Lima Jurus Memberangus Truk Obesitas
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sebelum menerapkan kebijakan Zero ODOL (over dimension over load) pemerintah harus siap mengatasi dampak yang ditimbulkannya, termasuk harus mempersiapkan informasi risiko mengenai dampak tersebut. Jika itu sudah dilakukan, bisa dipastikan pelaksanaan Zero ODOL akan bisa diimplementasikan tanpa adanya penolakan, baik dari industri maupun masyarakat yang terkena dampak.
Pandangan itu disampaikan pakar transportasi sekaligus dosen Institut Transportasi & Logistik Trisakti, Suripno, menanggapi banyaknya penolakan yang terjadi terhadap penerapan kebijakan Zero ODOL pada awal 2023 mendatang, baik dari industri maupun masyarakat.
“Jadi, masalah Zero ODOL bukan hanya terkait penegakan hukumnya saja, tapi juga dampaknya ke sektor lain dan masyarakat,” katanya, dalam keterangan tertulis, Rabu (5/1/2022).
Karena, kata Suripno, sesuai Pasal 6 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pemerintah harus menetapkan sasaran yang jelas, termasuk sasaran Zero ODOL.
“Zero ODOL sasarannya apa, itu harus jelas,” katanya.
Dia menyampaikan ada lima langkah yang harus dilakukan pemerintah sebelum menerapkan Zero ODOL. Pertama, pemerintah harus tahu dulu informasi dan konsekuensi sebelum memutuskan waktu penerapannya.
Kedua, pemerintah harus mengupayakan insentif. Artinya, kalau pelanggaran itu mau ditekan maka pemerintah harus berusaha mengondisikan supaya tidak terjadi pelanggaran.
“Dan itu bukan dengan melakukan penegakan hukum, tetapi dengan memengaruhi perilaku seperti cara memberi insentif kepada yang bekerja dengan efisien misalnya. Jika ada persyaratan kendaraan harus diperlebar, pemerintah butuh apa saja untuk menyiapkannya. Jadi, kebijakan itu bukan kebijakan untuk menghukum, tapi mencegah orang jangan sampai melanggar. Itu yang harus dipikirkan pemerintah untuk mengatasi dampak tadi,” tukasnya.
Termasuk, menurut Suripno, pemerintah juga harus memikirkan cara agar kebijakan Zero ODOL tidak berdampak kepada masyarakat dengan adanya kenaikan harga barang. “Jadi, kebijakan Zero ODOL jangan nanti kerugian yang ditimbulkannya lebih banyak dibanding manfaat,” tandasnya.
Langkah ketiga adalah mengubah regulasi agar orang tidak melanggar. Misalkan untuk kelas jalan, itu harus dinaikkan kapasitas dukungnya agar kendaraan-kendaraan yang berdimensi besar bisa melalui jalan tersebut sehingga orang cenderung tidak melanggar.
“Karena, meskipun kelas jalan setiap kendaraan sudah ditentukan, tapi kalau kelas jalan di ruas jalan itu tidak diubah maka tetap enggak boleh lewat di jalan. Itu berarti PP-nya harus direvisi. Harus dibedakan antara yang berlaku di kendaraan atau di ruas jalan,” katanya.
Keempat adalah sosialisasi. Untuk kepastian hukum, perlu dibuat rambu kelas jalan di semua jalan dan pemerintah harus mensosialisasikan kepada semua pemilik barang dan operator. “Tapi, rambu-rambu jalan itu juga tidak boleh langsung diberlakukan, harus disosialisasikan terlebih dulu, selama sebulan misalnya,” ujarnya.
Langkah kelima baru penegakan hukum. “Etikanya begitu. Jadi, tidak langsung jumping ke penegakan hukum seperti yang dilakukan sekarang. Sementara sasarannya belum jelas, insentif enggak jelas. Kalau sekarang kan bukan paket ya, dan Zero ODOL juga harusnya ditetapkan dengan peraturan presiden bukan Menteri Perhubungan,” ucapnya.
Kebijakan Zero ODOL berdampak pada banyak sektor, menurut Suripno, Presiden juga harus menunjuk siapa yang ditugasi untuk mengkoordinasikan seluruh kegiatan. “Kalau sekarang ini, Menteri Perhubungan minta kebijakan Zero ODOL diberlakukan pada 1 Januari 2023. Misalnya itu diterapkan dan membawa dampak pada perekonomian dan segala macam, Menteri Perhubungan bisa enggak bertanggung jawab atas hal ini? Kan enggak bisa. Nanti akhirnya Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian pada kena kan,” tukasnya.
Jadi, harus ada koordinatornya sehingga program kerjanya jelas. Misalnya, berapa lama kira-kira orang bisa menyesuaikan diri dan apa yang harus dilakukan pemerintah.
"Jadi terstruktur dan jelas sasarannya apa yang mau dituju. Sasarannya bukan dalam bentuk berapa banyak yang dikenakan sanksi, itu bukan sasaran,” tandasnya.
Pandangan itu disampaikan pakar transportasi sekaligus dosen Institut Transportasi & Logistik Trisakti, Suripno, menanggapi banyaknya penolakan yang terjadi terhadap penerapan kebijakan Zero ODOL pada awal 2023 mendatang, baik dari industri maupun masyarakat.
“Jadi, masalah Zero ODOL bukan hanya terkait penegakan hukumnya saja, tapi juga dampaknya ke sektor lain dan masyarakat,” katanya, dalam keterangan tertulis, Rabu (5/1/2022).
Karena, kata Suripno, sesuai Pasal 6 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pemerintah harus menetapkan sasaran yang jelas, termasuk sasaran Zero ODOL.
“Zero ODOL sasarannya apa, itu harus jelas,” katanya.
Dia menyampaikan ada lima langkah yang harus dilakukan pemerintah sebelum menerapkan Zero ODOL. Pertama, pemerintah harus tahu dulu informasi dan konsekuensi sebelum memutuskan waktu penerapannya.
Kedua, pemerintah harus mengupayakan insentif. Artinya, kalau pelanggaran itu mau ditekan maka pemerintah harus berusaha mengondisikan supaya tidak terjadi pelanggaran.
“Dan itu bukan dengan melakukan penegakan hukum, tetapi dengan memengaruhi perilaku seperti cara memberi insentif kepada yang bekerja dengan efisien misalnya. Jika ada persyaratan kendaraan harus diperlebar, pemerintah butuh apa saja untuk menyiapkannya. Jadi, kebijakan itu bukan kebijakan untuk menghukum, tapi mencegah orang jangan sampai melanggar. Itu yang harus dipikirkan pemerintah untuk mengatasi dampak tadi,” tukasnya.
Termasuk, menurut Suripno, pemerintah juga harus memikirkan cara agar kebijakan Zero ODOL tidak berdampak kepada masyarakat dengan adanya kenaikan harga barang. “Jadi, kebijakan Zero ODOL jangan nanti kerugian yang ditimbulkannya lebih banyak dibanding manfaat,” tandasnya.
Langkah ketiga adalah mengubah regulasi agar orang tidak melanggar. Misalkan untuk kelas jalan, itu harus dinaikkan kapasitas dukungnya agar kendaraan-kendaraan yang berdimensi besar bisa melalui jalan tersebut sehingga orang cenderung tidak melanggar.
“Karena, meskipun kelas jalan setiap kendaraan sudah ditentukan, tapi kalau kelas jalan di ruas jalan itu tidak diubah maka tetap enggak boleh lewat di jalan. Itu berarti PP-nya harus direvisi. Harus dibedakan antara yang berlaku di kendaraan atau di ruas jalan,” katanya.
Keempat adalah sosialisasi. Untuk kepastian hukum, perlu dibuat rambu kelas jalan di semua jalan dan pemerintah harus mensosialisasikan kepada semua pemilik barang dan operator. “Tapi, rambu-rambu jalan itu juga tidak boleh langsung diberlakukan, harus disosialisasikan terlebih dulu, selama sebulan misalnya,” ujarnya.
Langkah kelima baru penegakan hukum. “Etikanya begitu. Jadi, tidak langsung jumping ke penegakan hukum seperti yang dilakukan sekarang. Sementara sasarannya belum jelas, insentif enggak jelas. Kalau sekarang kan bukan paket ya, dan Zero ODOL juga harusnya ditetapkan dengan peraturan presiden bukan Menteri Perhubungan,” ucapnya.
Kebijakan Zero ODOL berdampak pada banyak sektor, menurut Suripno, Presiden juga harus menunjuk siapa yang ditugasi untuk mengkoordinasikan seluruh kegiatan. “Kalau sekarang ini, Menteri Perhubungan minta kebijakan Zero ODOL diberlakukan pada 1 Januari 2023. Misalnya itu diterapkan dan membawa dampak pada perekonomian dan segala macam, Menteri Perhubungan bisa enggak bertanggung jawab atas hal ini? Kan enggak bisa. Nanti akhirnya Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian pada kena kan,” tukasnya.
Jadi, harus ada koordinatornya sehingga program kerjanya jelas. Misalnya, berapa lama kira-kira orang bisa menyesuaikan diri dan apa yang harus dilakukan pemerintah.
"Jadi terstruktur dan jelas sasarannya apa yang mau dituju. Sasarannya bukan dalam bentuk berapa banyak yang dikenakan sanksi, itu bukan sasaran,” tandasnya.
(uka)