PLTU Batu Bara Bakal Pensiun Dini, Transisi Energi Butuh Rancangan Serius
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyatakan, bahwa pemerintah mengkaji peluang mempensiunkan dini PLTU batu bara dengan kapasitas total 9,3 GW sebelum tahun 2030. Dimana hal ini bisa dilakukan dengan dukungan pendanaan mencapai USD48 miliar.
Indonesia sendiri juga telah menandatangani deklarasi Global Coal to Clean Power Transition (Transisi Batubara Global Menuju Energi Bersih) pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim ke-26 atau COP-26.
Terkait hal tersebut, Institute for Essential Services Reform (IESR) mengapresiasi langkah pemerintah Indonesia, khususnya kepemimpinan yang ditunjukan oleh Menteri ESDM di COP-26. Khususnya dalam mendorong transisi energi yang berkeadilan melalui pengembangan energi terbarukan seluasnya dan melakukan penghentian secara bertahap (phase out) PLTU batu bara sebagai bagian dari aksi Indonesia untuk mencegah krisis global.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengatakan, keterbukaan pemerintah Indonesia untuk melakukan transisi energi , melalui salah satunya mengurangi PLTU secara bertahap patut diapresiasi.
"Pasca-Glasgow, pemerintah dan Dewan Energi Nasional (DEN) harus mengakselerasi penyusunan peta jalan dan strategi transisi energi di Indonesia secara komprehensif," ujarnya dalam keterangan tertulis, Minggu (7/11/2021).
Dia melanjutkan, ketergantungan pada energi fosil tidak akan berakhir kalau Indonesia tidak secara cepat meningkatkan kapasitas energi terbarukan. Menurut dia, fokus kebijakannya bukan lagi batu bara sebagai pilihan pertama (coal as the first option), tapi energi terbarukan yang harus menjadi pilihan utama.
"Jadi transisi energi perlu dirancang benar-benar, dengan prioritas kembangkan dan memanfaatkan energi terbarukan sebanyak-banyaknya dan mengoptimalkan efisiensi energi," ungkapnya.
Fabby menekankan bahwa keputusan untuk menghentikan secara bertahap bahan bakar fosil, terutama PLTU merupakan hal yang inevitable (tak terhindarkan). Tidak saja dari perspektif penyelamatan iklim tapi juga dari sisi keekonomian teknologi.
"Terutama dengan adanya inovasi dan harga teknologi energi terbarukan dan teknologi penyimpanan (storage) sudah lebih kompetitif terhadap energi fosil, pemanfaatan energi terbarukan untuk menjamin keandalan penyediaan energi untuk mencapai net-zero emission menjadi semakin layak," ungkap Fabby.
Hasil analisis IESR dari kajian Dekarbonisasi Sistem Energi di Indonesia memproyeksikan energi terbarukan yang dilengkapi dengan baterai penyimpanan akan meningkat signifikan pada tahun 2045.
Pangsa baterai akan mencapai 52% dari total sistem penyimpanan, diikuti oleh hidrogen sebesar 37% dan sistem penyimpanan lainnya sekitar 11%. Pangsa permintaan listrik yang dicakup oleh penyimpanan energi meningkat secara signifikan dari sekitar 2% pada tahun 2030 menjadi 29% pada tahun 2045.
Sedangkan untuk pengguna utama penyimpanan baterai akan berasal dari sistem skala utilitas, dan dalam skala yang lebih kecil dari kawasan komersial dan industri, serta sistem perumahan.
Lihat Juga: Kadin dan Pemerintah Indonesia Berpeluang Raih Pendanaan Transisi Energi hingga Rumah Murah dari Inggris
Indonesia sendiri juga telah menandatangani deklarasi Global Coal to Clean Power Transition (Transisi Batubara Global Menuju Energi Bersih) pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim ke-26 atau COP-26.
Terkait hal tersebut, Institute for Essential Services Reform (IESR) mengapresiasi langkah pemerintah Indonesia, khususnya kepemimpinan yang ditunjukan oleh Menteri ESDM di COP-26. Khususnya dalam mendorong transisi energi yang berkeadilan melalui pengembangan energi terbarukan seluasnya dan melakukan penghentian secara bertahap (phase out) PLTU batu bara sebagai bagian dari aksi Indonesia untuk mencegah krisis global.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengatakan, keterbukaan pemerintah Indonesia untuk melakukan transisi energi , melalui salah satunya mengurangi PLTU secara bertahap patut diapresiasi.
"Pasca-Glasgow, pemerintah dan Dewan Energi Nasional (DEN) harus mengakselerasi penyusunan peta jalan dan strategi transisi energi di Indonesia secara komprehensif," ujarnya dalam keterangan tertulis, Minggu (7/11/2021).
Dia melanjutkan, ketergantungan pada energi fosil tidak akan berakhir kalau Indonesia tidak secara cepat meningkatkan kapasitas energi terbarukan. Menurut dia, fokus kebijakannya bukan lagi batu bara sebagai pilihan pertama (coal as the first option), tapi energi terbarukan yang harus menjadi pilihan utama.
"Jadi transisi energi perlu dirancang benar-benar, dengan prioritas kembangkan dan memanfaatkan energi terbarukan sebanyak-banyaknya dan mengoptimalkan efisiensi energi," ungkapnya.
Fabby menekankan bahwa keputusan untuk menghentikan secara bertahap bahan bakar fosil, terutama PLTU merupakan hal yang inevitable (tak terhindarkan). Tidak saja dari perspektif penyelamatan iklim tapi juga dari sisi keekonomian teknologi.
"Terutama dengan adanya inovasi dan harga teknologi energi terbarukan dan teknologi penyimpanan (storage) sudah lebih kompetitif terhadap energi fosil, pemanfaatan energi terbarukan untuk menjamin keandalan penyediaan energi untuk mencapai net-zero emission menjadi semakin layak," ungkap Fabby.
Hasil analisis IESR dari kajian Dekarbonisasi Sistem Energi di Indonesia memproyeksikan energi terbarukan yang dilengkapi dengan baterai penyimpanan akan meningkat signifikan pada tahun 2045.
Pangsa baterai akan mencapai 52% dari total sistem penyimpanan, diikuti oleh hidrogen sebesar 37% dan sistem penyimpanan lainnya sekitar 11%. Pangsa permintaan listrik yang dicakup oleh penyimpanan energi meningkat secara signifikan dari sekitar 2% pada tahun 2030 menjadi 29% pada tahun 2045.
Sedangkan untuk pengguna utama penyimpanan baterai akan berasal dari sistem skala utilitas, dan dalam skala yang lebih kecil dari kawasan komersial dan industri, serta sistem perumahan.
Lihat Juga: Kadin dan Pemerintah Indonesia Berpeluang Raih Pendanaan Transisi Energi hingga Rumah Murah dari Inggris
(akr)