Pakar Marketing Bedah Fenomena Artis Beli Klub Bola Indonesia, Tujuannya Buat Apa?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Fenomena sejumlah artis ibu kota membeli saham klub sepak bola menjadi topik pembicaraan di publik belakangan ini. Selain membawa wajah baru dalam industri dunia olahraga, masuknya figur publik juga merupakan pendobrak kelaziman bagi pemilik klub yang selama ini hanya dimiliki pengusaha konvensional.
Menyusul Raffi Ahmad, Kaesang Pangarep, hingga Atta Halilintar, belakangan ini Prilly Latuconsina resmi mengakuisisi Persikota Tangerang, sebuah klub yang berlaga di Liga 3. Publik tentu bertanya, seberapa kuat daya tarik artis atas dunia kulit bundar, apakah bisa komitmen atas sekadar mengikuti tren semata?
Menjawab hal itu, Pakar Marketing dan Managing Partner Inventure Yuswohady menilai masuknya figur publik seperti artis dalam industri sepak bola mampu mendongkrak nilai pasar suatu klub bola. Bermodal fans dan pengikutnya di jagad media sosial, ketenaran artis dan kemampuan modalnya dinilai menjadi magnet bagi investor lain untuk ikut menanamkan dananya dalam sebuah klub.
"Sebenarnya kalau dari sisi branding, artis itu adalah brand. Dia punya massa. Klub sepak bola itu juga brand, dia juga punya massa. Artinya kalau dia (artis) itu beli, maka seperti disatukan (massa) nya," kata Siwo, panggilan akrabnya saat dihubungi MNC Portal Indonesia, Selasa (1/2/2022).
Siwo menilai memiliki pengikut konsumen dan ekosistem yang besar merupakan dasar utama sebuah sponsor mau menginjakkan kakinya dalam sebuah klub. Menurut Siwo, masuknya artis dalam dunia olahraga justru memperbesar peluang bisnis hiburan di tanah air sekaligus memajukan pendanaan industri olahraga.
"Jadi sebenarnya bisnis artis dan bisnis sepak bola itu sama, jadi sama-sama mengelola dan memonetisasi hiburan, jadi bisnisnya itu, bola itu punya (produk) hiburan, artis juga punya (produk) hiburan," tuturnya.
Siwo membaca ada potensi yang besar saat kedua industri hiburan tersebut disatukan. Sajian bola di layar kaca nantinya tidak hanya berkutat pada ketegangan pertandingan semata.
"Jadi sepak bola itu bisa tak hanya dibawa ke pertandingan, tetapi juga di entertainment, dan itu sah-sah saja. Itu akan membuat dunia sepak bola jadi populer, dan massanya akan banyak. Jadi memang make sense.
Ikut Tren Semata?
Di lain hal Siwo mempertanyakan, apakah dengan akuisisi ini, para artis mampu mempertahankan bisnis yang mereka beli. Baginya, kunci utama sebuah bisnis adalah manajemen, keberlanjutan dan komitmen pengelolaan.
"Tapi sekali lagi, kuncinya itu ada di komitmen dan manajemen. Perlu dipertanyakan apakah saat dibeli artis itu kinerja manajemen klubnya jadi mumpuni tidak," tanyanya.
Siwo memahami bahwa massa yang besar membuat iklan yang masuk bagi klub sepak bola menjadi mahal atau minimal bertambah valuenya. Baginya, langkah akuisisi artis ini adalah hal yang baik dengan catatan tidak sekadar mengikuti tren.
Sejalan dengan sifat tren yang tumbuh-tenggelam, Siwo mengkhawatirkan ada ketidakberlanjutan komitmen artis dalam sebuah klub saat ketenaran klub ataupun sosok sang artis telah meredup.
"Ketika sudah berjalan lima tahun sepuluh tahun, dan dunia persepakbolaan tidak heboh lagi, apakah mereka mau komitmen lagi, memunculkan brandnya, effortnya tidak, karena kemudian kalau dia cuma ngikuti tren, ya paling tiga tahun lagi saat trennya sudah tidak bagus, ya dia akan keluar," kata dia.
Menyusul Raffi Ahmad, Kaesang Pangarep, hingga Atta Halilintar, belakangan ini Prilly Latuconsina resmi mengakuisisi Persikota Tangerang, sebuah klub yang berlaga di Liga 3. Publik tentu bertanya, seberapa kuat daya tarik artis atas dunia kulit bundar, apakah bisa komitmen atas sekadar mengikuti tren semata?
Menjawab hal itu, Pakar Marketing dan Managing Partner Inventure Yuswohady menilai masuknya figur publik seperti artis dalam industri sepak bola mampu mendongkrak nilai pasar suatu klub bola. Bermodal fans dan pengikutnya di jagad media sosial, ketenaran artis dan kemampuan modalnya dinilai menjadi magnet bagi investor lain untuk ikut menanamkan dananya dalam sebuah klub.
"Sebenarnya kalau dari sisi branding, artis itu adalah brand. Dia punya massa. Klub sepak bola itu juga brand, dia juga punya massa. Artinya kalau dia (artis) itu beli, maka seperti disatukan (massa) nya," kata Siwo, panggilan akrabnya saat dihubungi MNC Portal Indonesia, Selasa (1/2/2022).
Siwo menilai memiliki pengikut konsumen dan ekosistem yang besar merupakan dasar utama sebuah sponsor mau menginjakkan kakinya dalam sebuah klub. Menurut Siwo, masuknya artis dalam dunia olahraga justru memperbesar peluang bisnis hiburan di tanah air sekaligus memajukan pendanaan industri olahraga.
"Jadi sebenarnya bisnis artis dan bisnis sepak bola itu sama, jadi sama-sama mengelola dan memonetisasi hiburan, jadi bisnisnya itu, bola itu punya (produk) hiburan, artis juga punya (produk) hiburan," tuturnya.
Siwo membaca ada potensi yang besar saat kedua industri hiburan tersebut disatukan. Sajian bola di layar kaca nantinya tidak hanya berkutat pada ketegangan pertandingan semata.
"Jadi sepak bola itu bisa tak hanya dibawa ke pertandingan, tetapi juga di entertainment, dan itu sah-sah saja. Itu akan membuat dunia sepak bola jadi populer, dan massanya akan banyak. Jadi memang make sense.
Ikut Tren Semata?
Di lain hal Siwo mempertanyakan, apakah dengan akuisisi ini, para artis mampu mempertahankan bisnis yang mereka beli. Baginya, kunci utama sebuah bisnis adalah manajemen, keberlanjutan dan komitmen pengelolaan.
"Tapi sekali lagi, kuncinya itu ada di komitmen dan manajemen. Perlu dipertanyakan apakah saat dibeli artis itu kinerja manajemen klubnya jadi mumpuni tidak," tanyanya.
Siwo memahami bahwa massa yang besar membuat iklan yang masuk bagi klub sepak bola menjadi mahal atau minimal bertambah valuenya. Baginya, langkah akuisisi artis ini adalah hal yang baik dengan catatan tidak sekadar mengikuti tren.
Sejalan dengan sifat tren yang tumbuh-tenggelam, Siwo mengkhawatirkan ada ketidakberlanjutan komitmen artis dalam sebuah klub saat ketenaran klub ataupun sosok sang artis telah meredup.
"Ketika sudah berjalan lima tahun sepuluh tahun, dan dunia persepakbolaan tidak heboh lagi, apakah mereka mau komitmen lagi, memunculkan brandnya, effortnya tidak, karena kemudian kalau dia cuma ngikuti tren, ya paling tiga tahun lagi saat trennya sudah tidak bagus, ya dia akan keluar," kata dia.
(nng)