Harga Pertalite dan Pertamax Dinilai Perlu Dinaikkan, Ini Alasannya

Senin, 24 Januari 2022 - 15:51 WIB
loading...
Harga Pertalite dan...
Penjualan pertalite dan pertamax dinilai akan membebani keuangan Pertamina Patra Niaga jika tidak segera dilakukan penyesuaian. Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Harga minyak dunia yang telah naik mencapai level tertinggi sejak Oktober 2014, mencapai USD88,70/barel (Brent) dan USD85,86/barel (WTI) dipastikan membebani bisnis hilir PT Pertamina (Persero) melalui Pertamina Patra Niaga sebagai sub holding Commercial and Trading, jika harga jual pertalite dan pertamax tidak segera disesuaikan.

Hal ini disampaikan oleh Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan yang mengingatkan bahwa kedua jenis bahan bakar tersebut tergolong bahan bakar minyak (BBM) Umum yang tidak disubsidi. Artinya, jelas Mamit, Pertamina harus menanggung selisih harga jual kedua jenis BBM tersebut dengan harga keekonomiannya.



"Berdasarkan data, sepanjang 2021 lalu harga MOPS rata-rata sudah di atas USD80 per barelnya. Jika dihitung dengan formula harga sesuai dengan KepMen ESDM 62/2020 maka selisih harga jual dengan keekonomian mencapai Rp2.500 sampai Rp3.500/liter untuk BBM jenis pertamax dan pertalite," ungkap Mamit di Jakarta, Senin (24/1/2022).

Sementara, kata dia, sepanjang 2021 penjualan pertalite adalah 47% dari penjualan BBM nasional. Sedangkan pertamax mencatat pangsa 11% dari penjualan BBM nasional. Adapun penjualan BBM nasional berdasarkan data Pertamina sampai kuartal III/2021 menurutnya sebesar 34 juta kiloliter (KL). Prognosa penjualan sampai akhir tahun 2021 diperkirakan sebesar 48 juta KL.

"Jika kita simulasikan dengan 47% dari penjualan nasional 48 juta KL, maka pertalite menyumbang 22,5 juta KL dan pertamax 5,3 juta KL. Kemudian kita kalikan dengan selisih harga dari kedua produk tersebut, maka bisa dihitung berapa besar potensi rugi yang harus ditanggung Pertamina," tuturnya.

Beban ini menurutnya dipastikan membuat keuangan Pertamina Patra Niaga tertekan. Dampaknya saat dilakukan konsolidasi dengan keuangan induk usaha, maka keuangan Pertamina bisa terpukul cukup dalam. Karena itu, tegas Mamit, pemerintah perlu mencari solusi atas masalah ini.



Dia mendesak Pemerintah memberikan kebebasan bagi Pertamina Patra Niaga untuk melakukan penyesuaian harga pertalite dan pertamax. Hal ini menurutnya amat wajar mengingat badan usaha swasta sudah beberapa kali menyesuaikan harga produk BBM-nya.

"Saat ini harga BBM RON 90 di SPBU milik BP-AKR adalah Rp12.500/liter dan RON 92 Rp12.860/liter. Lalu Shell Rp12.040/liter dan VIVO Rp11.900/liter. Sementara Pertamina untuk RON 90 (pertalite) hanya Rp7.650/liter, jauh sekali selisihnya," kata dia.

Untuk pertamax dan BBM Umum lainnya, kata Mamit, Pertamina Patra Niaga seharusnya bisa menyesuaikan harga sesuai ketentuan yang diatur dalam KepMen ESDM No 20/2021 Pasal 8 Ayat 1, dimana harga jual eceran dihitung dan ditetapkan oleh badan usaha.

"Jelas sekali dalam KepMen ESDM 20/2021 tersebut mengatur mekanisme harga untuk BBM Umum. Jadi, saya kira Pertamina Patra Niaga bisa menyesuaikan harga sesuai dengan keekonomian. Daripada keuangan mereka nanti berdarah-darah," cetusnya.

Namun, imbuh Mamit, jika pemerintah keberatan menaikkan harga BBM Umum yang dijual Pertamina, maka setidaknya pemerintah mengubah status pertalite menjadi BBM Penugasan. Dengan begitu, Pertamina akan mendapatkan kompensasi.

Dalam aturan terbaru, Perpres 117/2021 terutama dalam pasal 3 Ayat 2 mengatur jenis BBM penugasan jenis bensin (gasoline) RON minimum 88 untuk didistribusikan di wilayah penugasan. Dengan demikian, kata Mamit, sangat memungkinkan jika BBM RON 90 (pertalite) diubah menjadi BBM Penugasan dan Pertamina mendapatkan kompensasi.



"Memang dalam Perpres tersebut dalam pasal 21B Ayat 1 sedikit mengatur soal pembagian dimana BBM RON 88 merupakan 50% dari volume jenis bensin RON 90 yang disediakan dan distribusikan oleh badan usaha penerima penugasan, hanya saja detail pelaksanaanya sampai saat ini belum jelas," katanya.

Mamit juga mengusulkan agar BBM RON 88 dihapuskan mengingat konsumsinya yang tinggal 7% dari total konsumsi BBM nasional saat ini. Penghapusannya juga disebut sejalan dengan komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi CO2.

"Sesuai dengan Permen LHK No 20/2017 memang sudah seharusnya BBM RON 88 ini dihapuskan. Apalagi konsumsinya secara nasional sudah sangat sedikit," tandasnya.
(fai)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2096 seconds (0.1#10.140)