Perizinan Tambang dalam Revisi UU Minerba Dinilai Mengandung Polemik
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kepala divisi litigasi Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), Jamil Burhanudin menilai, beberapa pasal dalam revisi UU Minerba melanggar konstitusi. Seperti diketahui revisi UU Minerba baru saja ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI), tepatnya pada 12 Mei 2020 lalu.
"Bahkan sejumlah pasal tersebut berpotensi melanggar atau bertentangan dengan UUD RI 1945," tegas Jamil saat berbicara dalam diskusi daring bertajuk 'Catatan Kritis Undang-Undang Minerba', Rabu (10/6/2020).
Beberapa pasal yang mengandung polemik itu, di antaranya ketentuan mengenai pemberian izin tambang yang oleh Undang-Undang sebelumnya (Pasal 37 dan 38) didistribusikan kepada pemerintah daerah. Sementara, dalam UU perubahan dihapus menjadi kewenangan sepenuhnya pemerintah pusat.
Menurut Jamil, penghapusan ketentuan tersebut selain bertentangan dengan semangat otonomi daerah sebagai amanat reformasi, juga bertentangan dengan Pasal 18A UUD 1945. Oleh karenanya, sangat besar peluang inkonstitusinalitas pengahapusan pasal ini dalam revisi UU Minerba.
“Kalau mengacu pada Pasal 18A UUD 1945, penghapusan pasal 37 dan 38 di UU perubahan ini (penghapusan kewenangan daerah dalam pemberian izin tambang) mesti diuji di Mahkamah Konstitusi!,” tegas Jamil.
Alumni fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang itu juga menyoroti jangka waktu izin pertambangan. Di dalam revisi UU Minerba memberikan jaminan adanya kelanjutan operasi Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi IUPK sebagai kelanjutan operasi.
Tak hanya KK dan PKP2B, pemegang IUP dan IUPK pun menghirup angin segar yang sama dari perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tersebut (juga mendapatkan jaminan kelanjutan operasi).
Dalam UU Minerba yang lama perpanjangan izin tercantum dengan klausul "dapat diperpanjang" serta ditegaskan berapa kali dapat dilakukan perpanjangan itu (Pasal 47, Pasal 83), namun dalam UU perubahan diganti dengan klausul "dijamin memperoleh perpanjangan" tanpa ada kepastian berapa kali perpanjangan tersebut dapat dilakukan (Pasal 169, Pasal 169 A dan Pasal 169 B).
Menurut Jamil, ketentuan tersebut menutup ruang BUMN atau negara untuk melakukan pengelolaan terhadap izin yang akan mati. Pasalnya, menurut UU Nomor 4 Tahun 2009 kalau (izin) sudah mati harusnya kembali ke negara untuk dikelola. "(Tapi) kalau kemudian diperpanjang maka Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 serta tafsir MK mengenai penguasaan negara itu tidak ada artinya," imbuhnya.
Peneliti PUSHEP, Akmaludin Rachim mengatakan, selain bermasalah secara materiil, revisi UU Minerba juga cacat secara formil. Pasalnya, proses pengesahan atas revisi UU Nomor 4 Tahun 2009 tersebut tidak sesuai dengan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.
Akmal bilang, di antara permasalahan formil itu antara lain terkait dengan RUU Minerba yang tidak memenuhi kualifikasi sebagai RUU yang dapat dilanjutkan pembahasannya (carry over). Berdasarkan Pasal 17A UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan disebutkan bahwa carry over pembahasan RUU harus memenuhi syarat telah dilakukan pembahasan DIM.
"RUU Minerba merupakan RUU inisiatif DPR RI yang telah disusun drafnya oleh DPR RI pada periode sebelumnya yang hingga akhir masa jabatan belum pernah sekalipun dilakukan pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)," kata Akmal.
Catatan persoalan formil lainnya, urai Akmal, pembahasan RUU Minerba dilakukan secara tertutup dan tidak dilaksanakan di gedung DPR. Kemudian, RUU Minerba tidak melibatkan partisipasi publik dan stakeholders; materi RUU Minerba tidak dilakukan uji publik; pembahasan RUU Minerba tidak melibatkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Ditambah terang dia pengambilan keputusan atas RUU Minerba yang dilakukan dalam rapat kerja dengan virtual meeting catat hukum dan hasilnya batal demi hukum. "Revisi UU Minerba bukan hanya bisa diuji materiil, tapi juga sangat layak untuk diuji formil di MK," pungkasnya.
"Bahkan sejumlah pasal tersebut berpotensi melanggar atau bertentangan dengan UUD RI 1945," tegas Jamil saat berbicara dalam diskusi daring bertajuk 'Catatan Kritis Undang-Undang Minerba', Rabu (10/6/2020).
Beberapa pasal yang mengandung polemik itu, di antaranya ketentuan mengenai pemberian izin tambang yang oleh Undang-Undang sebelumnya (Pasal 37 dan 38) didistribusikan kepada pemerintah daerah. Sementara, dalam UU perubahan dihapus menjadi kewenangan sepenuhnya pemerintah pusat.
Menurut Jamil, penghapusan ketentuan tersebut selain bertentangan dengan semangat otonomi daerah sebagai amanat reformasi, juga bertentangan dengan Pasal 18A UUD 1945. Oleh karenanya, sangat besar peluang inkonstitusinalitas pengahapusan pasal ini dalam revisi UU Minerba.
“Kalau mengacu pada Pasal 18A UUD 1945, penghapusan pasal 37 dan 38 di UU perubahan ini (penghapusan kewenangan daerah dalam pemberian izin tambang) mesti diuji di Mahkamah Konstitusi!,” tegas Jamil.
Alumni fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang itu juga menyoroti jangka waktu izin pertambangan. Di dalam revisi UU Minerba memberikan jaminan adanya kelanjutan operasi Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi IUPK sebagai kelanjutan operasi.
Tak hanya KK dan PKP2B, pemegang IUP dan IUPK pun menghirup angin segar yang sama dari perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tersebut (juga mendapatkan jaminan kelanjutan operasi).
Dalam UU Minerba yang lama perpanjangan izin tercantum dengan klausul "dapat diperpanjang" serta ditegaskan berapa kali dapat dilakukan perpanjangan itu (Pasal 47, Pasal 83), namun dalam UU perubahan diganti dengan klausul "dijamin memperoleh perpanjangan" tanpa ada kepastian berapa kali perpanjangan tersebut dapat dilakukan (Pasal 169, Pasal 169 A dan Pasal 169 B).
Menurut Jamil, ketentuan tersebut menutup ruang BUMN atau negara untuk melakukan pengelolaan terhadap izin yang akan mati. Pasalnya, menurut UU Nomor 4 Tahun 2009 kalau (izin) sudah mati harusnya kembali ke negara untuk dikelola. "(Tapi) kalau kemudian diperpanjang maka Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 serta tafsir MK mengenai penguasaan negara itu tidak ada artinya," imbuhnya.
Peneliti PUSHEP, Akmaludin Rachim mengatakan, selain bermasalah secara materiil, revisi UU Minerba juga cacat secara formil. Pasalnya, proses pengesahan atas revisi UU Nomor 4 Tahun 2009 tersebut tidak sesuai dengan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.
Akmal bilang, di antara permasalahan formil itu antara lain terkait dengan RUU Minerba yang tidak memenuhi kualifikasi sebagai RUU yang dapat dilanjutkan pembahasannya (carry over). Berdasarkan Pasal 17A UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan disebutkan bahwa carry over pembahasan RUU harus memenuhi syarat telah dilakukan pembahasan DIM.
"RUU Minerba merupakan RUU inisiatif DPR RI yang telah disusun drafnya oleh DPR RI pada periode sebelumnya yang hingga akhir masa jabatan belum pernah sekalipun dilakukan pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)," kata Akmal.
Catatan persoalan formil lainnya, urai Akmal, pembahasan RUU Minerba dilakukan secara tertutup dan tidak dilaksanakan di gedung DPR. Kemudian, RUU Minerba tidak melibatkan partisipasi publik dan stakeholders; materi RUU Minerba tidak dilakukan uji publik; pembahasan RUU Minerba tidak melibatkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Ditambah terang dia pengambilan keputusan atas RUU Minerba yang dilakukan dalam rapat kerja dengan virtual meeting catat hukum dan hasilnya batal demi hukum. "Revisi UU Minerba bukan hanya bisa diuji materiil, tapi juga sangat layak untuk diuji formil di MK," pungkasnya.
(akr)