Digadang-gadang Jadi Dirut Pertamina, Ahok Terganjal Anggota Parpol
loading...
A
A
A
JAKARTA - Santer terdengar Menteri BUMN Erick Thohir bakal merombak jajaran direksi di tubuh perusahaan migas nasional yakni PT Pertamina (Persero). Sejumlah kandidat pun muncul salah satunya Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau akrab disapa Ahok.
Komisaris Utama Pertamina tersebut digadang-gadang bakal menggeser posisi direktur utama menggantikan Nicke Widyawati. Terkait itu, sejumlah kalangan pun ikut bersuara.
Pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Fahmy Radhi, misalnya berpendapat sosok Ahok dianggap kurang tepat menduduki presiden direktur di Pertamina.
Pasalnya, Ahok bukan dari kalangan profesional karena telah menjadi anggota partai politik walaupun dari sisi kualitas memimpin dan integritasnya tidak diragukan lagi.
Sebagaimana diketahui, Ahok saat ini telah menjadi anggota PDI Perjuangan sehingga kurang pantas menjadi nahkoda di perusahaan besar seperti Pertamina.
“Saya kira kurang pas, karena Ahok dari partai politik bukan murni dari profesional. Selain itu, Ahok juga belum pernah memimpin perusahaan besar apalagi Pertamina,” tandas dia kepada SINDO Media, di Jakarta, Rabu (10/6/2020). (Baca Juga :
Ahok Kandidat Dirut Pertamina, Pengamat: Tidak Jaminan )
Menurut dia, Ahok memang pantas memimpin tapi bukan di perusahaan sebesar Pertamina, melainkan lebih cocok duduk di pemerintahan untuk mendorong perbaikan regulasi perizinan, transparansi dan transformasi agar investasi energi jauh lebih baik. Fahmy pun memberikan pandangan terkait kriteria yang cocok menjadi dirut Pertamina.
“Dirut Pertamina alangkah baiknya bukan dari parpol walaupun punya track record bagus di pemerintahan. Integritas Ahok perlu dicontoh, tapi perlu kapabilitas dan pengalaman memimpin BUMN serta punya manajerial yang bagus memimpin perusahaan sebesar Pertamina,” kata dia.
Mantan Tim AntiMafia Migas ini pun mendukung langkah Erick Thohir merombak jajaran direksi hingga mengganti dirut Pertamina. Pasalnya, dirut Pertamina saat ini dianggap gagal menjadi nahkoda.
“Utamanya dalam melaksanakan program pembangunan kilang. Saya kira sulit terwujud karena jika melihat perkembangan saat ini belum menunjukkan progres signifikan,” kata dia.
Dia merinci sejumlah kilang yang hanya sebatas perjanjian di atas kertas diantaranya RDMP Kilang Cilacap bekerja sama dengan investor asal Arab Saudi, Saudi Aramco dan GRR Kilang Bontang bekerja sama dengan Overseas Oil and Gas LLC (OGG) asal Oman.
Menurut dia, kedua kilang tersebut gagal dibangun karena hanya sebatas perjanjian semu diatas kertas tanpa realisasi. Padahal, proyek kilang baik itu pengembangan (Refenery Development Master Plan/RDMP) dan kilang baru (Grass Root Refinery/GRR) telah menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN) yang diunggulkan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Namun faktanya banyak kerja sama yang hanya di atas kertas seperti RDMP Cilacap dan GRR Bontang. RDMP Cilacap saat ini terkatung-katung karena bertahun-tahun di-PHP oleh mitranya dari Saudi Aramco.
Perusahaan perminyakan asal Arab Saudi itu pada akhirnya ogah bermitra dengan Pertamina dengan alasan biaya yang ditawarkan tidak sesuai keekonomian proyek.
Begitu juga dengan GRR Bontang, pada akhirnya Pertamina ditinggalkan mitranya asal Oman yakni Overseas Oil and Gas LLC (OGG). Persoalan tersebut akhirnya Pertamina memutuskan menunda sementara proyek GRR Bontang.
“Padahal program peremajaan dan pembangunan kilang baru digadang presiden sejak awal periode pertama 2014 lalu tapi sampai sekarang tidak menunjukkan progres signifikan,” tuturnya.
Tidak hanya itu, top manajemen Pertamina juga dianggap tidak pro rakyat karena tidak menurunkan harga BBM saat harga minyak mentah global mengalami penurunan cukup tajam.
Sebab itu, Pertamina perlu pemimpin yang tepat agar kinerja lebih baik tapi juga tetap berpihak kepada rakyat karena perseroan diberikan mandat pemegang saham untuk tidak menambah beban tapi melayani masyarakat.
“Untuk itu perlu sosok baru yang mampu membawa kinerja Pertamina lebih baik tapi juga tidak lupa bahwa Pertamina sebagai public service obligation,” tandasnya.
Komisaris Utama Pertamina tersebut digadang-gadang bakal menggeser posisi direktur utama menggantikan Nicke Widyawati. Terkait itu, sejumlah kalangan pun ikut bersuara.
Pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Fahmy Radhi, misalnya berpendapat sosok Ahok dianggap kurang tepat menduduki presiden direktur di Pertamina.
Pasalnya, Ahok bukan dari kalangan profesional karena telah menjadi anggota partai politik walaupun dari sisi kualitas memimpin dan integritasnya tidak diragukan lagi.
Sebagaimana diketahui, Ahok saat ini telah menjadi anggota PDI Perjuangan sehingga kurang pantas menjadi nahkoda di perusahaan besar seperti Pertamina.
“Saya kira kurang pas, karena Ahok dari partai politik bukan murni dari profesional. Selain itu, Ahok juga belum pernah memimpin perusahaan besar apalagi Pertamina,” tandas dia kepada SINDO Media, di Jakarta, Rabu (10/6/2020). (Baca Juga :
Ahok Kandidat Dirut Pertamina, Pengamat: Tidak Jaminan )
Menurut dia, Ahok memang pantas memimpin tapi bukan di perusahaan sebesar Pertamina, melainkan lebih cocok duduk di pemerintahan untuk mendorong perbaikan regulasi perizinan, transparansi dan transformasi agar investasi energi jauh lebih baik. Fahmy pun memberikan pandangan terkait kriteria yang cocok menjadi dirut Pertamina.
“Dirut Pertamina alangkah baiknya bukan dari parpol walaupun punya track record bagus di pemerintahan. Integritas Ahok perlu dicontoh, tapi perlu kapabilitas dan pengalaman memimpin BUMN serta punya manajerial yang bagus memimpin perusahaan sebesar Pertamina,” kata dia.
Mantan Tim AntiMafia Migas ini pun mendukung langkah Erick Thohir merombak jajaran direksi hingga mengganti dirut Pertamina. Pasalnya, dirut Pertamina saat ini dianggap gagal menjadi nahkoda.
“Utamanya dalam melaksanakan program pembangunan kilang. Saya kira sulit terwujud karena jika melihat perkembangan saat ini belum menunjukkan progres signifikan,” kata dia.
Dia merinci sejumlah kilang yang hanya sebatas perjanjian di atas kertas diantaranya RDMP Kilang Cilacap bekerja sama dengan investor asal Arab Saudi, Saudi Aramco dan GRR Kilang Bontang bekerja sama dengan Overseas Oil and Gas LLC (OGG) asal Oman.
Menurut dia, kedua kilang tersebut gagal dibangun karena hanya sebatas perjanjian semu diatas kertas tanpa realisasi. Padahal, proyek kilang baik itu pengembangan (Refenery Development Master Plan/RDMP) dan kilang baru (Grass Root Refinery/GRR) telah menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN) yang diunggulkan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Namun faktanya banyak kerja sama yang hanya di atas kertas seperti RDMP Cilacap dan GRR Bontang. RDMP Cilacap saat ini terkatung-katung karena bertahun-tahun di-PHP oleh mitranya dari Saudi Aramco.
Perusahaan perminyakan asal Arab Saudi itu pada akhirnya ogah bermitra dengan Pertamina dengan alasan biaya yang ditawarkan tidak sesuai keekonomian proyek.
Begitu juga dengan GRR Bontang, pada akhirnya Pertamina ditinggalkan mitranya asal Oman yakni Overseas Oil and Gas LLC (OGG). Persoalan tersebut akhirnya Pertamina memutuskan menunda sementara proyek GRR Bontang.
“Padahal program peremajaan dan pembangunan kilang baru digadang presiden sejak awal periode pertama 2014 lalu tapi sampai sekarang tidak menunjukkan progres signifikan,” tuturnya.
Tidak hanya itu, top manajemen Pertamina juga dianggap tidak pro rakyat karena tidak menurunkan harga BBM saat harga minyak mentah global mengalami penurunan cukup tajam.
Sebab itu, Pertamina perlu pemimpin yang tepat agar kinerja lebih baik tapi juga tetap berpihak kepada rakyat karena perseroan diberikan mandat pemegang saham untuk tidak menambah beban tapi melayani masyarakat.
“Untuk itu perlu sosok baru yang mampu membawa kinerja Pertamina lebih baik tapi juga tidak lupa bahwa Pertamina sebagai public service obligation,” tandasnya.
(ind)