Harta Karun di Lumpur Lapindo Tak Hanya Rare Earth, Siapa Pemiliknya?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Lumpur Lapindo belakangan kembali menjadi perbincangan setelah Badan Geologi Kementerian ESDM menemukan adanya potensi mineral super langka bernama Logam Tanah Jarang (LTJ) . Ditambah ternyata selain LTJ, lumpur Lapindo mengandung mineral lain yang jumlahnya lebih banyak daripada LTJ.
"Ada indikasi keberadaan dari logam tanah jarang ini, selain itu ada logam lainnya termasuk logam critical raw material (CRM) ini yang jumlahnya lebih besar," ujar Kepala Badan Geologi Eko Budi Lelono.
CRM sendiri adalah mineral mentah yang sangat penting untuk industri, contohnya bauksit, cobalt, antimoni, baryte dan lainnya. Berdasarkan keterangan dari Badan Geologi, CRM yang terkandung di kawasan ini berupa Litium (Li) dan Stronsium (Sr).
"Kandungan Litium di lumpur Lapindo memiliki kadar 99,26-280,46 ppm, dan Stronsium dengan kadar 255,44 - 650,49 pp," tulisnya.
Dua CRM ini ditemukan di dalam lumpur Lapindo dengan kedalaman 5 meter. Ke depan, perlu dilakukan penyelidikan yang lebih terperinci untuk mendapatkan data yang lebih detail dan pasti terkait jumlah sumber daya Litium dan Stronsium pada kandungan lumpur Sidoarjo.
Lithium sendiri merupakan salah satu mineral penting sebagai bahan baku komponen teknologi masa depan, salah satunya baterai, baik baterai untuk kendaraan listrik maupun baterai untuk pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Lalu jika memang lumpur Lapindo memiliki kandungan mineral yang berharga seperti rare earth , siapakah pemiliknya? Apakah masih menjadi milik Lapindo Brantas, atau sudah beralih ke pemerintah. Sebagai informasi, sebelumnya area Lumpur Lapindo ini masuk ke dalam Wilayah Kerja (WK/ Blok) migas Brantas yang dikelola salah satunya oleh PT Minarak Brantas Gas.
Pada tahun 2018 silam, pemerintah secara resmi telah memperpanjang pengelolaan Wilayah Kerja Brantas selama 20 tahun mulai 23 April 2020 kepada Lapindo Brantas Inc., PT. Prakarsa Brantas dan PT. Minarak Brantas Gas, di mana Lapindo Brantas Inc. sebagai operator. Belajar dari pengalaman terjadinya semburan lumpur tahun 2006 lalu, sebelum memberikan persetujuan, Pemerintah memeriksa secara mendalam proposal yang diajukan KKKS tersebut.
Pengelolaan WK Brantas oleh Lapindo Brantas, dinilai Pemerintah telah berjalan dengan baik. Meski demikian, Pemerintah meminta agar Lapindo serta KKKS lainnya harus tetap melakukan kegiatannya secara aman. Perpanjangan pengelolaan WK Brantas oleh Lapindo, juga diklaim mendapat dukungan dari pemerintah daerah serta masyarakat sekitar.
Alasan lain Pemerintah menyerahkan kembali pengelolaan WK Brantas ke Lapindo karena tidak ada perusahaan lain yang mengajukan permintaan untuk mengelolanya karena pernah terjadi semburan lumpur. Selain itu, pengembangan WK Brantas juga bermanfaat bagi penerimaan negara serta proyek jaringan distribusi gas bumi untuk rumah tangga (jargas).
Saat ini produksi WK tersebut rata-rata mencapai 20-25 MMSCFD dan diharapkan pada akhir tahun mencapai 30-35 MMSCFD. Rencananya pada tahun 2022-2023, produksi mencapai 100 MMSCFD dan 150 MMSCFD ditargetkan dapat tercapai pada 2025.
Untuk perpanjangan kontrak ini, Lapindo Brantas menyerahkan bonus tanda tangan (signature bonus) sebesar USD1 juta atau setara Rp 13,4 miliar. Sedangkan perkiraan total nilai investasi dari pelaksanaan komitmen kerja pasti lima tahun pertama adalah sebesar USD115,5 juta atau setara Rp 1,5 triliun (asumsi nilai tukar Rupiah sesuai APBN 2018 adalah sebesar Rp 13.400 per dolar Amerika Serikat). Komitmen ini terdiri dari seismic 3D sepanjang 600 km2, seismic 2D sepanjang 200 km dan pengeboran 4 sumur.
Sementara itu bila hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan mineral di dalam lumpur Lapindo ini bernilai ekonomis, maka terang Kepala Badan Geologi Eko Budi Lelono menjelaskan, seharusnya akan menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Ditjen Minerba) Kementerian ESDM untuk mengelolanya dan Ditjen Minerba berwenang untuk melelangnya.
Di sisi lain, berdasarkan data Badan Pemeriksa Keuangan, Lapindo pada akhir 2019 memiliki total utang mencapai Rp1,9 triliun. Nilai tersebut terdiri dari pokok utang sebesar Rp 773,38 miliar, bunga Rp 163,95 miliar, dan denda Rp981,42 miliar.
Utang ini merupakan Dana Talangan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang dibayarkan pemerintah pada 2015. Sesuai kesepakatan, pinjaman tersebut harus dibayar pada 10 Juli 2019. Hingga kini, Lapindo baru membayar utang Rp 5 miliar pada Desember 2018.
"Ada indikasi keberadaan dari logam tanah jarang ini, selain itu ada logam lainnya termasuk logam critical raw material (CRM) ini yang jumlahnya lebih besar," ujar Kepala Badan Geologi Eko Budi Lelono.
CRM sendiri adalah mineral mentah yang sangat penting untuk industri, contohnya bauksit, cobalt, antimoni, baryte dan lainnya. Berdasarkan keterangan dari Badan Geologi, CRM yang terkandung di kawasan ini berupa Litium (Li) dan Stronsium (Sr).
"Kandungan Litium di lumpur Lapindo memiliki kadar 99,26-280,46 ppm, dan Stronsium dengan kadar 255,44 - 650,49 pp," tulisnya.
Dua CRM ini ditemukan di dalam lumpur Lapindo dengan kedalaman 5 meter. Ke depan, perlu dilakukan penyelidikan yang lebih terperinci untuk mendapatkan data yang lebih detail dan pasti terkait jumlah sumber daya Litium dan Stronsium pada kandungan lumpur Sidoarjo.
Lithium sendiri merupakan salah satu mineral penting sebagai bahan baku komponen teknologi masa depan, salah satunya baterai, baik baterai untuk kendaraan listrik maupun baterai untuk pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Lalu jika memang lumpur Lapindo memiliki kandungan mineral yang berharga seperti rare earth , siapakah pemiliknya? Apakah masih menjadi milik Lapindo Brantas, atau sudah beralih ke pemerintah. Sebagai informasi, sebelumnya area Lumpur Lapindo ini masuk ke dalam Wilayah Kerja (WK/ Blok) migas Brantas yang dikelola salah satunya oleh PT Minarak Brantas Gas.
Pada tahun 2018 silam, pemerintah secara resmi telah memperpanjang pengelolaan Wilayah Kerja Brantas selama 20 tahun mulai 23 April 2020 kepada Lapindo Brantas Inc., PT. Prakarsa Brantas dan PT. Minarak Brantas Gas, di mana Lapindo Brantas Inc. sebagai operator. Belajar dari pengalaman terjadinya semburan lumpur tahun 2006 lalu, sebelum memberikan persetujuan, Pemerintah memeriksa secara mendalam proposal yang diajukan KKKS tersebut.
Pengelolaan WK Brantas oleh Lapindo Brantas, dinilai Pemerintah telah berjalan dengan baik. Meski demikian, Pemerintah meminta agar Lapindo serta KKKS lainnya harus tetap melakukan kegiatannya secara aman. Perpanjangan pengelolaan WK Brantas oleh Lapindo, juga diklaim mendapat dukungan dari pemerintah daerah serta masyarakat sekitar.
Alasan lain Pemerintah menyerahkan kembali pengelolaan WK Brantas ke Lapindo karena tidak ada perusahaan lain yang mengajukan permintaan untuk mengelolanya karena pernah terjadi semburan lumpur. Selain itu, pengembangan WK Brantas juga bermanfaat bagi penerimaan negara serta proyek jaringan distribusi gas bumi untuk rumah tangga (jargas).
Saat ini produksi WK tersebut rata-rata mencapai 20-25 MMSCFD dan diharapkan pada akhir tahun mencapai 30-35 MMSCFD. Rencananya pada tahun 2022-2023, produksi mencapai 100 MMSCFD dan 150 MMSCFD ditargetkan dapat tercapai pada 2025.
Untuk perpanjangan kontrak ini, Lapindo Brantas menyerahkan bonus tanda tangan (signature bonus) sebesar USD1 juta atau setara Rp 13,4 miliar. Sedangkan perkiraan total nilai investasi dari pelaksanaan komitmen kerja pasti lima tahun pertama adalah sebesar USD115,5 juta atau setara Rp 1,5 triliun (asumsi nilai tukar Rupiah sesuai APBN 2018 adalah sebesar Rp 13.400 per dolar Amerika Serikat). Komitmen ini terdiri dari seismic 3D sepanjang 600 km2, seismic 2D sepanjang 200 km dan pengeboran 4 sumur.
Sementara itu bila hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan mineral di dalam lumpur Lapindo ini bernilai ekonomis, maka terang Kepala Badan Geologi Eko Budi Lelono menjelaskan, seharusnya akan menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Ditjen Minerba) Kementerian ESDM untuk mengelolanya dan Ditjen Minerba berwenang untuk melelangnya.
Di sisi lain, berdasarkan data Badan Pemeriksa Keuangan, Lapindo pada akhir 2019 memiliki total utang mencapai Rp1,9 triliun. Nilai tersebut terdiri dari pokok utang sebesar Rp 773,38 miliar, bunga Rp 163,95 miliar, dan denda Rp981,42 miliar.
Utang ini merupakan Dana Talangan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang dibayarkan pemerintah pada 2015. Sesuai kesepakatan, pinjaman tersebut harus dibayar pada 10 Juli 2019. Hingga kini, Lapindo baru membayar utang Rp 5 miliar pada Desember 2018.
(akr)