Keterbelakangan Teknologi, Petani Hadapi Krisis PR

Minggu, 19 Desember 2021 - 10:33 WIB
loading...
Keterbelakangan Teknologi, Petani Hadapi Krisis PR
Webinar PR Crisis dalam Pertanian Goes to MBKM PUSAKA yang diselenggarakan Tani Center IPB University, Sabtu (18/12/2021)
A A A
JAKARTA - Keterbelakangan teknologi dan krisis finansial yang dihadapi para petani memicu terjadinya krisis komunikasi di sektor pertanian . Krisis finansial terjadi masalah pada likuiditas, rentabilitas, dan solvabilitas. Sedangkan krisis komunikasi (public relation/PR) terjadi apabila strategi komunikasi yang dilakukan tidak tepat dan tidak ada tanggapan terhadap isu yang berpotensi menjadi krisis.

Demikian kesimpulan dari webinar PR Crisis dalam Pertanian Goes to MBKM PUSAKA yang diselenggarakan Tani Center IPB University, Sabtu (18/12/2021). Program ini diikuti oleh 5 perguruan tinggi, yakni IPB University, Universitas Wiralodra, Universitas Mahasaraswati, Universitas Bojonegoro, dan Sekolah Tinggi Pertanian (STIPER) Flores Bajawa.

Webinar ini disampaikan berdasarkan buku PR Crisis yang telah ditulis oleh tiga pemantik webinar. Firsan Nova, Dian Agustine Nuriman dan M. Akbar. Dengan harapan dapat memberikan pemahaman pada peserta mengenai krisis komunikasi yang terjadi di pertanian.

(Baca juga:Resmikan Embung di Jateng, Jokowi: Produktivitas Pertanian Diharapkan Meningkat)

“Krisis finansial dan krisis PR merupakan tantangan yang akan dihadapi juga pada bidang pertanian,” kata Firsan, selaku CEO Nexus Risk Mitigation & Strategic Communication.

Menurut Firsan, persepsi adalah realita. Sehingga apapun yang disuguhkan oleh media adalah fakta sampai perusahaan membangun narasi untuk menjawabnya.

Kini petani banyak yang memiliki keterbelakangan untuk mengadopsi teknologi, sehingga perlu dilakukan strategi komunikasi yang matang dalam mempersiapkan penggunaan teknologi.

“Dalam krisis sangat penting untuk melakukan analisis situasi, termasuk petani” ucap Dian, Founder of NAGARU Communication.

(Baca juga:Petani Milenial Belitung Kembangkan Pertanian Terintegrasi untuk Edukasi dan Pariwisata)

Salah satu penulis buku PR Crisis ini menegaskan bahwa melalui analisis situasi ini, petani dapat memahami produk, marketnya, strategi komunikasinya sehingga masyarakat dapat menerima dengan baik. Hal itu berhubungan dengan pembentukan reputasi produk.

Dian melanjutkan dalam mempertahankan citra positif butuh usaha yang luar biasa untuk membentuk reputasi. “Citra dapat dibentuk sekejap mata, namun dalam membentuk reputasi memerlukan waktu lebih lama (kurang lebih 5 tahun),” ujar Dian.

“Misalnya pada restoran saat ini banyak dari mereka yang menggunakan konsep open kitchen,” kata Dian. Upaya ini dilakukan sebagai bentuk transparansi karena mereka ingin membangun kepercayaan dari pelanggan. Namun, upaya tersebut harus konsisten, sehingga terlihat adanya bentuk tanggung jawab terhadap produk/jasa/layanan yang diberikan oleh perusahaan.

(Baca juga:Diterjang Material Vulkanik Letusan Gunung Semeru, 200 Hektare Lahan Pertanian Hancur)

Sementara itu M. Akbar mengatakan bahwa isu-isu mengenai pertanian masih inferior dan belum menjadi perhatian media. Akbar menjelaskan bahwa ketika dia mencari kata kunci pertanian dan tani pada Google Trend nampak secara grafik masih sangat rendah dibandingkan dengan kata kunci mengenai politik. Sehingga, dapat dikatakan isu-isu tentang pertanian masih belum dapat dikemas dengan baik oleh stakeholders terkait.

Sehingga Akbar menawarkan solusi agar strategi komunikasi dalam mempublikasi perihal pertanian dapat dikuatkan lagi pada media sosial. Sebab, dia mengamati hampir semua orang memiliki aplikasi media sosial pada smartphone-nya.

Akbar mengungkapkan bahwa kini kekuatan netizen tidak dapat dipandang sebelah mata. Terdapat pergeseran di mana dahulu masyarakat mendapatkan informasi melalui media, namun saat ini justru kebalikannya. Sehingga, Akbar berharap melalui kuliah tamu ini peserta dapat membuat konten-konten edukatif dan menarik mengenai pertanian.

Persoalan utama dalam pertanian adalah masalah penyusutan lahan. Diharapkan perusahaan dapat memetakan sejauhmana konversi lahan itu terjadi. Sehingga, dapat menentukan sikap, apakah akan mendukung, melawan atau netral. Hal tersebut yang biasanya dilakukan oleh PR.

“Mas Firsan biasanya mengatakan people love story,” kata Akbar. Maka perusahaan harus bisa menggali cerita dari para buruh tani atau justru pada anak-anak muda yang masih mau turun ke sawah.

Di sisi lain, Akbar juga menyampaikan bahwa sewaktu krisis, media menjadi sekutu yang kuat untuk menyampaikan pesan. Krisis terjadi karena, antara harapan dan kenyataan tidak selaras. Sehingga perlu dibangun pesan-pesan yang melalui media.

“Ketika menghadapi wartawan, sampaikan informasi seperlunya saja dan jangan sampai memberikan jawaban no comment. Sebab, media sudah memiliki frame saat akan menulis suatu artikel. Maka, untuk melengkapi framing segala tanggapan yang disampaikan narasumber akan menyempurnakan informasi yang dimiliki wartawan,” lanjut Akbar.
(dar)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1235 seconds (0.1#10.140)