Ombudsman Sarankan Perbaikan Kriteria Petani Penerima Pupuk Subsidi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dalam rangka meningkatkan tata kelola pupuk bersubsidi, Ombudsman RI memberikan opsi rekomendasi perbaikan kriteria petani penerima subsidi kepada Kementerian Pertanian. Ombudsman menilai, kriteria petani penerima pupuk bersubsidi yang diatur dalam Permentan No. 49 Tahun 2020 tentang Alokasi dan HET Pupuk Bersubsidi Tahun Anggaran 2021 menyebabkan pemberian pupuk subsidi belum memberikan hasil yang setimpal dengan anggaran yang terbatas.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, mengatakan jumlah komoditas yang sangat banyak, pembatasan lahan kurang dari dua hektare, serta penggunaan pupuk bersubsidi yang lebih beragam mengakibatkan alokasi pupuk bersubsidi terhadap kebutuhannya rata-rata hanya mencapai 38%.
“Jadi, resultante dari 69 komoditas, lahan dua hektare, ragam pupuk bersubsidinya yang banyak, ternyata rata-rata petani itu hanya mendapatkan 38% dari kebutuhannya,” kata Yeka saat memaparkan hasil Kajian Sistemik Ombudsman tentang “Pencegahan Maladministrasi dalam Tata Kelola Pupuk Bersubsidi” pada Selasa (30/11/2021) di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan.
Hasil kajian tersebut disampaikan secara langsung kepada Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian BUMN, Kementerian Dalam Negeri, dan PT Pupuk Indonesia (Persero).
Yeka menyampaikan, opsi pertama yakni pupuk subsidi alokasinya diberikan 100% sesuai dengan kebutuhan kepada para petani pangan dan holtikultura dengan luas lahan garapan di bawah 0,1 hektare.
“Perlu diketahui, petani pangan dan holtikultura yang luas lahan garapannya di bawah 0,1 hektare itu mencapai 60% dari seluruh rumah tangga petani Indonesia,” ungkapnya.
Opsi kedua, pupuk subsidi diberikan 100% hanya kepada petani dengan komoditas tertentu, dengan luas lahan garapan di bawah 0,5 hektare hanya untuk tanaman padi dan jagung saja.
“Opsi ketiga, pupuk subsidi diberikan kepada petani dengan luas lahan garapan di bawah 1 hektare dengan komoditas strategis. Akan tetapi kami memagari rasio alokasi dengan kebutuhannya minimal 60%,” terangnya.
Dalam kajiannya, Ombudsman mencatat terdapat lima potensi maladministrasi dalam tata kelola pupuk bersubsidi. Pertama, penentuan kriteria dan syarat petani penerima pupuk bersubsidi saat ini tidak diturunkan dari rujukan UU yang mengatur langsung pupuk bersubsidi, yakni UU No. 19 Tahun 2003 dan UU No. 22 Tahun 2019, serta UU No. 2 Tahun 2009. Kedua, Pendataan petani penerima pupuk bersubsidi dilakukan setiap tahun dengan proses yang lama dan berujung dengan tidak keakuratan pendataan.
“Hal ini berdampak pada buruknya perencanaan dan kisruhnya penyaluran pupuk bersubsidi,” kata Yeka dalam paparannya.
Ketiga, terbatasnya akses bagi petani untuk memperoleh pupuk bersubsidi serta permasalahan transparansi proses penunjukan distributor dan pengecer resmi. Keempat, mekanisme penyaluran pupuk bersubsidi yang belum selaras dengan asas pelayanan publik dengan prinsip enam tepat.
Baca juga: Umur Nabi Daud Ditulis di Lauhulmahfuz 60 Tahun tapi Wafat di Usia 100 Tahun, Ini Sebabnya
“Kelima, belum efektifnya mekanisme pengawasan pupuk bersubsidi sehingga belum tertanganinya secara efektif berbagai penyelewengan dalam penyaluran pupuk bersubsidi ini,” pungkas Yeka.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, mengatakan jumlah komoditas yang sangat banyak, pembatasan lahan kurang dari dua hektare, serta penggunaan pupuk bersubsidi yang lebih beragam mengakibatkan alokasi pupuk bersubsidi terhadap kebutuhannya rata-rata hanya mencapai 38%.
“Jadi, resultante dari 69 komoditas, lahan dua hektare, ragam pupuk bersubsidinya yang banyak, ternyata rata-rata petani itu hanya mendapatkan 38% dari kebutuhannya,” kata Yeka saat memaparkan hasil Kajian Sistemik Ombudsman tentang “Pencegahan Maladministrasi dalam Tata Kelola Pupuk Bersubsidi” pada Selasa (30/11/2021) di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan.
Hasil kajian tersebut disampaikan secara langsung kepada Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian BUMN, Kementerian Dalam Negeri, dan PT Pupuk Indonesia (Persero).
Yeka menyampaikan, opsi pertama yakni pupuk subsidi alokasinya diberikan 100% sesuai dengan kebutuhan kepada para petani pangan dan holtikultura dengan luas lahan garapan di bawah 0,1 hektare.
“Perlu diketahui, petani pangan dan holtikultura yang luas lahan garapannya di bawah 0,1 hektare itu mencapai 60% dari seluruh rumah tangga petani Indonesia,” ungkapnya.
Opsi kedua, pupuk subsidi diberikan 100% hanya kepada petani dengan komoditas tertentu, dengan luas lahan garapan di bawah 0,5 hektare hanya untuk tanaman padi dan jagung saja.
“Opsi ketiga, pupuk subsidi diberikan kepada petani dengan luas lahan garapan di bawah 1 hektare dengan komoditas strategis. Akan tetapi kami memagari rasio alokasi dengan kebutuhannya minimal 60%,” terangnya.
Dalam kajiannya, Ombudsman mencatat terdapat lima potensi maladministrasi dalam tata kelola pupuk bersubsidi. Pertama, penentuan kriteria dan syarat petani penerima pupuk bersubsidi saat ini tidak diturunkan dari rujukan UU yang mengatur langsung pupuk bersubsidi, yakni UU No. 19 Tahun 2003 dan UU No. 22 Tahun 2019, serta UU No. 2 Tahun 2009. Kedua, Pendataan petani penerima pupuk bersubsidi dilakukan setiap tahun dengan proses yang lama dan berujung dengan tidak keakuratan pendataan.
“Hal ini berdampak pada buruknya perencanaan dan kisruhnya penyaluran pupuk bersubsidi,” kata Yeka dalam paparannya.
Ketiga, terbatasnya akses bagi petani untuk memperoleh pupuk bersubsidi serta permasalahan transparansi proses penunjukan distributor dan pengecer resmi. Keempat, mekanisme penyaluran pupuk bersubsidi yang belum selaras dengan asas pelayanan publik dengan prinsip enam tepat.
Baca juga: Umur Nabi Daud Ditulis di Lauhulmahfuz 60 Tahun tapi Wafat di Usia 100 Tahun, Ini Sebabnya
“Kelima, belum efektifnya mekanisme pengawasan pupuk bersubsidi sehingga belum tertanganinya secara efektif berbagai penyelewengan dalam penyaluran pupuk bersubsidi ini,” pungkas Yeka.
(uka)