknologi juga mampu menambah kekayaan para miliarder dan menciptakan banyak miliarder baru.

Forbes dan The Economic Times mencatat, berbagai saham perusahaan teknologi seperti Apple, Alphabet, Nvidia, Tesla, Microsoft, Amazon, dan Facebook meningkat hingga 70% atau lebih dari USD10 triliun sejak 2000 atau awal masa pandemi. Nilai tersebut sama seperti nilai seluruh pasar saham Amerika Serikat (AS) pada 2002. Industri teknologi kini juga menyuplai jumlah miliarder terbanyak kedua setelah keuangan dan inevstasi.

Institute for Policy Studies (IPS) melaporkan, pada 2021 miliarder di bidang industri teknologi mengalami kenaikan kekayaan secara bersamaan dan jika ditotal mencapai USD564 miliar atau hampir 68%. Jika digabungkan, jumlah kekayaan para miliarder di bidang teknologi bisa mencapai USD1,4 triliun atau sepertiga dari jumlah miliarder. Sebagai perbandingan angka miliader di bidang keuangan dan investasi hanya mengalami pertumbuhan 37% atau USD226 miliar.



Forbes mencatat pada 2020 sebanyak 365 miliarder mendapatkan keuntungan dari sektor teknologi dan itu meningkat drastis dari 241 dibandingkan sebelum pandemi. Setahun kemudian pada 2021, masih di tengah krisis pandemi virus korona (Covid-19), jumlah miliarder justru bertambah 493 pendatang baru atau meningkat 30% dibandingkan tahun sebelumnya. DataForbesmenyebutkan sebanyak 493 miliarder baru termasuk 210 dari China dan Hong Kong, serta 98 dari AS.

Tren munculnya satu miliarder baru terjadi setiap 17 jam ketika dunia menghadapi krisis ekonomi akibat penutupan perbatasan di banyak negara. Total kekayaan miliarder mencapai USD13,1 triliun atau meningkat USD5 triliun dari USD8 triliun pada 2020. Tentunya itu merupakan rekor tersendiri. Apalagi ini terjadi di tengah pandemi.

Selain itu, fenomena tersebutu juga diramaikan dengan tren penawaran saham perdana (IPO), meningkatkan mata uang kripto dan meroketnya harga saham. Saat bersamaan, 86% miliarder justru bertambah kaya dibandingkan sebelumnya.

Mengutip penelitian Credit Suisse, terdapat 5,2 juta orang berstatus sebagai miliarder dengan jumlah total 56,1 juta di seluruh dunia. Mereka yang berstatus miliader adalah orang yang memiliki kekayaan minimal USD1 juta. Pada 2020 lalu, lebih dari 1% dari orang dewasa di dunia adalah berstatus miliarder untuk pertama kalinya.



The New York Times melaporkan, sektor teknologi tumbuh selama pandemi ketika banyak orang bekerja, berbelanja, dan mencari hiburan di rumah. Perkembangan teknologi yang sangat cepat dan munculnya banyak inovator dalam teknologi, perawatan kesehatan dan industri menjadi kesempatan memunculkan banyak miliarder.

"Pengusaha yang berada di sisi yang salah atau bukan pada tren teknologi memiliki kekayaan yang tidak bertambah," demikian pernyataan UBS dan PricewaterhouseCoopers (PwC).

Analisis IPS di AS juga menyebutkan pandemi justru menjadi "durian runtuh" bagi para pengusaha di bidang teknologi. Mereka yang mengambil untung berlimpah dari pandemi adalah bisnis di bidang ritel online, pelayanan dan hiburan.

"Itu dikarenakan banyak warga berbelanja, berinvestasi dan mengalihkan perhatian di tengah isolasi," demikian keterangan IPS.

Mereka menyebutkan bahwa 19 miliarder mengalami kenaikan kekayaan lebih dari 200%, dan kekayaan 48 miliarder meningkat lebih dari 100%.

Misalnya, Bom Kim, miliarder AS yang mendirikan e-commerce Coupang berbasis di Seoul, Korea Selatan, mengalami kenaikan 670% hingga USD7,7 miliar. Keuntungan besar itu dikarenakan penjualan saham perdana atau IPO pada awal Maret lalu yang menghasilkan USD11 miliar.

Kemudian, Dan Gilbert, pemilik Quicken Loans, mengalami kenaikan 642% atau menambah kekayaan USD41,7 miliar. Selanjutnya, Ernest Garcia II mampu mengalami peningkatan kekayaan hingga 567% atau USD13,6 miliar karena menjadi pemegang saham terbesar Carvana, raksasa finansial dalam penjualan mobil secara online.

Selain itu, Eric Yuan, pendidi Zoom, juga mengalami kenaikan kekakayan hingga USD8,4 miliar selama pandemi atau sebesar 153% pada Maret 2021. Sedangkan Elon Musk mengalami pertumbuhan kekayaan USD559% atau setara USD137,5 miliarder dan menjadi orang kedua terkaya di AS.

Adapun kekayaan Evan Spiegel, pendiri Snapchat, tumbuh 490% atau USD9,3 miliar. Selanjutnya, Jack Dorsey, pendiri Twitter dan Square, aplikasi pembayaran untuk bisnis berskala kecil dan menengah, mendapatkan kenaikan kekayaan 396% atau USD10,3%.

"Itu sepertinya para miliarder mendapatkan keuntungan ketika dunia kehilangan lebih setengah juta nyawa dan jutaan orang kehilangan kekayaan, kesehatan, dan pekerjaan," kata Chuck Dollins, direktur program ketidakseteraan di IPS.

Frank Clemente, direktur Americans for Tax Fairness menambahkan, kesenjangan pendapatan akibat pandemi seharusnya menjadi perhatian bagi pemerintahan.

Pakar kecerdasan buatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Mark Minevech dan Irakli Beridze mengatakan teknologi menjadi salah satu pengendali terbesar dalam pembangunan seiring dengan meningkatnya ekonomi digital secara global, terutama saat pandemi Covid-19.

"Teknologi baru dan internet menjadi kekuatan penting dalam meningkatkan kesehatan, dan lingkungan di seluruh dunia," kata mereka dilansir The Hill.

Teknologi juga menciptakan ekonomi lebih inklusif dan berkontribusi dalam menciptakan pekerjaan lebih baik serta memperkuat kesejahteraan secara global. Dengan kata lain, teknologi memiliki esensi untuk menjadi motor perubahan turbo untuk menjadi dunia lebih baik dan memiliki masa depan yang berkelanjutan.

Disrupsi yang terjadi karena pandemi justru meningkatkan kesempatan inovasi yang lebih beragam dan transformatif. Diperlukan kebijakan dari pemerintah dan sektor swasta untuk menyambut era baru tersebut.

"Negara di dunia harus menerapkan strategi yang mampu fokus pada teknologi, seperti membuat kebijakan tentang penerapan kecerdasan buatan," ujar Minevech dan Beridze.

Kemudian, penciptaan kekayaan itu memang terjadi di tengah krisis ekonomi akibat pandemi. “Pandemi memiliki dampak jangka pendek yang akut pada pasar global, tetapi itu berbalik pada akhir Juni 2020,” kata Anthony Shorrocks, ekonomi dan peneliti Global Wealth Report yang dirilis Credit Suisse, dilansir BBC.

Kenaikan kekayaan pada orang dewasa memang meningkat pada 2020 hingga 2021. Shorrocks mengatakan, jika aset terus meningkat, seperti harga rumah dipindahkan dari analisis, maka jumlah orang kaya mungkin akan mengalami penurunan.

“Aset keuangan memang tidak terlalu dominasi, tetapi kekayaan cenderung mengalami regresi,” katanya. Selain itu, tingkat suku bunga yang naik yang menunjukkan kenaikan.

Sementara itu, Global Wealth Report melaporkan kekayaan secara global naik 7,4% selama pandemi. Sejak abad 21, jumlah orang yang memiliki kekayaan antara USD10.000 hingga USD100.000 meningkat tiga kali lipat dari 507 juta pada 2000 hingga 1,7 miliar pada pertengahan 2020.

“Peningkatan tersebut seiring terjadi penguatan kesejahteraan di negara yang sedang tumbuh seperti China dan perluasan kelas menengah di negara berkembang,” demikian keterangan Global Wealth Report.

Dalam pandangan Melissa Leach, Direktur Institute of Development Studies, lembaga penelitian berbasis di Inggris, pandemi Covid-19 merupakan suatu hal yang unik karena memiliki dampak yang berbeda kepada populasi yang berbeda-beda di dunia.

"Epidemi selalu menjadi cermin bagi masyarakat. Itu juga mampu mengungkap dunia yang semakin tidak setara," ujarnya dilansir NBC News.

Dia mengatakan, semua pihak melihat semakin banyak orang kaya yang jumlahnya sangat sedikit. Tetapi, semakin banyak orang yang bertambah miskin.

"Itu menunjukkan perlu penguatan fungsi demokrasi dan kebijakan ekonomi yang lebih terarah," paparnya.

Di saat krisis pandemi korona, para miliarder justru tampak senang dan bahagia. Mereka tidak khawatir. "Klien kita tidak panik ketika musim penjualan menurun," kata Sergio Ermotti, kepala eksekutif UBS kepada Financial Times.

Selama pandemi, kebanyakan pola pikir miliader adalah tidak menjual aset mereka. "Jika kamu panik dan menjual pada Februari dan awal Maret 2020, itu akan menjadi hal sulit untuk bangkit karena pasar sudah ulih dengan cepat," kata Nicole Curti, kepada penasehat kekayaan Stanhope Capitial di Swiss.

Dia mencontoh dua miliarder yang menjadi kliennya, seorang miliader menjual sebagian aset bisnisnya selama pandemi. Sedangkan satu miliarder memilih menahan diri. Justru miliarder yang tidak menjual asetnya berkembang pesat.

"Masa pandemi memang penuh dengan emosional, tetapi perlu menjaga performa agar tetap berinvestasi," paparnya.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0957 seconds (0.1#10.140)