Asosiasi Depo Air Isi Ulang Tolak Rencana Pelabelan BPOM
loading...
A
A
A
JAKARTA - Asosiasi di Bidang Pengawasan dan Perlindungan terhadap Para Pengusaha Depot Air Minum (Asdamindo) dengan tegas menolak wacana Badan Pengawas Obat dan Makanan ( BPOM ) yang akan melabeli “Berpotensi Mengandung BPA” terhadap kemasan air minum dalam kemasan (AMDK) galon guna ulang .
Asdamindo juga tidak diundang BPOM dalam pertemuan konsultasi publik terkait rencana pelabelan tersebut yang dilakukan secara tertutup beberapa waktu lalu. Padahal mereka adalah pemangku kepentingan langsung yang akan terimbas kebijakan ini.
Ketua Asdamindo Erik Garnadi mengatakan, galon guna ulang berbahan PC sudah digunakan sejak puluhan tahun dan belum ada laporan kasus kesehatan. BPOM juga sudah melakukan uji klinis terhadap galon itu dan dinyatakan lulus uji dan aman dikonsumsi, baik bayi dan ibu hamil.
“Kenapa sekarang tiba-tiba galon berbahan BPA dipermasalahkan dan malah ada wacana melabeli BPA Free? Ini seperti ada persaingan bisnis di dalamnya. Kalau dilihat dari kacamata saya,” kata Erik, dalam keterangannya, Senin (13/12/2021).
Menurut Erik, wacana pelabelan “Berpotensi Mengandung BPA” terhadap kemasan galon guna ulang ini jelas-jelas sangat merugikan para pengusaha depot air minum isi ulang. Para pengusaha depot akan banyak yang tutup usahanya.
“Jadi, saya berharap permasalahan ini segera diselesaikan secara tuntas. Yang jelas, Asdamindo sangat tidak setuju dengan aturan tersebut,” ucapnya.
Kata Erik, seharusnya pemerintah tetap peduli terhadap para pengusaha kecil, termasuk pengusaha UMKM di depot air minum isi ulang.Menurut Erik, seharusnya yang lebih disoroti adalah soal kualitas air minum isi ulang yang ada di depot-depot yang tidak memiliki legalitas atau layak air minum.
Data dari Kemenkes menunjukkan baru 1,60% saja dari depot-depot air minum isi ulang yang ada di Indonesia yang memilik legalitas atau sertifikat hygienis. “Ini jauh lebih penting isunya ketimbang mempermasalahkan galon guna ulang yang sudah benar-benar ada uji klinisnya dari BPOM,” jelasnya.
Erik pun berharap pemerintah memberikan perhatian yang serius terhadap pengawasan yang ketat kepada depot air minum isi ulang yang tidak memiliki standar baku kesehatan.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (Aspadin) Rachmat Hidayat mengatakan, suatu pelabelan, apalagi pelabelan senyawa kimia berbahaya dan ditempelkan di satu produk makanan minuman, maka sama saja bagaikan vonis mati bagi produk.
“Produk consumer goods seperti AMDK, sangat rentan terhadap persepsi konsumen, persepsi masyarakat, jadi itu letak bahayanya. Selain itu bisa juga memicu persaingan tidak sehat karena nanti akan ada produk lain yang mengklaim tidak mengandung zat berbahaya itu. Ini akan akan luar biasa memukul,” kata Rachmat.
Sebelumnya,Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian Edy Sutopo menjelaskan, investasi dari sekitar 880 juta galon guna ulang yang beredar di pasaran saat ini diperkirakan mencapai Rp30,8 triliun. Air minum yang dikemas dalam galon guna ulang mendominasi profil industri minuman.
Menurutnya, secara pangsa pasar, 84% industri minuman dikuasai AMDK. Dari total pangsa pasar AMDK ini, 69% dikemas dalam galon guna ulang.
"Saat ini pelaku usahanya ada 900 unit, yang menyerap 40.000 tenaga kerja dan produksinya pada 2020 kurang lebih 29 miliar liter. Jadi, perlu kita pikirkan kalau akan mengganti ke galon sekali pakai," ujarnya.
Asdamindo juga tidak diundang BPOM dalam pertemuan konsultasi publik terkait rencana pelabelan tersebut yang dilakukan secara tertutup beberapa waktu lalu. Padahal mereka adalah pemangku kepentingan langsung yang akan terimbas kebijakan ini.
Ketua Asdamindo Erik Garnadi mengatakan, galon guna ulang berbahan PC sudah digunakan sejak puluhan tahun dan belum ada laporan kasus kesehatan. BPOM juga sudah melakukan uji klinis terhadap galon itu dan dinyatakan lulus uji dan aman dikonsumsi, baik bayi dan ibu hamil.
“Kenapa sekarang tiba-tiba galon berbahan BPA dipermasalahkan dan malah ada wacana melabeli BPA Free? Ini seperti ada persaingan bisnis di dalamnya. Kalau dilihat dari kacamata saya,” kata Erik, dalam keterangannya, Senin (13/12/2021).
Menurut Erik, wacana pelabelan “Berpotensi Mengandung BPA” terhadap kemasan galon guna ulang ini jelas-jelas sangat merugikan para pengusaha depot air minum isi ulang. Para pengusaha depot akan banyak yang tutup usahanya.
“Jadi, saya berharap permasalahan ini segera diselesaikan secara tuntas. Yang jelas, Asdamindo sangat tidak setuju dengan aturan tersebut,” ucapnya.
Kata Erik, seharusnya pemerintah tetap peduli terhadap para pengusaha kecil, termasuk pengusaha UMKM di depot air minum isi ulang.Menurut Erik, seharusnya yang lebih disoroti adalah soal kualitas air minum isi ulang yang ada di depot-depot yang tidak memiliki legalitas atau layak air minum.
Data dari Kemenkes menunjukkan baru 1,60% saja dari depot-depot air minum isi ulang yang ada di Indonesia yang memilik legalitas atau sertifikat hygienis. “Ini jauh lebih penting isunya ketimbang mempermasalahkan galon guna ulang yang sudah benar-benar ada uji klinisnya dari BPOM,” jelasnya.
Erik pun berharap pemerintah memberikan perhatian yang serius terhadap pengawasan yang ketat kepada depot air minum isi ulang yang tidak memiliki standar baku kesehatan.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (Aspadin) Rachmat Hidayat mengatakan, suatu pelabelan, apalagi pelabelan senyawa kimia berbahaya dan ditempelkan di satu produk makanan minuman, maka sama saja bagaikan vonis mati bagi produk.
“Produk consumer goods seperti AMDK, sangat rentan terhadap persepsi konsumen, persepsi masyarakat, jadi itu letak bahayanya. Selain itu bisa juga memicu persaingan tidak sehat karena nanti akan ada produk lain yang mengklaim tidak mengandung zat berbahaya itu. Ini akan akan luar biasa memukul,” kata Rachmat.
Sebelumnya,Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian Edy Sutopo menjelaskan, investasi dari sekitar 880 juta galon guna ulang yang beredar di pasaran saat ini diperkirakan mencapai Rp30,8 triliun. Air minum yang dikemas dalam galon guna ulang mendominasi profil industri minuman.
Menurutnya, secara pangsa pasar, 84% industri minuman dikuasai AMDK. Dari total pangsa pasar AMDK ini, 69% dikemas dalam galon guna ulang.
"Saat ini pelaku usahanya ada 900 unit, yang menyerap 40.000 tenaga kerja dan produksinya pada 2020 kurang lebih 29 miliar liter. Jadi, perlu kita pikirkan kalau akan mengganti ke galon sekali pakai," ujarnya.
(uka)