Menanti Jurus Tepat Kendalikan Minyak Goreng

Selasa, 08 Februari 2022 - 11:49 WIB
loading...
Menanti Jurus Tepat Kendalikan Minyak Goreng
Belum ada solusi jitu mengendalikan harga minyak goreng. FOTO/WIN CAHYONO
A A A
JAKARTA - Jurus apa yang paling tepat untuk mengendalikan harga minyak goreng ? Pertanyaannya ini relevan disampaikan karena berbagai langkah yang telah dikeluarkan pemerintah belum mampu mengatasi kelangkaan dan mengendalikan salah satu bahan pokok tersebut yang telah terjadi selama dua bulan ini.

Sejauh ini pemerintah telah mengambil beberapa langkah dan berganti-ganti kebijakan. Langkah pertama menetapkan satu harga Rp14.000 per liter. Resep ini ternyata tak manjur meredam karena di pasaran, terutama tradisional, harganya masih berkisar Rp18.000-20.000 per liter.

Selanjutnya pemerintah mengeluarkan kebijakan baru, menetapkan harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng curah Rp11.500 per liter, kemasan sederhana Rp13.500, dan kemasan premium Rp14.000 per liter. Lagi-lagi resep ini tidak mujarab.



Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bahkan menyebut langkah pemerintah ibarat mengobati penyakit, tapi salah obat. Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengaku terus memonitor harga dan ketersediaan pasokan minyak goreng di lapangan. Untuk itu, YLKI mendorong pemerintah mengevaluasi kebijakan yang tak mujarab itu.

Salah satu faktor pemicu kelangkaan hingga harga minyak goreng tidak bisa dikendalikan, berdasar informasi dari beberapa asosiasi terkait rantai minyak goreng, harga yang ditetapkan terlalu rendah.

”Saya sudah sampaikan kepada Dirjen Perdagangan Dalam Negeri bahwa sebaiknya pemerintah menetapkan harga yang wajar. Jadi, profitnya berapa dari biaya pokok. Kalau ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan lebih tinggi diberikan sanksi,” ujarnya saat dihubungi KORAN SINDO, Senin (7/2).

Persoalan lain yang turut memicu kenaikan dan kelangkaan minyak goreng yakni tarik-menarik alokasi minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) untuk energi dan pangan.

“Ini pemerintah di satu sisi fokus CPO untuk B-20 (biodesel 20%) dan seterusnya sehingga para produsen (CPO) lebih banyak mengalokasikan untuk keperluan B-20. Akhirnya kebutuhan untuk minyak goreng berkurang atau berebutan. Ini harus dilihat porsinya. Kalau menurut saya, fokus dulu ke pangan karena menyangkut kebutuhan perut,” desaknya.



YLKI pun meminta pemerintah membenahi masalah di hulu, yaitu mengatur prioritas alokasi antara CPO untuk energi dan pangan. Tulus menuturkan, industri CPO lebih tertarik mengalokasikan untuk energi karena ada insentif yang diberikan, sedangkan untuk pangan tidak ada.

“Harus ada upaya penegakan hukum, apakah ada penimbun-penimbun besar? Apa namanya distributor yang menimbun yang kemudian mengganggu market? Kalau ini dilakukan, harus diberi sanksi karena melanggar UU PERDAGANGAN,” ungkapnya.

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (Dirjen PDN) Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan mengakui hingga kini minyak goreng masih tetap langka di pasaran. Sebelumnya, akibat pemerintah menerapkan kebijakan minyak goreng kemasan sederhana harus dengan harga Rp14.000/liter ternyata infrastruktur kemasan sederhana belum siap.

Untuk itu, pemerintah melihat infrastruktur mana saja yang sudah siap kemudian dibuat dan dilaksanakan kebijakan lain, yakni satu harga untuk minyak goreng kemasan hingga minyak goreng premium. Di sisi lain, lagi-lagi implementasi kebijakan itu belum optimal sehingga pemerintah menerapkan instrumen kebijakan domestic maket obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO).

"Kenyataannya tidak optimal juga. Makanya kami mainkan lagi. Ada indikasi kebocoran di ekspor, ya sudah kami terapkan DMO dan DPO. Artinya, pasok dulu ke dalam negeri," ujar Oke, saat menjadi pembicara diskusi publik virtual bertajuk "Minyak Goreng Naik, Subsidi atau DMO-DPO?" yang diselenggarakan Indef, Kamis (3/2).

Oke menjelaskan, kebijakan DMO dan DPO dimaksudkan agar ketersediaan bahan baku minyak goreng di dalam negeri terjamin yang kemudian akan membuat harga minyak goreng di pasaran lebih terjangkau. Dengan penerapan DMO dan DPO, hingga awal Februari 2022 sudah ada 4,6 juta liter alokasi minyak goreng untuk ritel modern. Selain itu, bersamaan dengan pelaksanaan DMO dan DPO, pemerintah melalui Kemendag telah menetapkan aturan HET untuk menjaga stabilitas harga minyak goreng dalam negeri.

Menurut Oke, Kemendag juga telah menyiapkan berbagai kebijakan lain jika kewajiban para eksportir memenuhi 20% kebutuhan dalam negeri tidak berjalan.

"Pemikiran kami sudah berjenjang, dari mekanisme kemasan sederhana, satu harga, DMO, DPO. Bahkan, kami sudah siapkan lagi berbagai policy lain manakala ini tidak bisa jalan. Saya sudah menyiapkan berbagai langkah yang memang harus kita lakukan. Bentuk lainnya ada. Saya tidak perlu disebutkan di sini. Ini bukan trial and error," bebernya.

Untuk diketahui, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi telah meneken Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 6/2022 tentang Penetapan HET Minyak Goreng Sawit. Di dalam Permendag ini termaktub HET minyak goreng curah ditetapkan Rp11.500/liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500/liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp14.000/liter. Beleid ini mulai berlaku sejak 1 Februari 2022.

Menurut Oke, peraturan ini merupakan sebagai wujud kepedulian dan keberpihakan pemerintah kepada masyarakat guna menghadirkan harga minyak goreng yang terjangkau. Dia pun mengingatkan bahwa Permendag Nomor 6 ini harus menjadi landasan utama bagi para produsen minyak goreng. Melalui Kemendag pula pemerintah akan terus memastikan ketersediaan dan pasokan serta harga minyak goreng di pasaran.

"Yang sedang kami gelontorkan saat ini adalah ketersediaan minyak goreng curah di pasar tradisional itu yang kami fokuskan. Ketersediaan minyak goreng curah di pasar tradisional akan mengurangi beban ritel modern dari serbuan masyarakat. Itu yang sedang kami upayakan," ujarnya.

Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung mengatakan, penentuan HET minyak goreng oleh pemerintah adalah hal bagus. Karena itu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di saat harga CPO naik signifikan. Hanya, yang perlu digarisbawahi adalah sosialisasi dan terkesan buru-buru yang membuat berbagai pihak kelabakan dengan kebijakan tersebut.

‘’Persoalan sekarang adalah ketidaksiapan pelaku pasar, dalam hal ini korporasi. Demikian juga pemerintah, dalam hal ini Kemendag. Harusnya kan lebih tegas dalam hal menyampaikan ini dan ada sosialisasi sejak dini sehingga tidak terjadi kejutan terhadap pasar,’’ katanya.

Indonesia sebagai negara penghasil kelapa sawit terbesar juga mengekspor CPO ke luar negeri yang kini menjadi kebutuhan dunia. Lantaran penentuan HET yang ditentukan membuat berbagai pihak tidak siap, Gulat menuturkan, sempat terjadi stagnasi atau saling tahan atau saling kunci.

‘’Korporasi saling kunci, tidak mau memberikan dengan hitungannya tersendiri. Sebaliknya, pemerintah mengunci tidak memberikan izin ekspor. Dengan berjalannya waktu, per hari ini sudah bagus situasi, sudah mulai turun karena memang butuh waktu saja. Pemerintah sudah menyiapkan perangkat lunaknya dalam konteks juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk tekni),’’ ucapnya.

Gulat menandaskan bahwa seharusnya petani tidak dirugikan dengan kondisi yang terjadi. Faktanya, setelah pengumuman tentang DMO/DPO pada 27 Januari kemarin harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit anjlok.

‘’Nah inilah spasi daripada spekulan bermain dengan menghembuskan isu TBS flat harga CPO flat Rp9.300 padahal Rp9.300 itu kan hanya 20% dari produksi CPO. Tetapi pabrik-pabrik menggunakan harga Rp9.300 dalam menentukan harga TBS petani, anjlok sampai 30% saat itu,’’ ungkapnya.

Namun, pada 30 Januari Menteri Perdagangan mengajak asosiasi kelapa sawit, termasuk Apkasindo, untuk berdiskusi. Saat itu Menteri Perdagangan memberi sinyal bagus. Pihak asosiasi pun sepakat untuk menyukseskan DMO/DPO.

‘’Pak Menteri memerintahkan untuk mengawal tender CPO yang dilakukan oleh KPBN karena semua bermuara di situ. Harga KPBN itulah kiblat dari TBS Indonesia. Jadi, petani terjaga, produsen CPO tidak kebingungan dengan harga yang jelas Rp15.000 pada 31 Januari. Namun, diumumkan harga tender CPO pukul 10.00. Pukul 12.00 siang berubah, harga semua TBS petani naik kembali normal. Sebenarnya niat pemerintah yang dimainkan spekulan dalam hal ini pabrik diiringi surat edaran dari Dirjen Perkebunan kepada semua pabrik agar berkiblat pada tender CPO KPBN untuk mengeluarkan atau membuat harga TBS petani,’’ tuturnya.

Dia kemudian menjelaskan, situasi saat ini sudah mulai landai karena sudah menuju harga pasar. Menurut Gulat, tidak ada yang rugi di Indonesia dengan tender harga Rp15.000 per kilogram CPO walaupun pada hari yang bersamaan harga CPO dunia itu sudah Rp19.000.

Terkait dengan masih tingginya harga minyak goreng di Indonesia, padahal sebagai negara penghasil sawit, Gulat menuturkan hal itu sudah diperkirakan sejak Presiden meluncurkan mandatory B-30 dan harga CPO dalam negeri per Januari sudah naik.

‘’Kata kuncinya adalah serapan domestik dalam negeri meningkat. Nah, yang dulunya ekspor CPO kita 80% sisanya bentuk turunan. Sekarang terbalik, ekspor CPO tidak sampai 10%. Semua sudah dalam bentuk produk turunan,’’ tuturnya.

Soal harga jual minyak goreng yang lebih tinggi dibanding Malaysia, Gulat menuturkan bahwa negeri tetangga itu sejak dulu memproteksi dalam negeri dengan memberi subsidi, sedangkan di Indonesia terdapat dua pilihan. Pertama, subsidi langsung dengan dana BPDPKS, kedua melalui kebijakan DMO/DPO.

‘’Keduanya bagus. Kalau subsidi itu kan instan, tetapi pemerintah melihatnya kewajiban korporasi harus dikedepankan, jadi semua rakyat Indonesia merasakan manfaat perkebunan kelapa sawit. Lebih bijak 20% siapkan dulu untuk dalam negeri,’’ tekannya.
fw bahtiar/r ratna purnama/sabir laluhu/aprilia s andyna
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1196 seconds (0.1#10.140)