Kondisi Ekspor-Impor Anjlok, Pertumbuhan Industri Perlu Diwaspadai
loading...
A
A
A
JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2020 mengalami surplus sebesar USD2,1 miliar. Surplus ini dikarenakan nilai ekspor lebih besar daripada impor. Tercatat, ekspor sebesar USD10,53 miliar dan impor USD8,44 miliar.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, surplus USD2,1 miliar ini kurang menggembirakan. Hal ini dikarenakan eskpor turun tajam. "Surplus ini kurang menggembirakan karena ekspor turun tajam sebesar 13,40% dibandingkan bulan April dan impornya juga turun lebih dalam," ujar Suhariyanto di Jakarta, kemarin.
Dia melanjutkan eskpor mengalami negatif dan impor merosot dikarenakan bahan baku barang modal dan bahan baku modal ikut turun. Hal ini perlu diwaspadai karena bisa mempengaruhi pertumbuhan pergerakan industri. "Ini perlu diwaspadai karena memengaruhi pergerakan industri kita dan dan impor barang modal investasi di dalam pertumbuhan," katanya. (Baca: Pandemi Covid-19, Okupansi Hotel di jawa Timur Tinggal 15 Persen)
Dia menambahkan saat ini perkembangan ekonomi global yang terkontraksi ikut mempengaruhi neraca dagang Indonesia. "Pertumbuhan ekonomi global akan tekrontraksi karena adanya pelemahan daya beli yang mana masih menerapkan pyshcal distancing," jelasnya.
Suhariyanto mengatakan, selama April 2020 ke Mei 2020, ekspor migas Indonesia mengalami kenaikan 15,64%, sebaliknya ekspor non-migas mengalami penurunan sebesar 14,81%. "Ekspor migas Mei 2020 sebesar USD10,53 miliar, sementara ekspor non-migas USD 9,68 miliar," katanya.
Lalu, jika dibandingkan dengan posisi Mei 2019, Suhariyanto menyebut, terjadi penurunan ekspor yang cukup tajam. Untuk ekspor migas turun menjadi USD0,65 miliar dari USD1,14 miliar, sementara ekspor non-migas turun USD9,88 miliar dari USD13,69 miliar.
"Ekspor Mei 2020 mengalami penurunan sebesar 28,95%, kalau kita lihat penyebabnya, ekspor migas turun 42,64%, ekspor non-migasnya mengalami penurunan 27,81%," ucapnya.
Sementara merosotnya pertumbuhan ekonomi di kuartal I/2020, telah berdampak pada penurunan impor Indonesia sepanjang Mei kemarin. Selama Mei 2020 impor Indonesia hanya tercatat USD 8,44 miliar.
Jumlah itu merosot sebesar 32,65% (mtm) dan anjlok hingga 42,20% (yoy). Penurunan impor pada Mei melanjutkan tren penurunan impor pada April yang sebesar 7,02%, dibanding Maret.
Dia mengatakan, turunya impor disumbang oleh penurunan impor migas yang mencapai USD660 juta. Serta impor nonmigas sebesar USD7,78 miliar, yang turun 37,34% (yoy). (Baca juga: Tipis, Kenaikan upah Buruh Tani Pada Mei 2020)
"Impor migas capai USD660 juta yang mana turun 69,87% (yoy). Sementara impor nonmigas sebesar USD 7,78 miliar, turun 37,34% (yoy)," kata Suhariyanto.
Dia melanjutkan berdasarkan penggunaan barangnya, seluruh impor mengalami penurunan secara tahunan maupun bulanan. Secara rinci, impor konsumsi mencapai USD930 juta, turun 39,83% (yoy). Secara kumulatif sejak Januari-Mei 2020, impor nonmigas mencapai USD53,29 miliar, turun 14,10% (yoy).
"Impor bahan baku penolong mencapai USD6,11 miliar, turun 43,03% (yoy), dan impor barang modal turun 40,0% (yoy) menjadi USD 1,39 miliar," tukasnya.
Ekonom Indef Bhima Yudistira memprediksi penurunan ekspor masih akan terus berlanjut. "Penurunan ekspor akan berlanjut seiring data ekonomi secara global yang belum menunjukan adanya pemulihan permintaan. Kasus Covid-19 di AS yang terus meningkat membuat permintaan ekspor asal Indonesia tidak berjalan optimal," kata Bhima.
Dia melanjutkan, penurunan ekspor terlihat dari kinerja ekspor karet yang turun 29,6% dibanding April. Kondisi yang sama juga alami ekspor alas kaki yang turun 23,5% dan CPO turun sebesar 13%.
Pemberlakukan New Normal memang bisa buat neraca dagang surplus, tapi belum menjadi indikator yang baik. Pasalnya, dari sisi impor barang konsumsi yang turun cukup tajam, menunjukkan minat belanja yang masih rendah di dalam negeri. (Lihat videonya: Pemudadi Jombang Membuat Miniatur Sepeda dari Sampah)
"Impor bahan baku dan barang modal diperkirakan masih akan mengalami penurunan seiring kapasitas produksi manufaktur yang rendah," jelasnya.
Ekonom Core, Piter Abdullah menilai perlambatan ekonomi global dan juga domestik akan mengakibatkan perlambatan ekspor. Surplus yang terjadi karena perlambatan impor yang lebih besar, bukan kondisi yang diharapkan. "Tentu saja kondisi ini tidak ideal. Kita menginginkan surplus yang didorong oleh meningkatnya ekspor," pungkasnya. (Rina Anggraeni)
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, surplus USD2,1 miliar ini kurang menggembirakan. Hal ini dikarenakan eskpor turun tajam. "Surplus ini kurang menggembirakan karena ekspor turun tajam sebesar 13,40% dibandingkan bulan April dan impornya juga turun lebih dalam," ujar Suhariyanto di Jakarta, kemarin.
Dia melanjutkan eskpor mengalami negatif dan impor merosot dikarenakan bahan baku barang modal dan bahan baku modal ikut turun. Hal ini perlu diwaspadai karena bisa mempengaruhi pertumbuhan pergerakan industri. "Ini perlu diwaspadai karena memengaruhi pergerakan industri kita dan dan impor barang modal investasi di dalam pertumbuhan," katanya. (Baca: Pandemi Covid-19, Okupansi Hotel di jawa Timur Tinggal 15 Persen)
Dia menambahkan saat ini perkembangan ekonomi global yang terkontraksi ikut mempengaruhi neraca dagang Indonesia. "Pertumbuhan ekonomi global akan tekrontraksi karena adanya pelemahan daya beli yang mana masih menerapkan pyshcal distancing," jelasnya.
Suhariyanto mengatakan, selama April 2020 ke Mei 2020, ekspor migas Indonesia mengalami kenaikan 15,64%, sebaliknya ekspor non-migas mengalami penurunan sebesar 14,81%. "Ekspor migas Mei 2020 sebesar USD10,53 miliar, sementara ekspor non-migas USD 9,68 miliar," katanya.
Lalu, jika dibandingkan dengan posisi Mei 2019, Suhariyanto menyebut, terjadi penurunan ekspor yang cukup tajam. Untuk ekspor migas turun menjadi USD0,65 miliar dari USD1,14 miliar, sementara ekspor non-migas turun USD9,88 miliar dari USD13,69 miliar.
"Ekspor Mei 2020 mengalami penurunan sebesar 28,95%, kalau kita lihat penyebabnya, ekspor migas turun 42,64%, ekspor non-migasnya mengalami penurunan 27,81%," ucapnya.
Sementara merosotnya pertumbuhan ekonomi di kuartal I/2020, telah berdampak pada penurunan impor Indonesia sepanjang Mei kemarin. Selama Mei 2020 impor Indonesia hanya tercatat USD 8,44 miliar.
Jumlah itu merosot sebesar 32,65% (mtm) dan anjlok hingga 42,20% (yoy). Penurunan impor pada Mei melanjutkan tren penurunan impor pada April yang sebesar 7,02%, dibanding Maret.
Dia mengatakan, turunya impor disumbang oleh penurunan impor migas yang mencapai USD660 juta. Serta impor nonmigas sebesar USD7,78 miliar, yang turun 37,34% (yoy). (Baca juga: Tipis, Kenaikan upah Buruh Tani Pada Mei 2020)
"Impor migas capai USD660 juta yang mana turun 69,87% (yoy). Sementara impor nonmigas sebesar USD 7,78 miliar, turun 37,34% (yoy)," kata Suhariyanto.
Dia melanjutkan berdasarkan penggunaan barangnya, seluruh impor mengalami penurunan secara tahunan maupun bulanan. Secara rinci, impor konsumsi mencapai USD930 juta, turun 39,83% (yoy). Secara kumulatif sejak Januari-Mei 2020, impor nonmigas mencapai USD53,29 miliar, turun 14,10% (yoy).
"Impor bahan baku penolong mencapai USD6,11 miliar, turun 43,03% (yoy), dan impor barang modal turun 40,0% (yoy) menjadi USD 1,39 miliar," tukasnya.
Ekonom Indef Bhima Yudistira memprediksi penurunan ekspor masih akan terus berlanjut. "Penurunan ekspor akan berlanjut seiring data ekonomi secara global yang belum menunjukan adanya pemulihan permintaan. Kasus Covid-19 di AS yang terus meningkat membuat permintaan ekspor asal Indonesia tidak berjalan optimal," kata Bhima.
Dia melanjutkan, penurunan ekspor terlihat dari kinerja ekspor karet yang turun 29,6% dibanding April. Kondisi yang sama juga alami ekspor alas kaki yang turun 23,5% dan CPO turun sebesar 13%.
Pemberlakukan New Normal memang bisa buat neraca dagang surplus, tapi belum menjadi indikator yang baik. Pasalnya, dari sisi impor barang konsumsi yang turun cukup tajam, menunjukkan minat belanja yang masih rendah di dalam negeri. (Lihat videonya: Pemudadi Jombang Membuat Miniatur Sepeda dari Sampah)
"Impor bahan baku dan barang modal diperkirakan masih akan mengalami penurunan seiring kapasitas produksi manufaktur yang rendah," jelasnya.
Ekonom Core, Piter Abdullah menilai perlambatan ekonomi global dan juga domestik akan mengakibatkan perlambatan ekspor. Surplus yang terjadi karena perlambatan impor yang lebih besar, bukan kondisi yang diharapkan. "Tentu saja kondisi ini tidak ideal. Kita menginginkan surplus yang didorong oleh meningkatnya ekspor," pungkasnya. (Rina Anggraeni)
(ysw)