Gaduh Soal Label BPA Galon Isi Ulang, Pengusaha Depot Air Minum Angkat Bicara
loading...
A
A
A
JAKARTA - Industri galon isi ulang turut bersuara terkait rancangan kebijakan pelabelan risiko Bisfenol-A (BPA) digulirkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Ketua Umum Asosiasi Pemasok dan Distributor Depot Air Minum Indonesia Budi Dharmawan mengatakan bahwa pihaknya mendukung rancangan kebijakan BPOM sepanjang itu bertujuan untuk kepentingan kesehatan masyarakat.
"Sepanjang rancangan kebijakan BPOM memang berlatar keinginan untuk kepentingan kesehatan masyarakat secara luas, kami mendukungnya," kata dia, dikutip melalui pernyataan resmi, Senin (7/12/2021).
Menurut dia penolakan atas rancangan kebijakan pelabelan lebih karena persaingan memperebutkan pasar air minum kemasan bermerek di kalangan masyarakat menengah ke atas yang angkanya mencapai 35 miliar liter per tahun. Pihaknya merujuk pada persaingan antara perusahaan galon isi ulang bermerek yang produknya menggunakan plastik polikarbonat yang mengandung BPA dan telah 40 tahun lebih menguasai pasar versus sejumlah pemain baru yang produknya menggunakan plastik lebih berkelas dan bebas BPA. "Ini sebenarnya hanya pertarungan di level dewa," katanya.
Sementara, fokus bisnis industri depot air minum adalah penyediaan air bersih untuk kalangan menengah ke bawah sehingga akan tetap melayani masyarakat. "Bagi kami, andai konsumen datang untuk isi ulang ke depot dengan membawa ember tetap akan kami layani," tandas dia.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, semakin tinggi standar keamanan dan mutu pangan yang ditetapkan BPOM, tentunya semakin baik bagi perlindungan konsumen. Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM, Rita Endang sebelumnya menyampaikan, rancangan kebijakan (policy brief) yang telah digulirkan sejak awal 2021 itu adalah pencantuman label risiko BPA pada semua produk air minum dalam kemasan. "Redaksinya nanti bisa berupa kalimat 'mungkin atau dapat mengandung BPA' untuk galon yang menggunakan plastik polikarbonat," kata dia.
Sebagai informasi, pelabelan BPA Free atau Bebas BPA telah diadopsi pemerintah di sejumlah negara, termasuk di Amerika Serikat dan Perancis. BPA adalah bahan baku utama yang menjadikan polikarbonat, jenis plastik kemasan yang jamak dijumpai pada produk galon isi ulang karena mudah dibentuk, tahan panas dan awet.
Sebagai senyawa kimia, BPA dapat bermigrasi pada air dalam kemasan plastik dan memicu risiko kesehatan yang serius. Atas alasan itu, sejak 2019, BPOM menetapkan batas migrasi maksimal BPA sebesar 0,6 bagian per juta (mg/kg) pada semua air minum kemasan. BPOM secara rutin juga mengecek kepatuhan industri AMDK atas batas migrasi BPA itu.
"Sepanjang rancangan kebijakan BPOM memang berlatar keinginan untuk kepentingan kesehatan masyarakat secara luas, kami mendukungnya," kata dia, dikutip melalui pernyataan resmi, Senin (7/12/2021).
Menurut dia penolakan atas rancangan kebijakan pelabelan lebih karena persaingan memperebutkan pasar air minum kemasan bermerek di kalangan masyarakat menengah ke atas yang angkanya mencapai 35 miliar liter per tahun. Pihaknya merujuk pada persaingan antara perusahaan galon isi ulang bermerek yang produknya menggunakan plastik polikarbonat yang mengandung BPA dan telah 40 tahun lebih menguasai pasar versus sejumlah pemain baru yang produknya menggunakan plastik lebih berkelas dan bebas BPA. "Ini sebenarnya hanya pertarungan di level dewa," katanya.
Sementara, fokus bisnis industri depot air minum adalah penyediaan air bersih untuk kalangan menengah ke bawah sehingga akan tetap melayani masyarakat. "Bagi kami, andai konsumen datang untuk isi ulang ke depot dengan membawa ember tetap akan kami layani," tandas dia.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, semakin tinggi standar keamanan dan mutu pangan yang ditetapkan BPOM, tentunya semakin baik bagi perlindungan konsumen. Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM, Rita Endang sebelumnya menyampaikan, rancangan kebijakan (policy brief) yang telah digulirkan sejak awal 2021 itu adalah pencantuman label risiko BPA pada semua produk air minum dalam kemasan. "Redaksinya nanti bisa berupa kalimat 'mungkin atau dapat mengandung BPA' untuk galon yang menggunakan plastik polikarbonat," kata dia.
Sebagai informasi, pelabelan BPA Free atau Bebas BPA telah diadopsi pemerintah di sejumlah negara, termasuk di Amerika Serikat dan Perancis. BPA adalah bahan baku utama yang menjadikan polikarbonat, jenis plastik kemasan yang jamak dijumpai pada produk galon isi ulang karena mudah dibentuk, tahan panas dan awet.
Sebagai senyawa kimia, BPA dapat bermigrasi pada air dalam kemasan plastik dan memicu risiko kesehatan yang serius. Atas alasan itu, sejak 2019, BPOM menetapkan batas migrasi maksimal BPA sebesar 0,6 bagian per juta (mg/kg) pada semua air minum kemasan. BPOM secara rutin juga mengecek kepatuhan industri AMDK atas batas migrasi BPA itu.
(nng)