MK Tolak Uji Materi UU Minerba, Pemohon: Pemerintah Harus Mandiri Putuskan Kelanjutan Operasi Tambang

Kamis, 28 Oktober 2021 - 16:15 WIB
loading...
MK Tolak Uji Materi...
Mahkamah Konstitusi menolak uji materi UU Minerba. Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Undang-Undang (UU) No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang diundangkan pada 10 Juni 2020 digugat oleh sejumlah pemohon.

Sejak awal, pembentukan UU ini cenderung kilat dan senyap. Sejumlah pihak pun kemudian mengajukan uji materi , baik aspek formil maupun materiil UU tersebut. Setelah berproses sekitar setahun, Mahkamah Konstitusi ( MK ) secara maraton membacakan putusan uji materi UU No. 3 Tahun 2020 pada 27 Oktober 2021.



Terkait uji formil, MK menolak mengabulkan permohonan perkara No. 59/PUU/XVIII/2020 dan menyatakan keabsahan prosedur pembentukan beleid tersebut.

Uji materiil ini dimohonkan oleh tiga pemohon, yaitu Helvis (advokat) sebagai Pemohon I, Sekretaris Umum PP ISNU M Kholid Syeirazi sebagai Pemohon II, dan Forum Kajian Hukum dan Konstitusi sebagai Pemohon III. Permohonan uji materi ini dimuat ke dalam perkara No. 64/PUU/XVIII/2020. Permohonan ini diwakili oleh Kuasa Hukum Tezar Yudhistira, Arif Rachman, Abdul Rohim, dan Viktor S. Tandiasa.

MK mengabulkan legal standing Pemohon II dan menolak legal standing pemohon lainnya. MK mendalilkan, Pemohon II telah cukup jelas menguraikan causal verband berlakunya Pasal 169A UU No. 3/2020 dengan kerugian konstitusionalnya, baik aktual maupun potensial sebagai warga negara dan pemerhati kebijakan pertambagan. Karena itu, MK mempertimbangkan isi permohonannya.

Pemohon II beranggapan, Pasal 169A yang menjamin kepada pemegang KK dan PKP2B yang habis masa kontraknya untuk diperpanjang melalui IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus), selama-lamanya 20 tahun, telah mendegradasi kedaulatan negara, c.q. pemerintah untuk mandiri dalam mengelola sektor tambangnya, termasuk memprioritaskan BUMN/BUMD.



Pemerintah mempunyai hak penuh untuk memperpanjang atau mengakhiri operasi tambang, jika dianggap tidak menguntungkan, dan tidak boleh tersandera dengan pelaku usaha swasta. Dalam keterangannya, Kholid menjelaskan beberapa raksasa tambang batu bara pemegang PKP2B yang akan segera berakhir.

"Mereka menuntut kepastian dari pemerintah, karena itu lahirlah Pasal 169A," kata Kholid dalam keterangan tertulis, Kamis (28/10/20221).

Perusahaan-perusahaan ini dimiliki orang-orang kuat dan terafiliasi dengan partai-partai politik besar. Karena itu, Kholid menduga pasal ini semacam konsesi buat mereka.

Sebagaimana data yang termuat di Kementerian ESDM, beberapa perusahaan yang jelang dan habis masa kontraknya adalah PT Arutmin (1 November 2020), PT Kendilo Coal Indonesia (13 September 2021), PT Kaltim Prima Coal (31 Desember 2021), PT Adaro Indonesia (1 Oktober 2022), PT Multi Harapan Utama (1 April 2022), PT Kedico Jaya Agung (13 Maret 2023), dan PT Berau Coal (26 April 2025).

MK memutuskan Pasal 169A inkonstitusional, jika tidak dimaknai ‘Pemerintah dapat’. Artinya, tidak otomatis pemegang KK dan PKP2B harus diperpanjang oleh pemerintah.

"Pemerintah dapat memperpanjang atau menterminasi usaha mereka, jika dianggap tidak menguntungkan," ujar Kholid.



Namun, karena terhadap asas hukum non-retroaktif, KK/PKP2B yang sudah diperpanjang sebelum putusan ini, tidak bisa dibatalkan IUPK-nya. "Tapi kita berharap pemerintah betul-betul mandiri dalam memutuskan untuk memperpanjang atau mengakhiri operasi tambang pemegang KK/PKP2B setelah putusan MK ini dibacakan," tegas Kholid.

Menurutnya, pengelolaan batu bara, sebagaimana norma putusan MK, semestinya diprioritaskan kepada BUMN dan BUMD, karena terkait dengan hajat publik sebagai sumber primer untuk energi listrik.
(uka)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1384 seconds (0.1#10.140)