Beli Pertalite Dilarang Pakai Jeriken, Pertamini Kosong Terancam Bangkrut
loading...
A
A
A
JAKARTA - PT Pertamina (Persero) resmi menaikkan harga bahan bakar minyak atau BBM nonsubsidi jenis Pertamax dari Rp9.200 per liter menjadi Rp12.500-Rp13.000 per liter. Kendati porsi konsumsi pertamax hanya sekitar 14 persen migrasi ke Pertalite mulai berdampak ke pedagang bensin pinggir jalan atau Pertamini .
Langkah penyesuaian harga itu didasarkan pada Keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 62 K/12/MEM/2020 tentang Formula Harga Dasar Dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar yang Disalurkan melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum. Kebijakan tersebut didasarkan pada kenaikan harga minyak dunia yang telah menembus lebih dari USD100 per barel.
Dampak migrasi tersebut pedagang eceran Pertalite di pinggiran jalan mulai pusing lantaran Pertalite mulai langka di pasaran. Salah satu pedagang bensin eceran di wilayah Lubang Buaya, Jakarta Timur bernama Iwan mengaku kesulitan membeli Pertalite dengan jeriken.
Baca Juga: https://www.idxchannel.com/tag/BBM-Langka
Pasalnya, petugas SPBU Pertamina secara tegas melarang pembelian menggunakan wadah besar. Alasannya stok bensin Pertalite yang ada lebih difokuskan untuk pemenuhan konsumen yang datang langsung ke SPBU.
Akhirnya Iwan mengaku sudah 8 hari tidak menjual bensin eceran di warungnya. "Disananya tidak kosong, cuma tidak boleh membeli menggunakan derigen," ujar Iwan saat ditemui di SPBU Pertamina di sekitar wilayah Jakarta Timur, baru-baru ini.
Karena tidak lagi berjualan bensin eceran menurut Iwan cukup berdampak pada pemasukan tokonya. Dari tidak berjualan bensin eceran, ada satu keuntungan yang kini sudah tidak lagi didapatkannya. Padahal menurut Iwan berjualan bensin eceran dianggap menguntungkan, karena keuntungan yang didapatkan perhari cukup terasa. Per dua hari Iwan belanja bensin eceran sebanyak 35 liter dengan harga yang per liter yang dibeli Iwan dengan harga Rp7.650.
Iwan mengeluarkan uang untuk belanja bensin Pertalite sebanyak Rp267.750, jika Iwan menjual bensin Pertalite dengan harga Rp10.000 per liter, maka Iwan mengantongi keuntungan setidaknya Rp82.250 ketika bensinnya habis terjual.
Maka itu yang dimaksud Iwan ada keuntungan yang hilang dan cukup berasa untuk pedagang kecil sepertinya. Jika ingin dibandingkan dengan penjualan makanan yang dibelinya diagen, maka sangat jauh berbeda besaran keuntungan.
Di samping itu penualan produk seperti Snack ataupun misalnya rokok yang setiap hari pasti terjual, tidak cukup untuk membandingkan keuntungannya. Misalnya, Iwan menjual rokok yang juga di ecer dengan harga satu batangnya Rp2.000, dalam satu bungkus setidaknya berisi 16 batang.
Belanja rokok Sampoerna Mild satu slopnya isi 10 bungkus adalah Rp256.500. Kalau rokok tersebut terjual habis saja dengan harga konsisten satu batangnya Rp2.000 maka setidaknya Iwan hanya mendapatkan keuntungan sebesar Rp63.500. Jumlah tersebut didapatkan dari jumlah batang rokok sebanyak satu slop dikalikan dengan harga satu batang rokok, selanjutnya dikurangi oleh modal belanja Iwan untuk membeli satu slop rokok sebesar Rp256.000.
"Ya berasa juga lah (kalau tidak) lumayan juga, kita sambil jualan warung," kata Iwan. "Kakau dibandingkan makanan, itu lebih cepat habis menjual bensin, kalau makanan ini tidak segera lah," sambungnya.
Oleh sebab itu menurut Iwan menjual bensin itu cepat habisnya sehingga cepat untuk mendapatkan keuntungannya. Hari berikutnya belanja kembali dan mendapat keuntungan lagi. Ini yang menurut Iwan berbeda dari menjual makanan yang kadang baru belanja kembali Minggu berikutnya. "Kalau menjual bensin lebih cepat putar duitnya, kita mana yang lebih laku, itu yang kita jual," pungkas Iwan.
Langkah penyesuaian harga itu didasarkan pada Keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 62 K/12/MEM/2020 tentang Formula Harga Dasar Dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar yang Disalurkan melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum. Kebijakan tersebut didasarkan pada kenaikan harga minyak dunia yang telah menembus lebih dari USD100 per barel.
Dampak migrasi tersebut pedagang eceran Pertalite di pinggiran jalan mulai pusing lantaran Pertalite mulai langka di pasaran. Salah satu pedagang bensin eceran di wilayah Lubang Buaya, Jakarta Timur bernama Iwan mengaku kesulitan membeli Pertalite dengan jeriken.
Baca Juga: https://www.idxchannel.com/tag/BBM-Langka
Pasalnya, petugas SPBU Pertamina secara tegas melarang pembelian menggunakan wadah besar. Alasannya stok bensin Pertalite yang ada lebih difokuskan untuk pemenuhan konsumen yang datang langsung ke SPBU.
Akhirnya Iwan mengaku sudah 8 hari tidak menjual bensin eceran di warungnya. "Disananya tidak kosong, cuma tidak boleh membeli menggunakan derigen," ujar Iwan saat ditemui di SPBU Pertamina di sekitar wilayah Jakarta Timur, baru-baru ini.
Karena tidak lagi berjualan bensin eceran menurut Iwan cukup berdampak pada pemasukan tokonya. Dari tidak berjualan bensin eceran, ada satu keuntungan yang kini sudah tidak lagi didapatkannya. Padahal menurut Iwan berjualan bensin eceran dianggap menguntungkan, karena keuntungan yang didapatkan perhari cukup terasa. Per dua hari Iwan belanja bensin eceran sebanyak 35 liter dengan harga yang per liter yang dibeli Iwan dengan harga Rp7.650.
Iwan mengeluarkan uang untuk belanja bensin Pertalite sebanyak Rp267.750, jika Iwan menjual bensin Pertalite dengan harga Rp10.000 per liter, maka Iwan mengantongi keuntungan setidaknya Rp82.250 ketika bensinnya habis terjual.
Maka itu yang dimaksud Iwan ada keuntungan yang hilang dan cukup berasa untuk pedagang kecil sepertinya. Jika ingin dibandingkan dengan penjualan makanan yang dibelinya diagen, maka sangat jauh berbeda besaran keuntungan.
Di samping itu penualan produk seperti Snack ataupun misalnya rokok yang setiap hari pasti terjual, tidak cukup untuk membandingkan keuntungannya. Misalnya, Iwan menjual rokok yang juga di ecer dengan harga satu batangnya Rp2.000, dalam satu bungkus setidaknya berisi 16 batang.
Belanja rokok Sampoerna Mild satu slopnya isi 10 bungkus adalah Rp256.500. Kalau rokok tersebut terjual habis saja dengan harga konsisten satu batangnya Rp2.000 maka setidaknya Iwan hanya mendapatkan keuntungan sebesar Rp63.500. Jumlah tersebut didapatkan dari jumlah batang rokok sebanyak satu slop dikalikan dengan harga satu batang rokok, selanjutnya dikurangi oleh modal belanja Iwan untuk membeli satu slop rokok sebesar Rp256.000.
"Ya berasa juga lah (kalau tidak) lumayan juga, kita sambil jualan warung," kata Iwan. "Kakau dibandingkan makanan, itu lebih cepat habis menjual bensin, kalau makanan ini tidak segera lah," sambungnya.
Oleh sebab itu menurut Iwan menjual bensin itu cepat habisnya sehingga cepat untuk mendapatkan keuntungannya. Hari berikutnya belanja kembali dan mendapat keuntungan lagi. Ini yang menurut Iwan berbeda dari menjual makanan yang kadang baru belanja kembali Minggu berikutnya. "Kalau menjual bensin lebih cepat putar duitnya, kita mana yang lebih laku, itu yang kita jual," pungkas Iwan.
(nng)