YLKI Sebut Kemendag Gagal Kendalikan Harga Minyak Goreng

Minggu, 30 Januari 2022 - 15:23 WIB
loading...
YLKI Sebut Kemendag...
Pedagang menata minyak goreng kemasan di kiosnya. Foto/Dok Antara
A A A
JAKARTA - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai kebijakan Kementerian Perdagangan (Kemendag) tidak efektif dalam mengendalikan harga minyak goreng.

Ketua YLKI Tulus Abadi dalam acara Syndicate Update-Forum Ekonomi dan Bisnis, menyebut pemerintah gagal dalam memahami psikologi konsumen dan rantai pasok minyak goreng di Indonesia.

“Pemerintah gagal memahami psikologi konsumen dan supply chain-nya, serta belum ada kebijakan minyak goreng dari hulu dan hilir. Akhirnya, dari seluruh kebijakan pemerintah sia-sia dan tidak efektif sampai hari ini,” ujarnya secara virtual, dikutip Minggu (30/1/2022).



Menurut dia, persoalan hulu dan hilir minyak goreng seharusnya dituntaskan. Sayangnya, belum ada aksi komprehensif untuk menyelesaikannya. Tulus menduga ada sindikat atau semacam kartel di balik melambungnya harga minyak goreng.

"Bahkan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) bilang hanya ada empat perusahaan yang menguasai perdagangan minyak goreng di Indonesia. Pemerintah, melalui Polri dan KPPU mesti mengusut dugaan kartel dan kemungkinan adanya penimbunan,” tandasnya.

Sementara itu, pada kesempatan yang sama Direktur Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung menyoroti kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) minyak goreng yang baru-baru ini diumumkan oleh Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi.

Tungkot menilai kebijakan tersebut masih parsial saja dan akan menimbulkan masalah baru. “Kalau pelaku usaha melakukan komitmen 20% untuk DMO itu, siapa yang mengelola dan di mana mau ditaruh, ada tangki penampungnya apa tidak? Lebih dari itu, kalau HET (Harga Eceran Tertinggi) terlalu kecil, ada kemungkinan nanti penyelundupan ke luar negeri,” cetusnya.



Dia menyebut perlunya penjelasan lebih rinci dan menyeluruh terkait teknis pelaksanaan DMO dan DPO. Selain itu, diperlukan juga kombinasi kebijakan seperti menaikkan pajak ekspor produk turunan minyak sawit. “Dengan hasil pajak itu, pemerintah seharusnya bisa melakukan subsidi minyak goreng,” tukasnya.

Opsi menaikkan pajak ekspor minyak sawit dan turunannya ini diharapkan bisa mengombinasikan kebijakan yang sudah diambil sehingga akan memberikan dampak struktural yang efekfif dalam tata kelola industri minyak sawit di Indonesia.

Lebih lanjut, Tungkot menyebut naiknya harga minyak goreng di Indonesia disebabkan meroketnya harga minyak sawit di dunia serta kegagalan pemerintah untuk menahan lonjakan harga di pasar domestik.

Dia bilang, sebenarnya pemerintah sudah punya kuda-kuda untuk menjamin ketersediaan dan mengendalikan harga minyak goreng. Sayangnya, kebijakan pungutan pajak ekspor dibuat saat harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) sedang murah.

“Jadi mau tidak mau, pemerintah melakukan subsidi. Menjadi tidak efektif, karena 60% konsumen minyak goreng di Indonesia itu produksinya minyak curah. Paling mudah melakukan subsidi itu untuk minyak goreng kemasan,” tandasnya.



Sebagai informasi, kebijakan DMO yang dikeluarkan Kemendag mewajibkan seluruh produsen dan eksportir minyak goreng untuk mengalokasikan 20% dari volume ekspor untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng dalam negeri.

Seiring penerapan kebijakan DMO, Kemendag juga akan menerapkan kebijakan DPO sebesar Rp9.300 per kg untuk CPO dan Rp10.300 per kg untuk olein.
(ind)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1465 seconds (0.1#10.140)